Seberapa Istimewanya Bukittinggi?

Wait 5 sec.

Pertanyaan ini tentu menggelitik. Mengingat keistimewaan Kota bercorak Kolonial Belanda ini pernah diangkat dalam Simposium Bukittinggi Kota Istimewa: Peluang dan Tantangan pada 28 September 2025. Dan penulis didaulat sebagai panelis ketiga untuk membahas, seberapa penting posisi dari kampung halaman proklamator Bung Hatta tersebut.Penampakan Bukitting yang bercorak kolonial dengan Jam Gadangnya. Sumber: https://minangtourism.com/jam-gadang-bukittinggi/"Bukittinggi adalah kota kecil yang terletak di tengah-tengah Daratan Tinggi Agam. Letaknya indah di ujung kaki Gunung Marapi dan Singgalang - demikian Bung Hatta (2002) menarasikan ranah kelahirannya yang sejak abad XIX dikenal dengan nama Fort de Kock —yang kemudian disebut Bukittinggi. Kawasan ini dulunya merupakan bagian utama dari Nagari Kurai V Jorong. Nagari yang bertemperatur antara 16,9–23° Celcius dengan kawasan yang sejuk, udara yang bersih, dan langit siang hari yang cerah.Suasana di pagi hari masih terasa sepi, tenang, nyaman, dan sejuk. Kurai V Jorong berada di bagian selatan Pantai Barat Sumatra. Perjalanan ke utara nagari ini melewati dataran tinggi 900–1.100 meter di atas permukaan laut. Bila perjalanan dilanjutkan mengikuti tepi perbukitan yang mengandung batu pasir Eosen, perjalanan sampai di Bukit Gadang dengan ketinggian 2000 meter dari permukaan laut.Dari sini, aliran air membentang dari timur ke barat dengan jarak 22 kilometer, menuruni salah satu rusuk barat Bukit Gadang. Batang Masang berasal dari banyak aliran kecil yang berasal dari Singgalang dan Merapi. Aliran Batang Masang berkelok mengikuti lekuk dari karbauwengat (baca: Ngarai Sianok), kemudian melewati Fort de Kock (Fennema, 1887: 129).Dari Kurai V Jorong Menjadi Kota Bercorak KolonialTerbentuknya Pasar Ateh yang berada berada di jantung Kurai V Jorong, tidak bisa dipisahkan dari konflik Padri dan Kerajaan Pagaruyung. Pasar tersebut berdiri di atas Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai yang juga dihadiri petinggi kolonial Belanda. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mengganti namanya menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama yang terakhir itulah yang menjadi Bukittinggi (Zulqayyim, 2006).Kesepakatan lain yang dicapai pemerintah kolonial Belanda ialah izin mendirikan fort (benteng), overheidsgebouw (bangunan pemerintahan), rumah pengadilan yang anggotanya berasal dari pribumi, kierkoff (kuburan Belanda), dan lainnya. Untuk rencana pembangunan, penghulu Kuraitelah menyediakan Bukit Jirek, Sarang Gagak,Tambun Tulang, Cubadak Bungkuak, dan Malambuang. Beberapa kawasan perbukitan inilah yang kemudian menjelma menjadi kawasannya Fort de Kock (Hadjerat, 1946: 7).Tidak sekadar bangunan pertahanan, pemerintah kolonial Belanda turut membangun tangsi-tangsi militer di dekat benteng. Bangunan lainnya yang turut dibangun masa itu adalah rumah opsir-opsir KNIL dan veldpolitie yang berada di atas Ngarai Sianok. Sejak akhir abad ke-19, Fort de Kock menjelma menjadi Buitenzorg.Selain itu, pemerintah turut membangun gevangenis (rumah penjara) tahun 1840, Kweekschool atau Sekolah Raja (1856) dan kerkhof (kuburan) pada 1832. Sejak ditemukan dieksplorasinya batubara di Sawahlunto perusahaan Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust (SSS) giat membangun ruas rel kereta api yang mengkoneksikan seluruh daerah di pesisir pantai hingga ke pedalaman Minangkabau. Untuk ruas jalan dari Padang Panjang menuju ke Fort de Kock telah dimulai pada 1891.Enam tahun jelang diresmikannya rel kereta api yang menghubungkan Padang Panjang–Fort de Kock–Payakumbuh, pemerintah membangun paardenrennen atau pacuan kuda di Bukit Ambacang pada 1889. Selanjutnya tahun 1890 dan 1896 dibangun dua gudang (loods); Perombakan pasar berskala besar terjadi pada masa pemerintahan Controleur L.C. Westenenk pada tahun 1901-1909. Wilayah pasar diperluas dengan meratakan gundukan bukit, termasuk merobohkan warung-warung dan menggantinya dengan beberapa loods (De Courant, 30 Juni 1914).Dampak luas dari masifnya pembangunan kota bercorak kolonial tersebut, mendorong migrasi besar-besaran etnis ke kawasan ini. Bila awalnya dihuni masyarakat Kurai, masing-masing etnis membangun perkampungan: etnis Tionghoa dengan Kampung Pondok, etnis Nias (Kampung Nias) dan keturunan India dengan Kampung Kaliangnya (Sufyan, 2025). Jadi, maka jadilah kota ini menjadi kawasan yang majemuk dihuni oleh orang Minang, Eropa, Tionghoa, India, dan Nias.Awalnya pemerintah mengandalkan karbouwengat Ngarai Sianok, kemudian di Bukit Malambuang pada 1900 pemerintah telah menyiapkan taman bunga (stormpark). Sembilan belas tahun kemudian, berdiri area taman yang diberi nama Jamespark. Belum merasa puas, pemerintah residensi Sumatra Westkust pada 1926 membangun klokketoren, kemudian orang Minang menyebutnya Jam Gadang.Tiga tahun kemudian Kawasan Jamespark disulap menjadi kebun binatang (dierentuin). Tujuan untuk menambah daya tarik wisatawan hadir di Fort de Kock (De Avondpost, 26 September 1929). Pada Juli 1929 beberapa kandang sudah selesai. Koleksi hewan semakin lengkap pada tahun 1933 dengan 155 jenis, diperkaya dengan rumah gadang gajah maharam berukuran 36,5 meter x 10 meter (De Avondpost, 26 Mei 1934).Ketiadaan akomodasi yang representatif dan tingginya tingkat kunjungan pelancong lokal dan Eropa ke Bukittinggi dimanfaatkan oleh sektor swasta untuk membangun hotel. Satu penginapan luks dan mewah di akhir 1920-an dengan luas kompleks bangunan 4.307 m² ialah Hotel Centrum (De Sumatra Post, 27 Mei 1928). Sebagai ibukota dari Padangsche Bovenlanden (dataran tinggi Padang), Bukittinggi tetap bertahan sebagai pusat pemerintahan sampai datangnya tentara pendudukan Jepang.Dari Pusat Pemerintahan Menjadi Ibukota NegaraSejak Pendudukan Jepang pada Maret 1943, secara resmi Sumatra Westkust berganti nama menjadi Sumatora Nishikaigan-shū (スマトラ西海岸州). Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi menjadi pusat militer strategis untuk mengendalikan wilayah Sumatra hingga Singapura dan Thailand, serta berganti nama menjadi Bukittinggi Shi Yaku Sho (Sufyan, 2020).Selain itu di masa Dai Nippon membangun struktur pertahanan seperti Lubang Jepang di Bukittinggi. Sampai jelang akhir tahun 1944, pembuatan lubang ini diduga melibatkan 2000 orang tenaga romusha – yang berasal dari Sumatra (Tempo Publishing, 2002).Lubang tersebut berfungsi sebagai bunker dan tempat penyiksaan untuk para pekerja romusha dan tahanan. Kehidupan rakyat secara keseluruhan di Indonesia menderita kelaparan dan kemiskinan. Jepang memobilisasi pendidikan dan membentuk barisan untuk kepentingan merekaDerita selama 3 ½ tahun kekuasaan Dai Nippon berakhir dengan dibacakannya teks Proklamasi Kemerdekaan oleh Bung Karno dan didampingi oleh perumus teks Proklamasi sekaligus putra kelahiran Bukittinggi, Moh. Hatta.Di awal kemerdekaan di Bukittinggi pun tidak kalah heroiknya. Pengibaran pertama bendera Merah Putih di Bukittinggi pada 19 Agustus 1945 dilakukan di puncak Jam Gadang setelah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebar, meskipun menghadapi pertentangan dari pihak Jepang. Pemuda bernama Mara Karma memimpin aksi pengibaran Sang Saka Merah Putih ini dan berhasil mengibarkannya untuk pertama kalinya di lokasi tersebut (Kementerian Penerangan, 1953).Bersamaan dengan pengibaran Sang Dwi Warna di Jam Gadang, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan pembentukan delapan provinsi di Indonesia. Untuk wilayah Sumatra meliputi daerah yang pernah menjadi residensi di masa Kolonial Belanda (Residentie Atjeh en Onderhoorigheden, Tapanoeli, Sumatra's Westkust, Benkoelen, Lampoengsche Districten, Palembang, Djambi, Riouw en Onderhoorigheden, Oostkust van Sumatra, dan Bangka en Billiton) atau daerag Rikugun Tomi Shudan Sumatra di masa Dai Nippon.Lalu di mana ibukota dari Provinsi Sumatra? Bukittinggi diputuskan menjadi ibu kota Provinsi Sumatera oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 9 Agustus 1947. Tidak mengherankan, sedari awal kemerdekaan hingga jelang Desember 1948, kawasan Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan, juga menjadi bagian penting dalam urat nadi dari wilayah terdekatnya, seperti Riau dan Jambi.Dalam Provinsi Sumatra Tengah, ditegaskan, “Pada masa itu Bukittinggi jang telah menjadi ibukota Sumatera lalu bersiap-siap untuk menjambut kedatangan Presiden. Presiden akan datang dari Jogja ke Bukittinggi jang telah mendapat nama djulukan “Jogja kedua” atau ibukota RI”. Rencana untuk menjadikan ibukota dari Indonesia pun diperkuat dengan sinyalemen, bahwa pada 19 Desember 1948, Bung Karno direncanakan akan berkunjung ke Bukittinggi (Kementerian Penerangan, 1953).Jelang Desember 1948, seluruh instansi pemerintahan yang berkedudukan di Medan dan Pematangsiantar diungsikan ke Bukittinggi bersama seluruh perangkatnya. Instansi tersebut antara lain Jawatan Kepolisian Negara, Pencetakan Oeang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (OERIPS), markas TNI Divisi IX/Banteng (Sumatera Tengah), serta seluruh markas besar seluruh laskar rakyat dipusatkan di kota Bukittinggi (Kompas, 15 November 1987)Tak hanya itu, sekolah kadet TNI juga didirikan di Bukittinggi. Pada 1 September 1948, enam orang perempuan mulai mengikuti pendidikan inspektur polisi bersama dengan 44 siswa laki-laki di SPN Bukittinggi, sehingga sejak saat itu tanggal 1 September diperingati sebagai hari lahirnya polisi wanita (Polwan). Beberapa anggota pertamanya merupakan jebolan Sekolah Inspektur Polisi (Oudang, 1962; Tanumidjaja, 1971; .Pembentukan pemerintah darurat PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Bermula dari Agresi Militer II Belanda yang merebut ibukota RI di Yogyakarta. Jelang ditangkap, Sjafruddin Prawiranegara menyebutkan, Soekarno dan Hatta saat itu sempat mengadakan Sidang Kabinet darurat. Hasilnya, tampuk pemerintahan untuk sementara diserahkan ke Sjafruddin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk pemerintah darurat.Pada 19 Desember 1948 Bukittinggi yang telah menjelma sebagai ibukota negara itu pun dibombardir oleh pesawat udara milik Belanda. “dan dari segenap jurusan itu maju ke Bukittinggi untuk menduduki ibukota negara ini” Di tengah dentuman bom, bertempat di istana Wakil Presiden, diselenggarakan rapat darurat yang diketuai oleh Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara (Kementerian Penerangan, 1953).Rapat itu juga dihadiri oleh Ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatra Teuku Moh, Hassan, PTTS Kolonel Hidayat, Gubernur Sumatera Tengah Mr. M. Nasroen, dan beberapa orang pegawai menetapkan, bahwa Sumatra Tengah dibekukan. Dan sebagai gantinya pemerintahan residensi kembali dihidupkan.Rentetan masa lalu dari koto rang Agam menegaskan bahwa kawasan ini tidak sekadar disimbolkan dengan jam gadang ataupun indahnya karbouwengatnya Ngarai Sianok belaka. Bukittinggi menjadi bagian representasi ibukota dari Provinsi Sumatra di awal kemerdekaan; ibukota dari Sumatra Tengah (1947), juga menjadi bagian dari kesejarahannya sebagai ibukota negara Republik Indonesia.Bukittinggi tidak sekadar istimewa, juga menjadi ingatan bersama oleh anak bangsa dalam narasi masa lalunya sebagai bagian ibukota negara, sebagaimana halnya Jakarta ataupun Yogyakarta. Sehingga butuh sedikit orang yang berhimpun dalam tim kecil, untuk merekonstruksi kembali pentingnya posisi Bukittinggi sebagai bagian dari memori kolektif bangsa ini.