Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan tak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok pada 2026. Kenaikan cukai rokok selama ini dianggap terlalu tinggi hingga Purbaya menyinggung nama Firaun melabeli kebijakan tersebut.Alih-alih menaikkan cukai, Purbaya fokus memberantas peredaran rokok ilegal di masyarakat. Survei Universitas Gadjah Mada (2023) menunjukkan peredaran rokok ilegal melonjak lebih dari dua kali lipat, dari 3,03% pada 2019 menjadi 6,9% pada 2023.Kenapa pemerintah tak menetapkan cukai tinggi untuk rokok? Dan bagaimana upaya penindakan rokok ilegal selama ini? Berikut wawancara kumparan dengan Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto.Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto di Kantor Pusat Bea Cukai Rawamangun, Kamis (4/9/2025). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparanMenkeu Purbaya menyatakan cukai rokok 57% sebagai kebijakan Firaun karena dianggap terlalu tinggi dan memutuskan tak menaikkannya pada tahun depan. Bagaimana penjelasannya?Di UU diatur bahwa pemungutan cukai rokok itu tidak boleh melebihi 57% untuk tarif cukai. Kenapa sih kok pakai cukai? Kriterianya ada empat, sifatnya alternatif.Pertama, kriterianya itu konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, peredarannya perlu diawasi. Ketiga, penggunaan atau konsumsinya mengakibatkan eksternalitas negatif, entah bagi kesehatan maupun lingkungan. Terus kriteria keempat–ini yang belum dieksplor di Indonesia–untuk menjamin rasa keadilan dan keseimbangan, contohnya barang mewah, seperti jam Rolex.Barang menjadi barang kena cukai (BKC) itu harus dikonsultasikan dengan DPR, dibahas di Badan Anggaran. Dasar hukumnya UU APBN. Jadi, itulah kenapa kok gunakan mekanisme cukai. Tapi karena mengendalikannya dengan memungut cukai, akhirnya ada penerimaan. Artinya, selain reguleren, ada budgeter. Dan enggak kecil tuh. Tahun ini (2025) kan [target penerimaan cukai] Rp 230 triliun. Itu dari satu jenis [didominasi] industri [rokok].Makanya baru dapat pengakuan bahwa cukai adalah mekanisme atau skema pengendalian yang paling efektif. Karena cukainya enggak naik. Makanya, "Loh, ini gimana sih pengendaliannya paling efektif cukai? Kenapa enggak dinaikin?" Kan jadi serba susah. Padahal pengendalian ada dua: fiskal berupa cukai dan nonfiskal seperti aturan kesehatan.Cukai itu selain double benefit juga di berada di antara pajak dan retribusi. Selain mengendalikan, ada juga yang merupakan earmarking. Itu adalah bagian dari pungutan cukai yang dikembalikan lagi ke masyarakat, misal untuk mengatasi eksternalitas negatif. Bentuknya dana bagi hasil CHT, besarnya 3% dari total penerimaan cukai. Misal untuk mengatasi eksternalitas negatif merokok, dibuatkan di Karawang RS Paru. 3% itu sekitar 6,8 triliun (dari penerimaan CHT 2024 sebesar Rp 216 triliun).Cuma saya protes keras kalau dibilang cukai rokok untuk cari duit, karena bicara double benefit tadi. Minuman keras itu juga barang kena cukai, tapi target penerimaannya enggak sampai Rp 10 triliun.Fungsinya tetap pengendalian. Tetapi karena pengendaliannya itu dengan memungut cukai, akhirnya dapat duit.Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kanan) melihat produksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) di Desa Megawon, Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025). Foto: Nirza/ANTARA FOTOMenkeu Purbaya sempat hendak menurunkan cukai untuk mengerek penerimaan negara saat berdiskusi dengan stakeholder industri rokok. Bagaimana penjelasan di balik peningkatan penerimaan negara dengan penurunan cukai?Begitu perekonomian tertekan, harusnya jangan semua tertumpu di mekanisme cukai atau fiskal. Karena ada batasannya. Kita menentukan tarif cukai itu pakai Kurva Laffer.Sepanjang belum sampai titik optimum, [menaikkan tarif cukai] akan naik penerimaan [negaranya]. Kalau sudah sampai titik optimum (RO), tarif cukai dinaikkin lagi, penerimaan negara justru malah turun. Di dalam pembentukan harga pasar, ada namanya surplus konsumen dan surplus produsen. Ini terkait willingnes to pay. Misal penghapus yang saya mau beli di harga Rp 5.000, ternyata di pasar harga hanya Rp 3.000. Artinya konsumen surplus Rp 2.000. Surplus produsen kebalikannya. Saya mau jual seharga Rp 2.000 tetapi di pasar terbentuk harga Rp 3.000, surplus Rp 1.000. Penerimaan negara masih naik [jika masih sama-sama surplus].Surplus konsumen akan habis setelah [harga dan tarif cukai] di titik optimum. Karena kewajiban bayar cukai bukan kewajiban pabrik. Jadi kalau surplus konsumen itu sudah habis, dinaikkan [cukainya] malah penerimaan negara turun. Sudah lewat [titik optimum] yang nombok pabrik. Ini area terlarang karena ketika naikin tarif, malah menurunkan penerimaan negara.Ini namanya deadweight loss, negara enggak dapat (penerimaan), konsumen enggak dapat (barangnya), pabrik enggak dapat (untung).Prevalensi merokok usia di atas 15 tahun tetap di angka 28-29% dalam 5 tahun terakhir meski cukai dinaikkan tinggi sejak 2020, apa yang terjadi?Prevalensi turun dari 33% (pada 2010 sekitar 34%). Prevalensi itu misalnya 33%, artinya apa? Dalam 100 penduduk, ada 33 orang yang ngerokok. Prinsipnya turun apa enggak?Perkembangan kenaikan cukai rokok vs Angka prevalensi merokok di Indonesia. Foto: PPKE FEB UBJika menghitung 5 tahun terakhir ketika cukai naik dan sentuh rekor pada 2020 23,5%, tapi justru angka prevalensinya stagnan 28-29%, bagaimana tanggapannya?Artinya Kurva Laffer tadi masuk kan. Begitu naik tinggi malah deadweight loss tadi. Itu ada dua kemungkinan, [konsumen] quit smoking, berhenti merokok, atau [beralih] ke rokok ilegal.Jadi fungsi cukai itu secara fiskal menaikkan harga jual supaya permintaan turun. Tapi menaikkan harus hati-hati, kalau sudah di titik puncak, titik optimum. Kalau dinaikkan tarifnya lagi, itu justru menurunkan penerimaan. Ada kemungkinan lari ke rokok ilegal karena orang yang sudah merokok lebih dari 7 tahun itu akan sulit berhenti merokok.Berapa potensi penerimaan negara yang hilang dari peredaran rokok ilegal? Sepanjang 2010 sampai 2024, target penerimaan cukai yang enggak tercapai cuma 2015, 2016, sama 2023. Tapi kami enggak langsung men-judge hilangnya penerimaan cukai itu karena rokok ilegal. Tahun 2020 yang [cukai] naik 23,5% justru surplus [penerimaan negaranya].Yang saya berani ngomong kita selamatkan berapa. Dari operasi [pemberantasan rokok ilegal] tahun 2023 ada 21.927 penindakan. Terus jumlah rokok [ilegal] yang ditangkap itu 787 juta batang. Terus 2024, jumlah penindakannya turun, tetapi barang bukti yang ditangkap naik. Jadi kita melakukan 20.282 kali penindakan dengan barang bukti hasil penindakan sebesar 792,3 juta batang. Terus tahun 2025, ini sampai 30 September itu sebanyak 13.736 kali penindakan, tetapi barang bukti yang berhasil diamankan 844 juta batang, naik terus. Jadi tren jumlah penindakannya turun tapi yang ditangkap makin gede. Boleh dibilang ini makin nekat nih, yang ditangkepi makin banyak nih. Jadi hanya sampai akhir September year on year itu [rokok ilegal yang disita] sudah naik 106,58% dari tahun sebelumnya.Jika dirupiahkan berapa uang negara yang diselamatkan dari rokok ilegal yang disita? Jadi satu rokok ini, satu pak rokok, itu pungutannya ada tiga. Cukai, enggak boleh lebih dari 57%. Pajak rokok 10% (pemda) dan PPN HT 9,9%. Kenapa tarifnya 9,9? Ini single stage. Kalau yang tarif 11% tarif umum PPN, itu multi stages.Jadi apa yang tercantum di sini ini, [semisal] HJE (harga jual eceran) Rp 18.500 itu sudah total. Sudah HPP dia, harga pokok produksi dia, tambah keuntungan, tambah cukai, tambah PPN, tambah pajak rokok. Jadi, itu hampir sekitar 68%. Jadi kalau itu enggak ketangkap, ya loss-nya segitu. Jadi kalau berapa batang ini enggak ketangkap, ya loss-nya 68% dari harga rokoknya. Bagaimana modus peredaran rokok ilegal yang ditemukan Bea Cukai?Lima modus. Pertama dan yang paling banyak sekarang adalah rokok polos tanpa pita cukai.Kedua, pakai pita cukai bekas. Makanya perusahaan rokok [legal] akan konsultasi [desain bungkus] agar ketika dikonsumsi merusak pita cukai, karena itu harus digunakan sekali.Ketiga, pita cukai palsu. Bea Cukai menaruh fitur pengaman banyak sekali ada 15 di antaranya dengan [tanda] hologram dan kertas dengan sebaran fiber. Makanya ada orang pernah memalsukan dengan cetakan printer tetap kelihatan.Keempat salah personalisasi. Ada kode singkatan seperti di bursa efek [pada setiap merek rokok] yang menunjukkan personalisasi. Golongan dua dan golongan tiga, setiap pita ada identitas itu kecuali golongan satu dengan tarif tertinggi.Beragam jenis rokok ilegal yang dijual di jalanan sekirar Jakarta. Foto: kumparanApa saja hambatan penindakan rokok ilegal hingga ke hulu, karena ada yang meyakini pabriknya bisa eksis karena ada beking oknum?Oknum ada saja. Di Bea Cukai juga ada oknum. Itu masalahnya, karena selisih antara [rokok] legal dan ilegal 68% (karena tak bayar cukai dan pajak dll). Kalau ilegal dan jual 50% dari harga seharusnya saja sudah untung. Mereka [produsen rokok ilegal] punya fresh money, cash flownya cepat [karena tak bayar cukai].Industri rokok legal kalah saing dalam cash flow karena bayar pita cukai di muka. Seperti apa penjelasannya?Prinsipnya rokok keluar dari pabrik harus dilunasi. Dilunasi tetapi belum dibayar. Karena yang namanya pelunasan itu ada tiga cara. Dibayar, dilekati pita cukai, atau dibubuhkan tanda pelunasan lainnya.Jangan lupa, cukai itu indirect tax, yang bayar konsumen, bukan pabrik. Makanya tadi istilahnya pelunasan. Kalau rokok dilunasi dengan cara dilekati pita cukai dibayarnya, menurut ketentuan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang sekarang, 2 bulan setelah rokok itu keluar dari pabrik pembayarannya. Makanya pabrik rokok itu diberi istilahnya kredit 2 bulan. Jadi diutangin dulu.Kita juga menerapkan manajemen risiko di situ. Makanya kalau dia low risk, mereka jaminannya adalah corporate guarantee, jaminan perusahaan. Karena satu, dia enggak akan lari dan kedua, perusahaannya bisa menjamin pembayaran.Kedua, perusahaan medium risk, dia jaminannya menggunakan jaminan bank, bank garansi atau asuransi.Nah, terus yang golongan high risk, itu yang sering diomongin orang, 'Pemerintah ini curang, rokok belum dijual harus bayar', karena high risk. Nanti kalau 2 bulan dia lari enggak bayar, siapa yang nanggung? Salah kalau orang ngomong bahwa rokok belum dijual sudah suruh bayar cukainya. Berarti yang ngasih masukan perusahaan high risk.Tumpukan rokok ilegal yang hendak dimusnahkan. Foto: Antara/Umarul FaruqDari mana banyaknya asal peredaran rokok ilegal?Yang paling banyak memang lokal. Adanya paling rokok lokal [ilegal] nembak merek impor contohnya Manchester. Ada yang dibuat di Indonesia, dipalsu.Manchester itu pemalsuannya kuadrat. Karena apa? Manchester sudah rokok ilegal kan ya? karena laku di daerah Jawa Timur kita nangkap yang namanya Mankester, pakai K, bukan pakai C. Kalau di marketplace dijual ditawarkan alat tulis, kaos, celana dalam, underwear, itu mereknya merek MLD, tapi yang keluar gambarnya rokok, dia jual rokok. Modusnya selalu berubah. Yang ditawarkan sandal, keyboard, mouse. Rokok-rokoknya lucu-lucu namanya. Smith, Manchester, Luffman.Kami punya tim cyber crawling dan kami sudah kerja sama dengan Komdigi. Kita sudah rapat bahkan dengan Pak Wamen Komdigi, mereka punya komitmen, bahkan sudah memberi saluran langsung untuk ngeblok-ngeblok toko-toko itu. Kami di lapangan juga melakukan operasi.Mengapa penindakan di hilir Bea Cukai hanya menerapkan ultimum remidium?Ultimum remedium dengan bahasa orang lapangan disebut denda damai. Padahal salah itu. Dalam rangka restorative justice, makanya ada mekanisme ultimum remedium. Masa kita nangkap lima, tujuh slop [rokok ilegal], harus disidik?Karena hampir seluruh pelanggaran di UU cukai itu pidana, dan ultimum remedium tidak menghilangkan tindak pidana, tapi mengakhirkan. Misal Bea Cukai nangkap, masuk tahap penelitian, sanksinya sebesar tiga kali nilai cukai yang harus dibayar [dari barang hasil penindakan] plus barang buktinya dirampas oleh negara. Termasuk ke warung-warung kecil.Bagaimana dengan penindakan di hulu, terhadap pabrik yang memproduksi rokok ilegal, kenapa tidak ditutup?Tujuan pengenaan cukai itu salah satunya untuk mengendalikan konsumsi. Bisa jamin enggak kalau enggak ada pabrik rokok, prevalensinya [perokoknya] nol? Nah, kalau ada impor, yang diuntungkan siapa? Contoh, Australia itu tidak ada pabrik rokok. Prevalensinya [perokok] tinggi juga. Yang diuntungkan siapa? Ya eksportirnya kan. Kedua, petaninya mau disuruh ngapain? Emang tembakau bisa nanti dibuat sampo gitu? Cengkeh itu 95% diserap pabrik rokok.Prevalensi merokok di Australia sekitar 10% pada 2022-2023 meski tidak ada pabrik rokok di negara tersebut sejak 2016.Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Surabaya, Kamis (2/10/2025). Foto: Dok. Kementerian KeuanganMenkeu berencana memasukkan pabrik rokok ilegal ke sistem perpajakan. Bagaimana implementasinya?Itu nanti bicara KIHT (Kawasan Industri Hasil Tembakau) atau sekarang disebutnya aglomerasi pabrik hasil tembakau (APHT). Jadi mereka, 'Ayo yang di luar kelas bolos-bolos (pabrik rokok ilegal) itu, ayo kita masuk kelas (industri legal), masuk ke dalam APHT' di bawah binaan Bea Cukai dan pemerintah daerah. Jadi bukan untuk disebut 'Pokoknya kamu enggak boleh, enggak ada jalan keluar'. Itu [produsen rokok ilegal] anak bangsa juga, terus diarahkan, mau cari kerja apa yang 170.000 (pelinting rokok) nanti?