Pengusaha Wanti-wanti Soal Kurikulum dalam Program Magang Nasional

Wait 5 sec.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (7/10/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparanPengusaha menyarankan pemerintah untuk memperhatikan permasalahan kurikulum dalam pelaksanaan Magang Nasional yang saat ini tengah digelar untuk fresh graduate dengan masa kelulusan maksimal 1 tahun.Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan pengusaha mendukung penuh program tersebut, namun dia juga menekankan pentingnya memastikan manfaat yang akan didapat oleh peserta dari program ini.Dia menyarankan agar Kementerian Ketenagakerjaan menggandeng Apindo dalam proses verifikasi kesiapan perusahaan.“Saya juga menyarankan kepada pemerintah untuk melibatkan asosiasi pengusaha seperti Apindo. Nanti kita yang akan verifikasi, ada nggak kurikulumnya? ada nggak peralatannya. Jadi jangan asal buka magang. Magang itu ada instrukturnya dan ada kurikulumnya,” kata Bob di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (7/10).Menurut dia pemerintah perlu memastikan perusahaan penyelenggara memiliki sistem pelatihan yang jelas dan relevan dengan kebutuhan industri.Bob juga menyoroti agar perusahaan besar dan multinasional tidak bergantung pada dana negara untuk menjalankan magang.“Kalau perusahaan besar minta duit dari negara untuk magang, malu dong,” imbuhnya.Dia membeberkan saat ini jumlah anggota Apindo yang mendaftar sebagai penyelenggara dalam program ini telah mencapai ratusan, didominasi sektor jasa dan manufaktur.Lebih lanjut Bob melihat program Magang Nasional memiliki multiplier effect yang besar bagi perekonomian dan ketenagakerjaan. Menurut dia, setelah mengikuti magang, peserta tidak hanya mendapatkan pengalaman kerja, tetapi juga menerima uang saku yang bisa menjadi modal awal untuk melangkah ke tahap berikutnya.Nantinya uang tersebut dapat digunakan untuk membuka usaha kecil atau mengikuti pelatihan lanjutan agar memiliki keterampilan yang lebih spesifik dan berdaya saing tinggi.Bob Azam mencontohkan, ada peserta magang berbayar yang kemudian melanjutkan pelatihan di sekolah pengelasan hingga akhirnya diterima bekerja di Jepang melalui kerja sama antar lembaga.“Kalau dia nggak punya modal sama sekali, dari mana duit Rp 40-60 juta? Akhirnya korban potongan agen, nggak kuat, kabur, suratnya ditahan, jadi pekerja gelap,” ujar Bob.Menurutnya, dengan adanya program magang yang berkelanjutan, peserta memiliki peluang untuk meningkatkan keterampilan tanpa harus terjebak dalam praktik percaloan atau penipuan tenaga kerja. “Jadi yang kita harapkan, magang bisa jadi pintu awal kemandirian ekonomi, bukan sekadar pengalaman kerja sementara,” tutup Bob.