Perang Proksi Iran dan Dampaknya bagi Stabilitas Timur Tengah

Wait 5 sec.

Gambar Ilustrasi (Vecteezy.com)Timur Tengah kembali menjadi pusat perhatian dunia. Konflik terbuka memang masih berlangsung, tetapi yang lebih rumit adalah bentuk perang tidak langsung yang disebut perang proksi. Ini bukan hal baru, namun sejak 2020 Iran semakin sistematis dalam memakainya. Mereka mengandalkan jaringan kelompok seperti Kata’ib Hezbollah di Irak, Houthi di Yaman, dan Hezbollah di Lebanon. Lewat kelompok-kelompok ini, Iran berusaha memperluas pengaruhnya, melawan lawan-lawan regional, dan menekan kepentingan Amerika Serikat serta sekutunya.Mengapa strategi ini efektif? Karena proksi bekerja di wilayah negara lain. Mereka bukan pasukan resmi Iran, tapi mendapat dukungan senjata, pelatihan, dan dana dari Teheran. Hasilnya, Iran bisa melancarkan serangan dan operasi militer tanpa harus mengibarkan bendera atau mengerahkan tentaranya sendiri. Hal ini memberi Iran keuntungan besar. Mereka bisa menekan musuh, tetapi tetap bisa menyangkal keterlibatan langsung ketika dituduh.Dampak pertama yang paling jelas adalah rusaknya kedaulatan negara tuan rumah. Di Irak, Lebanon, dan Yaman, pemerintah resmi kehilangan sebagian kontrol. Milisi yang seharusnya berada di bawah negara malah bertindak seperti negara dalam negara. Mereka punya senjata berat, menguasai wilayah tertentu, bahkan masuk ke dalam institusi politik dan keamanan.Irak adalah contoh paling menonjol. Setelah 2020, berbagai kelompok pro-Iran di sana melancarkan serangan roket dan drone terhadap pangkalan militer Amerika Serikat atau fasilitas diplomatik di Baghdad dan Erbil. Semua itu dilakukan tanpa izin pemerintah Irak. Situasi ini jelas melemahkan otoritas Baghdad. Pemerintah tampak tidak berdaya di mata rakyatnya sendiri, karena tidak mampu mengendalikan wilayah maupun melindungi penduduk dari serangan. Ini menimbulkan ketidakpercayaan pada institusi negara dan memperparah instabilitas politik.Lebanon juga menghadapi masalah serupa. Hezbollah, meski mengeklaim sebagai “perlawanan”, pada kenyataannya memiliki kekuatan militer yang lebih besar daripada tentara nasional. Mereka ikut serta dalam konflik di Suriah dan mengontrol sebagian wilayah Lebanon selatan. Kondisi ini membuat pemerintah Lebanon sering kehilangan kedaulatan untuk mengambil keputusan strategis.Di Yaman, Houthi yang didukung Iran berhasil memperpanjang perang sipil yang sudah lama berlangsung. Sejak 2023, kelompok ini melancarkan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah dan Selat Bab al-Mandeb. Kawasan laut itu penting karena menghubungkan perdagangan Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Serangan Houthi memaksa banyak kapal dagang mengalihkan jalur, yang berarti biaya lebih besar dan risiko rantai pasok global terganggu. Dampaknya dirasakan bukan hanya oleh negara di kawasan, tetapi juga oleh pasar global.Dari sisi strategi, Iran sebenarnya mempraktikkan apa yang disebut eskalasi di grey zone. Ini adalah wilayah abu-abu antara perang terbuka dan damai. Melalui proksi, Iran bisa menyerang Israel, Arab Saudi, atau bahkan kepentingan Amerika, tanpa memicu perang konvensional yang langsung melibatkan tentaranya. Dengan cara ini, Iran menjaga “plausible deniability” atau kemampuan menyangkal. Setiap kali ada serangan, mereka bisa mengatakan tidak tahu-menahu, karena secara formal bukan pasukan mereka yang terlibat.Masalah besar muncul ketika kita melihatnya dari sisi hukum internasional. Bagaimana menentukan apakah sebuah serangan oleh proksi merupakan tanggung jawab Iran sebagai negara sponsor? Standar hukum yang berlaku sekarang menuntut bukti adanya “kendali efektif”. Artinya, harus jelas bahwa negara memberi perintah langsung. Tapi kenyataannya, hubungan proksi jarang transparan. Iran cukup memberi pelatihan, senjata, dan dana, lalu membiarkan kelompok itu beroperasi sendiri. Hal ini membuat tuduhan sulit dibuktikan.Kelemahan aturan hukum internasional inilah yang membuat Iran bisa bergerak bebas. Setiap kali ada serangan, sulit bagi komunitas internasional untuk memberikan sanksi yang sah. Celah ini secara tidak langsung melegitimasi perang ireguler. Negara sponsor tidak pernah benar-benar dihukum, sementara negara tuan rumah terus kehilangan kedaulatan.Jika melihat periode 2020 sampai 2025, perang proksi di Timur Tengah adalah bentuk evolusi baru dari konflik modern. Ini bukan lagi masalah regional. Dampaknya bisa merambat ke keamanan laut, kestabilan energi, hingga perdagangan global. Serangan Houthi di Laut Merah adalah bukti nyata. Satu kelompok milisi bisa mengguncang jalur perdagangan internasional yang vital.Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem negara-bangsa yang sudah jadi fondasi dunia sejak berabad-abad mulai terancam. Ketika aktor non-negara, dengan dukungan negara, mampu mengacaukan stabilitas global, berarti aturan lama sudah tidak cukup. Dunia internasional perlu merumuskan kerangka hukum baru yang lebih adaptif. Bukan hanya soal militer, tapi juga diplomasi dan hukum internasional.Jika tidak ada pembaruan, proksi akan terus jadi alat negara-negara seperti Iran untuk menghindari tanggung jawab, sementara negara tuan rumah semakin rapuh. Situasi ini memperbesar risiko konflik yang makin sulit diprediksi. Tantangannya bukan hanya menjaga keamanan kawasan, tapi juga mempertahankan tatanan global agar tidak runtuh sedikit demi sedikit.