Presiden Prabowo Subianto dalam Peringatan Hardiknas 2025 di SDN Cimahpar 5, Bogor sekaligus menyaksikan langsung demonstrasi penggunaan smart board atau papan interaktif, Jumat siang (2/5). (Setpres)JAKARTA – Pengadaan smart TV atau TV pintar ke sekolah-sekolah ibarat lagu lama yang diputar kembali. Kebijakan ini tidak hanya buang-buang anggaran, tapi juga pemerintah dinilai tidak memiliki perspektif pendidikan dalam mengelola pendidikan.Pengadaan TV pintar untuk seluruh tingkat pendidikan yang mulai didistribusikan oleh pemerintah menunjukkan sejumlah permasalahan. Pengamat menilai pengadaan ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami masalah pendidikan. Belum lagi adanya celah korupsi karena metode pengadaan barang secara tertutup tanpa tender.“Pemerintah enggak punya perspektif pendidikan dalam mengelola pendidikan. Saya khawatir kita jatuh ke lubang yang sama,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji.Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap pengadaan tv pintar kali ini memiliki kesamaan dengan kasus pengadaan chromebook. Proyek chromebook sempat digadang-gadang sebagai terobosan digitalisasi pendidikan, namun malah tidak tepat sasaran dan akhirnya dikorupsi.Tak Selesaikan MasalahProgram bantuan pemberian Smart TV berawal dari arahan Presiden Prabowo Subianto saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025. Saat itu Presiden Prabowo bilang pemerintah akan membagikan satu unit smart TV ke setiap sekolah untuk membantu pembelajaran jarak jauh di sekolah.Melalui layar digital interaktif itu, siswa di sekolah yang kekurangan guru dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh oleh guru kompeten di tempat lain. Presiden kembali menyebutkan rencana pendistribusian televisi pintar dalam pidatonya di siding tahunan MPR, 15 Agustus lalu. Kemudian Prabowo mengatakan sebanyak 10 ribu sekolah telah mendapatkan TV pintar.Papan interaktif atau layar digital pintar (interactive flat panel) di SDN Cimahi Mandiri 1, Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (22/9/2025). (ANTARA/Abdan Syakura/tom)Pendistribusian TV pintar akan terus meningkat seiring waktu, dengan target 330 ribu televisi sudah didistribusikan untuk sekolah di semua jenjang pendidikan pada tahun ajaran 2025/2026.Menurut pandangan kepala negara, keberadaan TV pintar ini akan membantu siswa sekolah di daerah-daerah terluar, terdepan, dan tertinggal atau 3T untuk mengakses guru-guru berkualitas.Namun anggapan ini disanggah Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji. Ia menilai kebijakan ini menunjukkan ketidaktahuan pemerintah soal masalah mendasar pendidikan di Indonesia. Menurut Ubaid, tidak semua sekolah di Indonesia, terutama di daerah 3T, memiliki fasilitas listrik dan internet yang baik. Makanya, ia pesimistis keberadaan TV pintar bisa meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut.Selain itu, Ubaid juga memukan sejumlah sekolah yang mendapatkan TV pintar padahal sejatinya tidak membutuhkan karena mereka berada di kota besar.“Kalau didistribusikan ke kota, sama saja enggak ada manfaatnya. Saya enggak pernah tahu kajian (kebijakan TV pintar) seperti apa. Jadi, bagaimana kita berharap berdampak baik terhadap kualitas pendidikan kalau kebijakannya suka-suka pejabat,” tutur Ubaid.Pemerintah seharusnya fokus pada sejumlah hal mendasar, seperti peningkatan kualitas serta kesejahteraan guru, pembukaan akses pendidikan seluas-luasnya, dan peningkatan infrastruktur pendidikan.“Anak enggak sekolah masih jutaan. Mengalokasikan dana untuk itu akan langsung bermanfaat,” katanya.Catatan JPPI hingga Mei 2024, ada 3.094.063 anak yang tidak sekolah di Indonesia, salah satunya karena faktor keterbatasan ekonomi. "Kebijakan itu disebut tepat sasaran jika sesuai dengan kebutuhan yang diajukan sekolah yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, tapi itu kan enggak ada” tuturnya.“Pemerintah enggak punya perspektif pendidikan dalam mengelola pendidikan,” tegas Ubaid.Membuka Celah Korupsi BaruIndonesia Corruption Watch justru melihat pengadaan TV pintar ini memiliki kemiripan dengan pengadaan chromebook di era Menteri Pendidikan Nadiem Nakarim. ICW melihat berbagai kejanggalan dalam pengadaan TV pintar tersebut.ICW menyebut total pagu untuk pengadaan TV pintar ini mencapai Rp8,3 triliun, meski beberapa sumber lain menyebut nilainya lebih rendah, yaitu Rp7,9 triliun. Harga per unit untuk TV pintar ini kabarnya mencapai Rp26 juta. Namun, pengadaan TV pintar ini tanpa tender.Perusahaan terpilih melalui metode penunjukan langsung, yaitu Hisense, perusahaan dari Tiongkok yang menyodorkan harga Rp26 juta per unit. Sedangkan pesaingnya, Acer, memberi harga di kisaran Rp40 juta per unit.Dari sejumlah kejanggalan tersebut, ICW melihat program pengadaan TV pintar dalam kerangka digitalisasi pembelajaraan menyimpan berbagai persoalan serius dalam aspek transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap regulasi pengadaan barang atau jasa pemerintah.“Jika Presiden Prabowo menyampaikan bahwa pengadaan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia melalui digitalisasi pembelajaran, terutama di daerah terpencil dengan keterbatasan guru, jawabannya jelas bukan melalui pengadaan smart TV,” tulis ICW dalam laporannya.Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Lukmanul Hakim saat mengunjungi anak-anak yang putus sekolah di RW 06 Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, pada Kamis (14/8/2025). (ANTARA/Risky Syukur)Krisis kompetensi guru adalah persoalan struktural yang hanya bisa diatasi melalui peningkatan kualitas pendidikan guru, pelatihan berkelanjutan, serta distribusi tenaga pendidik yang merata. Sementara itu, TV pintar hanyalah perangkat keras. Tanpa guru yang mampu mengelola pembelajaran, perangkat tersebut tidak memberi nilai tambah.Menurut ICW, pendekatan ini tidak tepat karena tidak menyentuh akar persoalan yang ada dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, sangat berisiko menimbulkan pemborosan dan membuka celah korupsi baru.“Pemerintah seharusnya belajar dari kasus pengadaan chromebook yang tidak tepat sasaran dan akhirnya dikorupsi. Proyek chromebook semula digadang-gadang sebagai terobosan digitalisasi pendidikan, tetapi dalam praktiknya justru sarat masalah: perangkat tidak tepat sasaran, tidak sesuai kebutuhan sekolah, dan justru memperkaya segelintir orang,” tegas ICW.“Pola yang sama kini tampak berulang pada proyek smart TV. Alih-alih menutup celah penyimpangan, pemerintah justru kembali menempuh jalan yang berisiko tinggi membuka ceruk korupsi,” pungkas ICW.