Teknologi Mitra Netra: Sinar Lentera Tunanetra Hadapi Gelap Dunia

Wait 5 sec.

Kantor Yayasan Mitra Netra. Foto: kumparan/Habib Allbi FerdianDi dunia tanpa cahaya, di mana gelap adalah teman sehari-hari, secercah harapan muncul dari sebuah yayasan yang tak pernah lelah menyalakan lentera bagi mereka yang kehilangan penglihatan. Namanya Yayasan Mitra Netra, tempat para tunanetra belajar untuk berdiri tegak, bermimpi tinggi, dan bersaing di dunia kerja yang kian kompetitif.Mitra Netra didirikan pada 14 Mei 1991, lahir dari kepedulian dan tekad beberapa orang yang salah satunya adalah tunanetra dan kini menjadi ketua yayasan, Drs. Bambang Basuki. Yayasan ini sejak awal berpegang pada satu keyakinan: Keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berjuang. Dengan visi meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di dunia pendidikan dan lapangan kerja, Mitra Netra menolak pandangan lama yang mengekang potensi mereka.Mitra Netra punya keyakinan bahwa ada banyak potensi yang bisa digali dari tunanetra, terutama ketika perkembangan teknologi semakin masif yang bisa mendorong mereka untuk maju.Setahun setelah berdiri, Mitra Netra mulai menghadirkan teknologi komputer, langkah yang kala itu tergolong revolusioner. Meski sempat terseok karena keterbatasan dana, dukungan dari para dermawan dan perusahaan membuat roda perjuangan terus berputar.Dari situlah lahir komputer modifikasi dengan aplikasi pendukung yang mampu “berbicara”. Para tunanetra menyebutnya sebagai talking computer. Nur Ichsan, menjadi guru komputer pertama di sana, pionir yang membantu banyak tunanetra menguasai teknologi di tengah keterbatasan akses.Yayasan tersebut memang hadir untuk menjadi lentera saat akses tunanetra ke teknologi di tahun 90-an sangat terbatas. 3 Dekade Cetak Generasi Tunanetra Melek TeknologiSeiring waktu, Mitra Netra memperluas perannya: memberikan konseling, pelatihan, hingga kursus komputer. Mereka juga menyediakan buku-buku pelajaran dalam huruf braille, dari matematika, bahasa Inggris, sains, sampai Al-Qur’an.Yayasan Mitra Netra terus mencetak generasi tunanetra yang lebih berdaya, mengadopsi teknologi terbaru, membuat para penyandang disabilitas dapat bersaing di dunia luar. Sedikit demi sedikit, generasi tunanetra mulai menembus batas lama. Tak lagi sekadar bertahan hidup, mereka kini bersaing di dunia kerja, kuliah di universitas, bahkan menjadi profesional di bidang teknologi.Budi Darmulyana, Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Yayasan Mitra Netra. Foto: kumparan/Habib Allbi FerdianDulu pendidikan formal untuk tunanetra itu sulit. Sementara tunanetra profesinya kalau tidak memijat, ya musik. Di sini Mitra Netra hadir agar para tunanetra bisa bersekolah, terutama di sekolah reguler,” - Budi Darmulyana, Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Yayasan Mitra Netra -Yayasan Mitra Netra juga mengembangkan teknologi sendiri. Aplikasi yang mereka kembangkan dapat diakses secara gratis oleh para tunanetra di seluruh Indonesia. Beberapa aplikasi tersebut adalah Math Mitranetra Braille Converter, Arabic Mitranetra Braille Converter, dan Latin Mitranetra Braille Converter. Mitra Netra juga punya aplikasi kamus bahasa Inggris-Indonesia bernama Mitranetra Electronic Dictionary.Menariknya, aplikasi-aplikasi ini diperkaya dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sebuah lompatan besar, sebab AI memungkinkan tunanetra mengakses informasi visual yang sebelumnya mustahil dibaca lewat screen reader.Ya, sebelum AI hadir di dunia, tunanetra mengakses informasi di layar perangkat hanya menggunakan screen reader. Teknologi ini didesain untuk membaca informasi berupa teks, sementara visual tidak bisa dideteksi. Kini, AI melengkapi fungsi screen reader yang selama ini digunakan tunanetra selama beberapa dekade.Arabic Mitranetra Braille Converter, misalnya. Aplikasi ini dikembangkan oleh Mitra Netra dan telah mendapat dukungan teknis dari Microsoft untuk mendapatkan akses terkoneksi dengan ChatGPT 4o.Aplikasi Arabic Mitranetra Braille Converter yang dikembangkan oleh Yayasan Mitra Netra. Foto: kumparan/Habib Allbi FerdianArabic Mitranetra Braille Converter digunakan untuk mengubah teks atau grafik Bahasa Arab ke dalam format Braille Indonesia. Alat ini juga bisa memindai sebuah image berbahasa Arab, kemudian mengkonversi gambar tersebut menjadi teks braille semudah drag and drop. Sebaliknya, dia juga bisa digunakan untuk mengubah bahasa Arab braille ke dalam teks Arab.“Pada tahun 2022, kita sempat mengikuti kompetisi Hackathon Microsoft AI for Accessibility (AI4A) di tingkat Asia Pasifik. Alhamdulilah kita mendapat juara harapan kedua. Itu kita diberi kesempatan akses dengan Microsoft untuk kelanjutan dukungan teknis untuk mengembangkan Arabic Braille Converter, untuk konversi Arab ke Braille,” ujar Budi.Konverter ini menjadi terobosan penting. Bagi tunanetra, menulis atau membaca huruf Arab di komputer bukan perkara mudah. Proses belajar mengajar pun sering terhambat, terutama saat teks Arab disajikan dalam bentuk gambar. Kini, guru cukup memindai gambar, lalu aplikasi otomatis mengubahnya menjadi teks Arab atau Braille. Cepat, praktis, dan inklusif.“Jadi aplikasi ini sudah terkoneksi dengan ChatGPT 4o, sudah berbasis AI. Bagi guru yang kesulitan mengetik Arab braille cukup di-scan atau difoto, kemudian dikonversi ke Arab cetak atau sebaliknya dari Arab ke Arab Braille. Begitupun tunanetra,” papar Budi.Selain itu, ada pula Math Mitranetra Braille Converter (MathMBC), aplikasi yang membantu tunanetra memahami persamaan matematika, dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Guru yang tidak menguasai Braille pun kini bisa mengajar dengan lebih mudah.Sugiyo, tunanetra yang merupakan salah satu guru di Yayasan Mitra Netra dan kini berhasil menyabet gelar Magister Teknik Informatika (S2) di Universitas Pamulang (Unpam). Foto: kumparan/Habib Allbi FeridanMatchBMC memungkinkan pengguna mengkonversi dokumen persamaan matematika dalam format awas (format cetak) menjadi dokumen persamaan matematika dalam format Braille (forward translation). Dia bisa menjadi jembatan penghubung antara peserta didik tunanetra yang sedang belajar matematika dengan guru di sekolah reguler.“Yang paling terasa setelah adanya teknologi, saat ini kendala tunanetra saat berkuliah adalah mereka selalu mengambil jurusan humaniora, tidak ada hubungannya dengan eksakta. Karena pembelajaran matematika belum kuat. Guru juga mengajar alakadarnya. Dengan adanya tools atau aplikasi ini, sekarang tunanetra sudah ada yang berkuliah di jurusan IT, salah satunya di Universitas Pamulang (Unpam), bahkan ada yang lanjut S2,” papar Budi.Kini, Mitra Netra bukan sekadar yayasan. Ia telah menjelma jadi simbol bahwa kegelapan tidak selamanya berarti akhir. Dari ruangan sederhana di Jakarta, mereka menyalakan api kecil yang menerangi ribuan tunanetra di Indonesia.Lewat teknologi, para tunanetra kini bisa bermimpi menjadi programmer, AI engineer, atau pendidik digital, profesi yang dulu terasa jauh dari jangkauan. Karena sejatinya, keterbatasan bukan tembok, melainkan jembatan menuju makna baru tentang hidup.Di dunia yang gelap, Mitra Netra menjadi lentera, membuktikan bahwa tak perlu mata untuk melihat cahaya, cukup hati yang percaya bahwa setiap manusia berhak bersinar.