Sejumlah orangtua dari beberapa anak yang diduga jadi korban salah tangkap polisi saat demo 29 Agustus lalu di Kota Magelang, Jawa Tengah mendatangi LBH Yogyakarta, Kamis (9/10/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparanLBH Yogyakarta mendampingi 14 anak yang diduga jadi korban salah tangkap polisi di Kota Magelang, Jawa Tengah pada saat demo ricuh 29 Agustus lalu.14 anak ini disebut dipaksa mengaku ikut demo, disiksa, dan disebar data pribadinya yang sebabkan luka fisik dan psikis. Kini mereka menuntut keadilan.Royan Juliazka Chandrajaya, tim advokasi dari LBH Yogyakarta mengatakan, 14 anak ini termasuk DRP (16 tahun) yang kasusnya sempat ramai sebelumnya. DRP sudah melaporkan kasus ini ke Polda Jateng.LBH, kata Royan, mendapatkan data 13 anak lainnya saat mendampingi kasus DRP."Kami mendampingi korban sejak 16 September. Yang kami dampingi (anak berinisial) DRP. Setelah kami dalami beberapa dokumen dan duduk permasalahannya ternyata ada banyak sekali anak di bawah umur yang ditangkap selain DRP," kata Royan Juliazka Chandrajaya tim advokasi dari LBH Yogyakarta di kantor LBH Yogyakarta, Kamis (9/10).Hasilnya sejumlah anak berhasil ditemui LBH Yogya. Mereka sempat ditangkap anggota Polres Magelang Kota. Masing-masing berinisial MNM (17 tahun), IPO (15 tahun), SPR (16 tahun), MDP (17 tahun), AAP (17 tahun), AP (15 tahun), DLP (16), NH (15 tahun), KEA (14 tahun), GAD (17 tahun), QAJ (14 tahun), HRR (15 tahun), dan MFA (17 tahun)."Dari total itu 7 di antaranya yang memutuskan untuk melanjutkan ke proses hukum," katanya.Menurutnya, hampir semua anak-anak ini ketika terjadi demonstrasi, mereka berada di sekitar alun-alun Magelang."Akhirnya polisi membubarkan gas air mata melakukan penyisiran, dan pengejaran. Di sinilah letak-letak masalahnya. Polisi akhirnya menangkap siapa pun orang-orang yang ada di sekitar lokasi kejadian tanpa mampu membuktikan bahwa orang-orang ini pelaku dari demonstrasi yang kami menggarisbawahi bukan pelaku demonstrasi tapi pelaku yang diduga melakukan perusakan pos polisi," katanya.Catatan LBH Yogyakarta, anak-anak yang ditangkap ini diduga ditampar dengan sandal, wajah ditendang, kepala diinjak, ditinju perutnya, hingga dicambuk menggunakan selang.Mereka juga diduga dipaksa untuk mengunyah sebuah kencur secara bergantian."Kalau memang mereka tidak mengikuti (demonstrasi) kenapa dipaksa untuk mengaku," jelasnya.Ketika ditangkap, data pribadi mereka diambil mulai dari foto, nama, alamat, tanggal lahir, dan asal sekolah."Mereka dibebaskan sehari kemudian lalu datanya disebar ke mana-mana. Hampir semua desa di mana anak-anak ini tinggal semua tahu. Lalu di data itu ada keterangan bahwa anak ini pelaku demo yang rusuh sehingga ada stigma di masyarakat," katanya.LBH Yogyakarta berencana akan melaporkan kasus 13 anak ini ke Polda Jawa Tengah pada 15 Oktober mendatang. Sebelumnya untuk korban DRP, LBH Yogya juga sudah lapor ke Polda Jawa Tengah pada 16 September lalu."Untuk laporan nanti yang baru di Polda Jawa Tengah karena masing-masing punya peristiwa sendiri, kami nanti akan pisahkan juga laporannya," katanya."Yang berbeda dari sebelumnya kami sudah mengantongi nama-nama polisi. Karena anak itu melihat name tag polisi. Kami akan sebutkan dalam laporan. Termasuk salah satu pejabat kepolisian Polres Magelang Kota kami sudah kantongi," tegasnya.Sejumlah orangtua dari beberapa anak yang diduga jadi korban salah tangkap polisi saat demo 29 Agustus lalu di Kota Magelang, Jawa Tengah mendatangi LBH Yogyakarta, Kamis (9/10/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparanCerita Orang Tua KorbanSejumlah orang tua korban juga hadir di LBH Yogyakarta hari ini. Salah satunya Hana Edi Pambudi. Anaknya mengalami sejumlah kekerasan yang diduga dilakukan polisi."Waktu itu sekitar jam 7 malam anak saya main ke Kota Magelang. Kebetulan tempat saya agak jauh, saya di kabupaten. Waktu itu anak saya pergi main ke Kota Magelang. Pas sampai Indomaret dekat alun-alun dia parkir sepeda motor. Setelah keluar beli jajanan minum, sepeda motor yang diparkir itu sudah tidak ada," kata Hana.Anak Hana pergi mencari sepeda motornya. Saat keliling-keliling mencari dia diberi tahu seseorang motornya diambil polisi. Malam itu anak Hana memutuskan tak pulang karena takut menjelaskan motornya yang hilang ke orang tua.Anak Hana menginap di rumah temannya. Lalu paginya pulang ke rumah mengambil BPKB untuk mengambil motor di Polres. Namun saat tiba di Polres dia langsung dibawa ke ruangan dan diinterogasi."Anak tidak mau mengaku karena merasa tidak ikut demo anarkis tersebut. Dalam ruangan karena tidak mau mengaku dipaksa untuk mengaku. Anak saya dipukuli, ditonjok, dipukul pakai helm, pakai sandal, sampai anak saya harus mengakui kalau dia ikut demo," kata Hana."Karena anak saya ketakutan jadi anak saya mau tidak mau juga mengakui suatu yang tidak dia lakukan," bebernya.Hana mengatakan menyampaikan tuntutan kepada Polres Magelang Kota."Untuk menyatakan maafnya kepada publik ke media massa. Untuk selanjutnya menghapus data anak-anak kami yang sudah dicatat di Polres," tegasnya.Ari Widodo salah satu orang tua anak yang lain mengatakan, anaknya keluar rumah pergi ke warung yang jaraknya sekitar 100 meter dari Polres. Polisi masuk dan menangkap anak Ari."Anak saya diperlakukan tidak manusiawi mungkin dihajar pakai selang," jelasnya."Mohon perhatiannya anak saya minta tuntutan untuk membersihkan nama baik anak saya dari pihak Polres," jelas Ari.Mala, ibu dari anak lainnya tak kuasa menahan air mata. "Anak saya izin keluar mau nganter temannya beli rokok. Karena sebelah sudah tutup dia jalan ke arah yang deket Polres. Di situ anak saya sudah ditangkap sama beberapa intel mungkin ya. Di situ dihajar. Dua teman anak saya bisa melarikan diri. Anak saya nggak bisa," kata.Anak Mala kemudian dibawa ke kantor polisi dan kekerasan berlanjut. "Kepalanya diinjak-injak pakai sepatu polisi entah beberapa itu. Hidungnya ditonjok sampai keluar darah. Pelipisnya juga lebam," katanya.Anak Mala juga sempat disuruh push up sampai 50 kali di malam itu."Saya minta tolong LBH Yogyakarta untuk membantu saya. Untuk menghapus data di Polres karena data anak sudah tersebar. Gitu aja," katanya.Cerita juga datang dari Sumiyati. Di malam itu, anak Sumiyati sedang menjaga angkringan."Anak saya jaga angkringan pas ada demo mau tutup. Pas mau tutup itu langsung dibawa ke kantor (polisi). Ditendang. Selebihnya yang saya tahu cuma seperti itu. Saya mohon bantuan untuk membersihkan nama baik anak saya. Karena data anak saya sudah tersebar," bebernya.kumparan mengkonfirmasi kasus dugaan salah tangkap 13 anak ini ke Kapolres Magelang Kota AKBP Anita Indah Setyaningrum, namun belum memberikan respons.Namun sebelumnya, pada kasus DRP, Kapolres Magelang Kota AKBP Anita Indah Setyaningrum membantah telah melakukan kekerasan terhadap DRP (16) remaja yang ditangkap saat terjadi demo berakhir kericuhan di depan polres.Orang tua DRP, melaporkan AKBP Anita dan Kasat Reskrim Polres Magelang Kota Iptu Iwan Kristiana ke Polda Jawa Tengah dengan tiga perkara yakni dugaan salah tangkap, penyiksaan hingga doxing atau penyebaran identitas."Kami dari Polres Magelang, tidak melakukan penyiksaan terhadap peserta unras (unjuk rasa) yang kami amankan," tegas Anita melalui pesan singkat," Jumat (19/9).