Setahun Prabowo: Mengulang 3 dekade kegagalan ‘food estate’

Wait 5 sec.

● Sejak era Soeharto hingga Prabowo, proyek ‘food estate’ berulang kali digulirkan dan selalu gagal.● ‘Food estate’ tidak pernah mencapai target, justru boros anggaran dan merusak lingkungan.● Pemerintah sebaiknya fokus pada intensifikasi lahan eksisting, bukan terus-terusan membuka lahan baru.Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan food estate atau lumbung pangan skala besar di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Melalui proyek ini, Prabowo sesumbar bisa mempercepat target ambisius swasembada pangan dari semula 2029 menjadi 2027.Selama hampir tiga dekade, program food estate terus digaungkan sebagai solusi jangka panjang untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun, riset kami menunjukkan bahwa proyek ini selalu gagal mencapai tujuan dan justru mewariskan jejak panjang kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi.Lantas, kenapa pemerintah selalu mengulang kesalahan yang sama?‘Food estate’: Sejarah kegagalan tiga dekadeFood estate di Indonesia bukanlah proyek baru. Presiden Soeharto—dulunya ayah mertua Prabowo—pertama kali memperkenalkannya dengan nama Megaproyek Lahan Gambut (PLG) pada 1995.Gagasan awalnya adalah mencetak sawah-sawah baru di atas sejuta lahan gambut untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, khususnya padi.Pemerintah kemudian melanjutkan proyek serupa di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo atau Jokowi, dan kini Prabowo Subianto.Namun dari 1995 hingga 2024, realisasi lahan yang benar-benar produktif sangat kecil: hanya 0,2% di era Soeharto, 8,6% di era Yudhoyono, dan 2,4% di era Jokowi. Sementara itu, ratusan triliun rupiah telah digelontorkan dari APBN untuk membiayai proyek ini. Alasan di balik proyek food estate sering kali dibingkai dalam narasi: mengulang pencapaian swasembada beras 1984. Namun, klaim ini patut dipertanyakan. Sejatinya, swasembada adalah kondisi ketika suatu negara dapat memenuhi setidaknya 90% kebutuhan pangannya dari produksi dalam negeri. Jika hanya memakai ukuran jumlah produksi, Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali swasembada beras. Namun, ‘swasembada’ tersebut hanya bermakna sempit dan sebatas simbolis sehingga tak berbanding lurus dengan aksesibilitas, pemanfaatan, dan keberlanjutan pangan.Kenapa ‘food estate’ selalu gagal?Salah satu akar persoalan food estate terletak pada pilihan lahannya. Banyak lokasi yang dipilih—seperti lahan gambut di Kalimantan Tengah—tidak cocok untuk pertanian intensif karena miskin unsur hara dan rentan banjir maupun kekeringan. Akibatnya, hasil panen jauh di bawah rata-rata nasional. Produktivitas beras di area food estate hanya sekitar 2,7–3,2 ton per hektare, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 5,1 ton/hektare atau potensi maksimal 7-10 ton/ha di lahan mineral biasa.Di samping tidak produktif, lahan gambut yang dibuka untuk food estate pada akhirnya melepaskan emisi karbon yang besar dan mengancam habitat satwa endemik, seperti orangutan. Di Merauke, Papua Selatan, misalnya, sekitar 2 juta hektare hutan hujan telah dibabat untuk pengembangan pertanian. Studi terbaru (2024) memperkirakan emisi karbon dari food estate Merauke saja bisa mencapai 782,45 juta ton CO₂.Di Kalimantan Tengah, pemetaan citra satelit oleh The Gecko Project menunjukkan bahwa sebagian besar lokasi food estate sebelumnya merupakan hutan hujan yang menjadi habitat orang utan. Baca juga: Jika proyek lumbung pangan Indonesia gagal, siapa yang bertanggung jawab memulihkan hutan? Di tengah urgensi peningkatan produksi pangan, food estate justru mencerminkan pendekatan lama yang tak lagi relevan.Food estate mengandalkan pembukaan lahan besar-besaran, terutama di kawasan hutan dan gambut yang merusak lingkungan. Proyek ini menjadi tantangan besar karena menghambat komitmen Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2050.Di samping itu, tak jarang pula food estate menggusur lahan warga yang ujungnya memicu konflik dengan masyarakat adat, contohnya seperti kasus yang terjadi di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, di mana kehadiran food estate memperparah konflik tenurial (hak dan status kepemilikan lahan) antar masyarakat adat di sana.Solusi ke depanJika Prabowo serius ingin mewujudkan ketahanan pangan, ke mana seharusnya arah kebijakan pangan nasional diarahkan?1. Fokus pada lahan yang sudah ada, bukan ekspansi Indonesia memiliki lebih dari 10 juta hektare lahan sawah dan 20 juta hektare lahan tidur (lahan bekas pertanian) yang bisa dioptimalkan untuk peningkatan produksi pangan. Produktivitas padi Indonesia saat ini rata-rata 5,1 ton/hektare, tertinggal dari Cina, Korea, dan Jepang yang mencapai lebih dari 7 ton/hektare. Negara-negara maju tersebut nyatanya mengandalkan intensifikasi modern dengan memperbaiki irigasi, mengembangkan varietas unggul, dan teknologi pertanian, bukan membuka lahan baru. Jika Indonesia mengikuti pendekatan ini, kita bisa meningkatkan produktivitas hingga 6–7 ton/hektare, menambah produksi hingga mencapai 4,5 juta ton beras per tahun—lebih dari dua kali lipat target food estate yang hanya 2 juta ton.2. Modernisasi pertanian harus jadi prioritasModernisasi ini bukan hanya sekadar mekanisasi atau digitalisasi, tetapi juga menyangkut akses petani-petani kecil terhadap pembiayaan, pelatihan, dan pasar. Dengan usia petani Indonesia yang didominasi oleh petani berusia di atas 45 tahun, transformasi digital yang menyentuh semua kalangan dan regenerasi petani merupakan kebutuhan mendesak.3. Tata kelola yang melibatkan rakyatProgram ketahanan pangan harus kembali pada rakyat. Artinya, pelibatan masyarakat lokal, koperasi, dan badan usaha milik desa (BUMDes) dalam produksi dan distribusi pangan mutlak diperlukan.Pendekatan ini bisa dilakukan melalui sistem yang mengakui dan melibatkan petani dan komunitas sebagai aktor utama, sekaligus menghindari tata kelola yang bersifat top down (arahan pusat/pemerintah) dan programatis.4. Diversifikasi panganKebijakan pangan tidak boleh terus bergantung pada satu komoditas utama, seperti beras. Indonesia diberkahi dengan beragam sumber pangan lokal sebagai sumber karbohidrat seperti sagu, singkong, jagung, porang, hingga sumber protein lokal seperti kacang-kacangan atau polong-polongan. Diversifikasi pangan bukan sekadar alternatif atau substitusi bagi konsumen, melainkan strategi ketahanan terhadap krisis iklim dan gangguan rantai pasok global.Menjelang setahun pemerintahan, Prabowo semestinya mengevaluasi berbagai program, terutama food estate.Jika terus berjalan tanpa koreksi, food estate ini berisiko menambah daftar “proyek gagal” pemerintah yang menelan biaya mahal dan meminggirkan rakyat.Ketahanan pangan sejati bukan dibangun dari lahan luas yang dibuka paksa, melainkan dari tanah yang digarap dengan bijak, oleh tangan-tangan petani yang diberdayakan dan didukung penuh oleh kebijakan yang adil dan visioner.Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.