Mitigasi Limbah Tambak: Jalan Tengah Budi Daya Udang dan Kelestarian Pesisir

Wait 5 sec.

Limbah tambak udang yang merusak Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Foto: Greenpeace IndonesiaBudi daya udang vannamei telah menjelma menjadi salah satu penopang ekonomi pesisir Indonesia. Dengan nilai ekspor yang terus meningkat, komoditas ini sering disebut sebagai "emas putih" dari tambak. Namun, di balik kilauannya, tambak udang intensif menyimpan tantangan serius: terdapat limbah organik dan nutrien berlebih yang berpotensi merusak ekosistem perairan pesisir.Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa limbah tambak yang kaya nitrogen dan fosfor dapat memicu eutrofikasi, meningkatkan kekeruhan, memicu ledakan plankton (algae bloom), bahkan menyebabkan hipoksia di perairan sekitar (Boyd & McNevin, 2015; Zhang et al., 2020). Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada hilangnya biodiversitas bentik dan menurunkan kualitas lingkungan pesisir yang menjadi penopang perikanan tangkap tradisional.Pertanyaan yang muncul kemudian: Apakah mungkin tambak udang tetap produktif sekaligus ramah lingkungan? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa mungkin jika praktik budi daya disertai kesadaran mitigasi limbah yang tepat.Problem Lingkungan dari Limbah TambakTambak intensif modern memang dirancang untuk menghasilkan udang dengan produktivitas tinggi. Namun, setiap siklus budidaya menyisakan residu: Sisa pakan tidak termakan yang mengendap di dasar kolam; feses udang yang kaya bahan organik; penggunaan bahan kimiawi untuk sterilisasi air, yang jika tidak terkontrol, bisa berdampak pada biota non-target.Limbah-limbah ini, bila langsung dibuang ke lingkungan, akan menambah beban organik pesisir. Studi di Asia Tenggara menunjukkan bahwa lokasi dengan konsentrasi tambak tinggi rentan mengalami degradasi kualitas air laut dan hilangnya keanekaragaman hayati bentik (Naylor et al., 2021).Mitigasi Limbah: Dari Kolam hingga Saluran PembuanganUntuk mengurangi beban organik, beberapa pendekatan teknis bisa diterapkan di level tambak. Empat di antaranya dianggap paling praktis dan aplikatif di lapangan. Pertama, pengolahan air limbah (waste-water treatment). Tambak yang berorientasi berkelanjutan kini dilengkapi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana. Prinsipnya adalah menahan limbah sebelum masuk ke perairan umum, memberi waktu bagi partikel organik untuk mengendap, atau diurai oleh mikroba. Sistem ini bisa berupa kolam sedimentasi, kolam oksidasi, atau kombinasi keduanya.(Dokumen Pribadi)Penelitian oleh Ferreira et al. (2022) menunjukkan bahwa kolam pengendapan dengan vegetasi mampu mengurangi hingga 70% total suspended solids (TSS) dan menurunkan konsentrasi nitrogen hingga 50%.Kedua, biofilter dan wetland buatan. Biofilter menggunakan tanaman air (seperti mangrove kecil atau rumput rawa), kerikil, maupun material berpori untuk menyaring nutrien berlebih. Konsep wetland buatan (constructed wetland) juga mulai banyak diadopsi. Selain menjadi filter alami, metode ini memberi manfaat tambahan: habitat untuk burung air, serangga, dan organisme kecil lain. Studi di Vietnam menunjukkan bahwa integrasi tambak dengan jalur biofilter vegetatif dapat menekan beban nitrogen hingga 60% dan fosfor hingga 45% (Nguyen et al., 2021).Ketiga, penggunaan probiotik. Penerapan probiotik dalam tambak kini menjadi salah satu solusi populer. Mikroorganisme probiotik bekerja dengan cara mempercepat dekomposisi bahan organik, menstabilkan komunitas plankton, dan menekan dominasi mikroba patogen. Selain memperbaiki kualitas air, probiotik juga membantu kesehatan udang sehingga menurunkan angka kematian. Penelitian terbaru di Indonesia (Setyawan et al., 2023) menunjukkan penggunaan probiotik berbasis Bacillus sp. dapat menurunkan konsentrasi amonia lebih dari 40% serta meningkatkan survival rate udang hingga 15%.Terakhir, desain kolam berkelanjutan. Aspek teknis desain tambak juga berperan. Kolam dengan dasar melandai dan sistem sirkulasi aerasi yang baik akan memudahkan pengendapan lumpur ke satu titik, sehingga bisa dikeluarkan secara berkala. Tambak modern bahkan mulai mengadopsi konsep zero-water exchange di mana pergantian air minimal dan lebih mengandalkan bioflok atau sistem filtrasi internal.Di sisi lain, alternatif sistem Recirculating Aquaculture System (RAS) diperkenalkan sebagai solusi jangka panjang. Sistem ini menutup siklus air di dalam tambak, meskipun biaya investasi awal relatif tinggi. Bagi tambak skala kecil, RAS mungkin belum ekonomis, tetapi bisa dijadikan rujukan arah masa depan budi daya.Foto udara kondisi kolam budidaya udang vaname yang tidak difungsikan di Desa Tuada Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Rabu (31/7/2024). Foto: Andri Saputra/ANTARA FOTOJalan Tengah: Produktivitas dan KelestarianBudi daya udang telah menjadi tulang punggung ekonomi pesisir. Namun, ketergantungan pada ekspor jangan sampai dibayar mahal dengan kerusakan ekosistem yang justru menjadi penopang jangka panjang perikanan.Penerapan mitigasi limbah bukan hanya kewajiban moral, melainkan juga strategi bisnis berkelanjutan. Konsumen global kini semakin kritis terhadap isu lingkungan. Sertifikasi seperti Aquaculture Stewardship Council (ASC) atau Best Aquaculture Practices (BAP) mensyaratkan pengelolaan limbah yang ketat. Artinya, tambak yang menerapkan mitigasi limbah dengan baik dapat berpeluang lebih besar masuk pasar premium dengan harga jual lebih tinggi.Dari Tambak untuk PesisirBudi daya udang intensif ibarat pedang bermata dua: ia bisa menjadi sumber kemakmuran, tetapi juga dapat menjadi ancaman lingkungan. Pilihannya kini ada di tangan para pelaku industri, pemerintah, dan konsumen.Mitigasi limbah melalui pengolahan air, biofilter, probiotik, dan desain kolam berkelanjutan adalah jalan tengah yang perlu ditempuh. Memang butuh biaya tambahan, tetapi jauh lebih murah daripada membayar kerusakan ekosistem pesisir yang tak ternilai harganya.Dengan kesadaran kolektif, budi daya udang tidak hanya bisa memberi devisa, tetapi juga menjadi bagian dari solusi restorasi pesisir. Dari tambak, untuk laut, dan untuk masa depan bersama.