Belajar dari Chernobyl dan Fukushima: Saatnya Indonesia Serius Soal Radioaktif

Wait 5 sec.

Ilustrasi zat radioaktif. Foto: andriano_cz/Getty ImagesPada 19 Agustus 2025, publik Indonesia kembali diguncang kabar penemuan zat radioaktif Cs-137 yang pertama kali dilaporkan oleh Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat dari produk udang beku dari Indonesia. Akhirnya, pemerintah menetapkan kawasan industri Cikande Banten sebagai pusat dekontaminasi radiasinya.Berita yang itu segera menyebar luas, menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat yang—secara umum—tidak pernah benar-benar memahami apa itu radiasi dan seberapa besar bahayanya. Namun, yang lebih mengkhawatirkan bukan sekadar keberadaan zat itu, melainkan cara negara menanggapinya: terburu-buru, minim informasi, dan tidak transparan. Ilustrasi zat radioaktif. Foto: ShutterstockPenemuan itu mengingatkan kita bahwa isu radioaktif bukan sekadar urusan teknis, melainkan cermin tata kelola dan tanggung jawab negara; tidak hanya tentang mengamankan lokasi, tetapi juga tentang bagaimana publik diberi tahu dan dilibatkan dalam proses penanganan. Indonesia pernah mengalami kasus serupa pada 2020 di Serpong, Tangerang Selatan. Saat itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menemukan cesium-137 di lahan kosong dekat perumahan. Penanganannya kala itu dilakukan cepat, tetapi informasi kepada masyarakat terasa terbatas. Banyak warga yang justru mengetahui bahaya radiasi bukan dari pemerintah, melainkan dari media sosial. Kini, beberapa tahun berlalu, pola yang sama tampak terulang. Padahal, dunia sudah lama belajar dari dua tragedi besar: Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011). Dua bencana yang menunjukkan dua wajah berbeda dalam menghadapi krisis radioaktif—satu dilandasi penyangkalan dan yang lain oleh keterbukaan.Parit yang digali oleh militer Rusia terlihat di daerah dengan tingkat radiasi tinggi yang disebut Hutan Merah, di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl, di Chernobyl, Ukraina, Sabtu (16/4/2022). Foto: Gleb Garanich/REUTERSChernobyl: Ketika Negara Memilih MenyangkalSabtu, 26 April 1986, reaktor nomor empat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl di Ukraina meledak. Ledakan itu melepaskan partikel radioaktif ke udara yang menyebar ke sebagian besar Eropa. Namun alih-alih memberi peringatan, pemerintah Uni Soviet justru bungkam. Evakuasi dilakukan terlambat, informasi ditutup rapat, dan ribuan orang tetap beraktivitas di kawasan terpapar radiasi. Akibatnya fatal. Ribuan meninggal dunia, ratusan ribu menderita kanker tiroid, dan daerah sekitar Chernobyl menjadi “zona mati” hingga kini. Tragedi itu kemudian diakui oleh banyak sejarawan sebagai salah satu titik balik runtuhnya kepercayaan publik terhadap rezim Soviet. Chernobyl bukan sekadar kecelakaan nuklir; ia adalah kecelakaan politik yang lahir dari budaya menutupi kebenaran.Fukushima: Transparansi sebagai BentengDua puluh lima tahun kemudian, Jepang menghadapi tantangan yang mirip, tetapi memilih jalan berbeda. Gempa bumi dan tsunami pada 2011 menyebabkan tiga reaktor di Fukushima Daiichi meleleh. Dalam beberapa jam, pemerintah langsung mengevakuasi lebih dari 100 ribu warga. Data radiasi disiarkan secara terbuka dan pemerintah mengundang ilmuwan internasional untuk membantu. Lokasi penyimpanan air olahan di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di kota Okuma, prefektur Fukushima, Jepang. Foto: Kyodo via ReutersMemang, Jepang tak lepas dari kritik—terutama terhadap perusahaan pengelola TEPCO yang sempat menunda laporan awal. Namun secara umum, transparansi dan tanggung jawab publik menjadi fondasi utama pemulihan. Hingga kini, Jepang terus memantau kesehatan warganya, mengatur pembuangan limbah radioaktif, dan menjadikan peristiwa itu sebagai bahan refleksi nasional.Indonesia: Di Antara Kedua CerminDalam konteks Indonesia, pelajaran dari dua tragedi itu seharusnya sangat jelas. Radioaktif bukan isu yang bisa diselesaikan dengan siaran pers atau operasi teknis tertutup. Ia membutuhkan kejelasan informasi, tanggung jawab lembaga, dan kesadaran publik.Sayangnya, pola komunikasi pemerintah kita masih cenderung defensif. Alih-alih menjelaskan sumber, risiko, dan langkah mitigasi secara terbuka, lembaga justru sibuk menenangkan publik dengan frasa “aman terkendali”. Padahal, yang membuat masyarakat panik bukan bahaya radiasinya, melainkan ketidakpastian dan kurangnya informasi.Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir. Foto: Shutterstock/Daria NipotIndonesia memang belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir, tetapi itu bukan alasan untuk bersikap lengah. Kita punya laboratorium, fasilitas riset, dan limbah medis radioaktif yang tersebar di banyak daerah. Tanpa sistem pengawasan dan edukasi publik yang kuat, risiko kebocoran atau pembuangan ilegal bisa terjadi kapan saja.Belajar Sebelum TerlambatDari Chernobyl, kita belajar bahwa penyangkalan hanya memperbesar bencana. Dari Fukushima, kita belajar bahwa transparansi adalah bentuk tertinggi tanggung jawab negara. Kini, Indonesia dihadapkan pada pilihan sederhana, tetapi krusial: mengulangi pola lama yang menutup-nutupi atau berani membuka diri dan membangun kepercayaan publik. Karena dalam urusan radioaktif, bahaya terbesar bukan radiasinya, melainkan negara yang tak mau belajar dari sejarah.