Pendidikan Indonesia: Kesenjangan, Inovasi, dan Tantangan Generasi Adaptif

Wait 5 sec.

Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar saat bulan Ramadhan di SDN Slipi 15, Jakarta, Kamis (6/3/2025). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO Sistem pendidikan Indonesia berada di persimpangan krusial: menghadapi kesenjangan akses dan kualitas, sambil merangkul inovasi untuk membentuk generasi adaptif. Diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pendidikan nasional menjanjikan akses setara dan kualitas unggul, tetapi realitas menunjukkan tantangan seperti disparitas regional dan kurikulum kaku.Laporan ini menganalisis kesenjangan tersebut, menyoroti inovasi seperti Kurikulum Merdeka, serta merancang visi untuk generasi yang siap era digital. Analisis ini bertujuan memberikan perspektif segar bagi reformasi pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.Struktur Pendidikan Indonesia: Dari Kolonial ke Kurikulum MerdekaSistem pendidikan Indonesia telah berevolusi sejak masa kolonial Belanda, di mana pendidikan difokuskan pada elite. Pasca-kemerdekaan pada 1945, pendidikan menjadi hak dasar warga negara sesuai Pasal 31 UUD 1945. Struktur saat ini dibagi menjadi tiga jenjang utama: pendidikan dasar (SD/MI, 6 tahun), menengah pertama (SMP/MTs, 3 tahun), dan menengah atas (SMA/MA/SMK, 3 tahun), diikuti pendidikan tinggi (perguruan tinggi, minimal 4 tahun). Ilustrasi SMP. Foto: ShutterstockPendidikan wajib mencakup 12 tahun, dengan penekanan pada pendidikan agama, kewarganegaraan, dan vokasi. Secara administratif, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bertanggung jawab atas kebijakan nasional, sedangkan pemerintah daerah mengelola implementasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah mencapai 99% untuk SD dan 95% untuk SMP, tetapi menurun menjadi 80% di SMA, menandakan adanya putus sekolah di tingkat atas. Kurikulum nasional telah berganti beberapa kali: dari Kurikulum 1947 yang berbasis nasionalisme, hingga Kurikulum 2013 (K13) yang menekankan karakter dan kompetensi. Saat ini, transisi ke Kurikulum Merdeka (diluncurkan 2020) memberikan fleksibilitas lebih besar kepada guru dan sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa.Tantangan dalam Sistem Pendidikan IndonesiaMeskipun ada kemajuan signifikan, sistem pendidikan Indonesia masih dihantui oleh berbagai tantangan struktural dan operasional yang saling terkait. Disparitas akses dan kualitas menjadi isu utama, terutama di wilayah pedesaan dan terpencil seperti Papua atau Nusa Tenggara Timur di mana kekurangan infrastruktur menyebabkan rasio guru-siswa mencapai 1:40 di beberapa daerah, menurut data Kemendikbud 2022. Pandemi COVID-19 semakin memperburuk kondisi ini, dengan 70% siswa di daerah miskin mengalami kesulitan akses pembelajaran daring, sehingga memperlebar jurang antara kota dan desa.Sejumlah murid mencuci tangan sebelum masuk hari pertama sekolah di SDN 11 Marunggi Pariaman, Sumatera Barat. Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTOSelain itu, kualitas guru dan sumber daya manusia menjadi penghambat serius karena banyak guru belum memenuhi standar sertifikasi hanya 60% yang terlatih secara profesional, sementara anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN (sekitar Rp500 triliun pada 2023) sering kali tidak merata, menyebabkan fasilitas belajar yang kurang memadai di banyak sekolah.Relevansi pendidikan dengan dunia kerja juga menjadi kekhawatiran besar di mana lulusan sering kali tidak siap menghadapi pasar kerja, dengan tingkat pengangguran terdidik mencapai 5,5% (BPS 2023); kurikulum yang terlalu teoritis kurang menekankan keterampilan digital dan vokasi, padahal revolusi industri 4.0 menuntut kompetensi seperti coding dan kecerdasan buatan.Tak kalah penting, isu inklusivitas masih menjadi sorotan di mana siswa berkebutuhan khusus (ABK) hanya 20% yang terintegrasi dengan baik dan diskriminasi gender serta etnis masih melekat di beberapa sekolah. Ilustrasi siswa SMA. Foto: Agewib/ShutterstockTantangan-tantangan ini tidak hanya menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (peringkat 107 dunia, UNDP 2022), tetapi juga menghambat pencapaian Sustainable Development Goal (SDG) 4 tentang pendidikan berkualitas, sehingga memerlukan intervensi mendalam untuk memutus siklus ketidakadilan ini.Reformasi dan Peluang ke Depan: Kurikulum MerdekaUntuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan Kurikulum Merdeka sebagai reformasi utama yang menjanjikan perubahan mendasar. Kurikulum ini mengurangi beban mata pelajaran dari 46 menjadi 30 jam pelajaran per minggu di SMA, menekankan proyek berbasis masalah (Project-Based Learning/PBL), dan memberikan otonomi kepada sekolah untuk memilih materi yang relevan dengan kebutuhan lokal, seperti entrepreneurship atau seni digital. Penerapan Kurikulum Merdeka telah diuji di 300 sekolah percontohan sejak 2022, dengan hasil awal menunjukkan peningkatan minat belajar siswa hingga 25% berdasarkan evaluasi Kemendikbud. Program Merdeka Belajar secara keseluruhan mencakup berbagai inisiatif, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang memberikan beasiswa untuk 20 juta siswa miskin, Platform Merdeka Mengajar yang menyediakan pelatihan online untuk 3 juta guru, serta integrasi teknologi melalui e-learning seperti Rumah Belajar dan Google Classroom untuk mengatasi kesenjangan digital. Peluang lain muncul dari kolaborasi dengan swasta, misalnya program CSR dari perusahaan tech seperti Gojek dan kerja sama internasional melalui ASEAN Education Framework.Ilustrasi anak Sekolah Dasar Foto: ShutterstockDengan demikian, reformasi ini berpotensi meningkatkan daya saing global Indonesia di mana sektor pendidikan vokasi bisa menyerap hingga 60% tenaga kerja muda, membuka jalan bagi transformasi yang lebih adaptif dan inklusif.Sistem pendidikan Indonesia di persimpangan ini menuntut aksi cepat mengurai kesenjangan akses, merangkul inovasi melalui Kurikulum Merdeka, dan membentuk generasi adaptif yang tangguh. Dengan fondasi UU Sisdiknas yang solid, tantangan seperti disparitas dan kualitas sumber daya dapat diatasi melalui komitmen bersama dari pemerintah, guru, serta masyarakat. Saran utama adalah meningkatkan monitoring berbasis data dan investasi di daerah tertinggal agar pendidikan dapat merata.Dengan begitu, pendidikan Indonesia dapat melahirkan generasi unggul yang siap menghadapi masa depan, selaras dengan visi Indonesia Emas 2045.