Lebih Rentan, Pakar UGM Ungkap Gejala DBD pada Anak yang Perlu Diwaspadai

Wait 5 sec.

Ilustrasi nyamuk (Foto: Freepik/jcomp)JAKARTA - Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah serius di berbagai daerah di Indonesia. Meski sudah dikenal sejak lama, jumlah kasusnya belum menunjukkan tanda-tanda menurun dan terus menimbulkan kekhawatiran masyarakat.Hingga Mei 2025, data Kementerian Kesehatan RI mencatat lebih dari 56 ribu kasus DBD dengan 250 kematian. Di Tasikmalaya, tercatat 607 orang positif DBD sejak Januari hingga September, sementara RSUD Kota Batam melaporkan 79 kasus sepanjang tahun 2025.Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Eggi Arguni, M.Sc., Ph.D., Sp.A(K)., menjelaskan bahwa anak-anak masih menjadi kelompok paling rentan terhadap infeksi dengue.“Kasus terbanyak di Indonesia masih didominasi oleh usia anak, terutama di bawah 10 tahun,” ujar dr. Eggi, dikutip dari laman resmi Universitas Gadjah Mada.Ia menambahkan peningkatan kasus DBD disebabkan oleh dua faktor utama, yakni sistem kekebalan tubuh anak yang belum sempurna dan tingginya risiko paparan di sekolah maupun di rumah.Selain itu, bayi juga berisiko mengalami gejala lebih berat karena adanya antibodi dari ibu yang bisa memicu reaksi kuat saat terinfeksi virus dengue.dr. Eggi menyebutkan penyebaran DBD kini sudah terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Namun, tingkat endemis tertinggi masih ditemukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Makassar, dan Medan.Hal ini disebabkan oleh padatnya penduduk dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.Menurut dr. Eggi, sampai saat ini belum ada obat khusus untuk menyembuhkan infeksi dengue. Penanganannya bersifat suportif, misalnya dengan pemberian cairan, obat penurun demam, atau transfusi darah bila terjadi perdarahan berat.Maka dari itu, pencegahan menjadi langkah utama, mulai dari pengendalian vektor hingga pemberantasan nyamuk penular.“Salah satunya melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan prinsip 3M Plus,”jelasnya.Langkah tersebut meliputi menguras, menutup, dan mendaur ulang tempat penampungan air, serta menambahkan cara lain seperti memelihara ikan pemakan jentik atau melakukan fogging jika diperlukan.dr. Eggi juga mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap waktu aktif nyamuk Aedes aegypti, yang biasanya menggigit pada pagi hari hingga menjelang sore. Banyak orang mengira nyamuk DBD aktif di malam hari, padahal sebaliknya."Justru mereka paling agresif di pagi sampai sore hari, terutama di lingkungan rumah,” ujarnya.Eggi menekankan pentingnya kesadaran masyarakat agar tidak menunda pemeriksaan ketika mengalami demam, karena diagnosis dini sangat berperan dalam penanganan DBD.Ia mengingatkan agar pasien segera memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit supaya bisa mendapat perawatan sejak awal. Penanganan cepat dapat mencegah kondisi menjadi lebih parah.Gejala yang perlu diwaspadai antara lain sakit perut hebat, muntah terus-menerus, perdarahan di gusi atau kulit, serta tubuh terasa sangat lemas."Bila gejala ini muncul, pasien harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan,” jelasnya.Kabar baiknya, Indonesia kini sudah memiliki vaksin dengue yang bisa diberikan untuk usia 4 hingga 60 tahun. Vaksin ini tersedia di rumah sakit atau klinik swasta meskipun belum termasuk dalam program vaksinasi nasional.Pemberian vaksin dilakukan dua kali dengan jarak tiga bulan dan sangat disarankan bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis. dr. Eggi berharap pemerintah segera memasukkan vaksin dengue ke program nasional agar biayanya lebih terjangkau.Menutup penjelasannya, dr. Eggi menegaskan bahwa penanggulangan infeksi dengue adalah tanggung jawab bersama. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan global dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi."Tidak ada satu cara pencegahan yang paling efektif, semua upaya harus dilakukan bersama, mulai dari menjaga kebersihan, PSN, vaksinasi, hingga edukasi masyarakat." tutupnya.