Gambar: Dok Pribadi Masih segar di pikiran kita bagaimana peristiwa monumental di tahun 98 berhasil melahirkan demokrasi dan menumbangkan rezim otoriter yang jauh dari kata emansipasi. Saya pikir kita dapat bergembira akan kemenangan yang kita rasakan, akan tetapi di sisi lain membawa satu tanda tanya besar, apakah demokrasi yang dilahirkan oleh reformasi sudah mencapai semangat yang ingin dicapai? Saya pikir tidak.Demokrasi kita pada akhirnya hanya melahirkan koruptor-koruptor yang tidak bermoral. Tentunya ini berakar dari lemahnya mekanisme check and balance baik secara formal maupun non-formal. Lebih dari itu kekosongan moral dari penguasa saya kira sudah menjadi masalah laten dalam pemberantasan korupsi hari ini.Data dari Corruption Perception Index menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan membutuhkan perhatian lebih dari semua pihak. Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai pada titik terendahnya di tahun 1998 saat korupsi sangat masif dan juga menjadi masalah sistemik di tubuh pemangku kebijakan.Sebuah kemajuan ditunjukkan pada 2003 yang di tahun tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi lahir sebagai badan independen dalam pemberantasan korupsi. Selanjutnya, tren positif terus berlanjut hingga indeks persepsi korupsi Indonesia tembus pada skor 40 tahun 2019. Akan tetapi, keputusan kontroversial revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 membawa masalah baru bagi perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia.Banyak pakar yang menilai dengan hadirnya revisi UU KPK No. 19 tahun 2019 secara langsung telah memperburuk kinerja KPK. Beberapa poin yang disoroti adalah pelemahan struktural yang sistemik, pemberian kewenangan yang sangat besar kepada Dewan Pengawas serta perubahan status kelembagaan di mana KPK berada di bawah presiden telah menghilangkan nyawa independensi KPK.Lebih jauh saya melihat bahwa dengan adanya revisi UU KPK ini membawa masa depan penegakan korupsi Indonesia yang sarat akan transaksi politis. Menurut laporan dari VOA Indonesia lebih dari 100 kasus dugaan korupsi mandek akibat tidak mendapatkan persetujuan dari dewan pengawas kpk. Dengan adanya mekanisme ini membuat satu celah besar penanganan dugaan praktik korupsi yang sarat akan praktik transaksional.Oleh karena itu menurut saya permasalahan korupsi bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, lebih jauh ini menyangkut moralitas culas dari pemangku kebijakan. Banyak kasus korupsi yang menyayat hati seperti, korupsi pengadaan bantuan sosial Covid-19, dugaan korupsi kuota haji, korupsi pengadaan chromebook, dan banyak kasus lainnya telah menjadi bukti runtuhnya moral pejabat publik. Oleh karena itu kita butuh satu narasi moral!Narasi Siri’ na Pacce dalam Praktik Pemberantasan KorupsiIlustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparanDalam menjawab satu kekosongan moral tersebut saya pikir narasi lokal tidak pernah kehabisan jawaban atas permasalahan ini. Dari jantung nusantara terdapat satu falsafah dari masyarakat Bugis-Makassar yakni Siri’ na Pacce. Ini menjadi kompas moral bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berbagai lini kehidupan. Secara harfiah Siri’ berarti rasa malu (harga diri) sedangkan Pacce’ atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse berarti pedih atau pedas.Siri’ sendiri memiliki tiga pemaknaan yaitu; pertama malu, kedua, perintah untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, dan ketiga, perintah untuk bekerja atau berusaha sebaik mungkin.Sedangkan Pacce atau Pesse memiliki makna perasaan pedih dan empati yang mendalam ketika melihat penderitaan sesama yang mendorong solidaritas dan gotong royong sesama. Dua kata ini saling melengkapi satu sama lain dan menjadi kompas moral masyarakat Bugis-Makassar dalam semua lini kehidupan.Nilai siri’ na pacce bisa menjadi satu pegangan sekaligus tamparan bagi pejabat publik yang sudah kehilangan moralitas di tengah masyarakat yang semakin tertindas oleh praktik korupsi yang culas.Praktik korupsi dipandang sebagai perilaku yang memalukan yang menghancurkan siri’ dan perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik. Selain itu praktik korupsi dapat kita lihat sebagai bentuk penindasan terhadap kepercayaan masyarakat yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab moral pejabat publik.Sudah seharusnya tertanam di pikiran lalu melalui tindakan pejabat publik bahwa, jabatan yang ia duduki merupakan mandat yang datang dengan tanggung jawab moral besar. Sehingga perlu satu kompas moral yang berpihak kepada kepentingan komunal bukan kepada perseorangan atau kelompok tertentu.Konteks Demokrasi dan Birokrasi dalam I La GaligoDi dalam I La Galigo juga diajarkan bagaimana kepemimpinan itu berlandaskan pada tanggung jawab pada rakyat, keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas, serta loyalitas terhadap nilai luhur dan bukan keuntungan pribadi semata. Lebih jauh kita dapat menilik bagaimana birokrasi kita berjalan dalam konteks pemberantasan korupsi.Menurut saya birokrasi hari ini tidak lebih dari transaksional politis yang sering kali menihilkan kepentingan publik. Dalam hal penentuan dewan pengawas KPK dari pembentukan panitia seleksi ditentukan langsung oleh Presiden yang membuka ruang untuk intervensi kepentingan di mana seharusnya insan pemberantas korupsi harus independen tanpa intervensi dari siapa pun.Dilanjut dengan uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, di mana kita tau DPR terdiri dari fraksi-fraksi partai yang sarat akan kepentingan politik. Lebih jauh ini juga semakin menihilkan sisi independensi calon dewas KPK. Kemudian hasil dari uji kelayakan ini diusulkan kepada Presiden dan menetapkan 5 orang sebagai dewan pengawas KPK.Saya pikir ini tidak sehat bagi iklim pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana seharusnya KPK menjadi lembaga independen yang berhak untuk melakukan penelusuran penyelidikan, dan penangkapan kepada setiap pejabat publik tanpa terkecuali termasuk Presiden dan Anggota Dewan yang diduga serta terbukti melakukan praktik korupsi.Dalam praktik birokrasi ini value dari epos I La Galigo punya satu pembelajaran yang sangat berharga. Diceritakan bahwa pemimpin To Manurung bukanlah sosok yang superpower dalam konteks jabatannya sebagai Raja, ia mendapatkan legitimasi sebagai Raja dari kontrak sosial antara masyarakat dengan ia sebagai calon pemimpin.Dalam praktik birokrasinya Raja juga dibatasi oleh pihak atau lembaga independen seperti Ade’ Alloping atau dewan adat yang memiliki fungsi kontrol seperti menegur, menasehati, bahkan memakzulkan raja apabila terbukti melanggar kontrak sosial dan hukum adat. Ini juga memiliki fungsi aspirasi suara dari rakyat atau ada’ mappaseng.Sistem birokrasi ini dijalankan tanpa adanya intervensi dari satu pihak ke pihak lain, sehingga tetap menjaga independensi dan membatasi kesewenangan kekuasaan oleh pihak tertentu. Selain itu ini juga dijalankan pada kompas moral leluhur Bugis yang selalu menempatkan kepentingan komunal di atas kepentingan perseorangan.Indonesia Butuh Kompas Moral!Pada akhirnya, kita dapat menilik bahwa akar permasalahan korupsi hari ini bukan sekedar celah hukum atau pelemahan lembaga, lebih jauh runtuhnya moralitas pejabat publik masih menjadi satu momok dalam birokrasi kita. Demokrasi seharusnya menjadi jalan bagi keadilan, akan tetapi dalam praktiknya kerap menjadi arena transaksi kepentingan berbagai pihak.Falsafah Bugis Siri’ na Pacce mengajarkan bahwa praktik korupsi jelas menghancurkan martabat individu pejabat publik sekaligus praktik culas yang menindas masyarakat. Pun dalam I La Galigo kita diajarkan bahwa jabatan merupakan mandat dari rakyat yang dibatasi oleh kontrak sosial dan lembaga-lembaga independen lainnya.Siri’ na Pacce menjadi tamparan keras bagi pejabat publik, mereka seharusnya merasa malu dan pedih akan praktik penindasan yang mereka lakukan. Jika pejabat publik bisa mengilhami dan mengartikulasikan narasi moral ini, saya rasa kita tidak lagi bertanya “kepada siapa moralitas pejabat publik berpihak?”