Indikator keberhasilan riset Indonesia terlalu berorientasi pasar, ilmu sosial terpinggirkan?

Wait 5 sec.

● Penggunaan skala Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) sebagai indikator tunggal keberhasilan riset di Indonesia tidak adil bagi ilmu sosial-humaniora.● Riset sosial dan humaniora tetap penting karena berperan menjaga fungsi kritis ilmu pengetahuan.● Indonesia membutuhkan indikator riset yang lebih beragam, agar semua disiplin ilmu dapat diukur secara adil sesuai kontribusinya.Tulisan kami di The Conversation Indonesia pada 4 September 2025 soal ribuan riset yang tak terpakai di industri memunculkan perdebatan dan pertanyaan di media sosial. Salah satu pertanyaan menarik yang muncul: apakah keberhasilan semua riset mesti dipukul rata dengan ukuran yang sama, yaitu kemampuan menghasilkan produk yang bisa dipakai industri?Di Indonesia, arah riset dan inovasi kini memang semakin didominasi oleh paradigma teknologi yang memakai logika pasar.Hal ini salah satunya tampak pada penggunaan skala Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) 1–9 oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi sejak 2016. Skala ini diadopsi dari Technology Readiness Level (TRL) atau level kesiapan teknologi milik NASA yang menilai produk sesuai kesiapan pasar. Sejak saat itu, kesuksesan riset seolah diukur dari seberapa dekat ia menuju produk siap pakai.Masalahnya, paradigma yang mengikuti pola linier riset-protitipe-komersialisasi ini mengabaikan tiga hal yang tak kalah penting dari ilmu sosial: membentuk kesadaran dan mengubah perilaku publik, pengawal demokrasi, dan penjaga fungsi kritis. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau ulang indikator untuk mengukur keberhasilan riset, terutama terkait ilmu sosial-humaniora. Baca juga: Ribuan riset dan paten Indonesia terjebak di "jurang maut" karena tak dipakai industri Sisi buruk dominasi paradigma teknologiSkala TRL awalnya dikembangkan oleh NASA pada 1970-an untuk menilai sejauh mana sebuah teknologi antariksa siap diterapkan untuk misi antariksa. Skala ini kemudian diadopsi secara luas oleh berbagai lembaga lain, seperti Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS), Badan Antariksa Eropa, hingga Komisi Eropa.Di Indonesia, Kementerian Ristekdikti turut mengadopsinya menjadi TKT 1–9 melalui Peraturan Menteri Nomor 42 Tahun 2016, sebagai alat ukur kesiapan teknologi dari riset hingga komersialisasi produk teknologi.Sebenarnya, penggunaan TKT sebagai indikator kesiapterapan teknologi tidak menjadi soal jika tidak diberlakukan secara seragam. Namun, jika skala ini dipaksakan ke ilmu sosial yang memiliki perbedaan fungsi dan luaran penelitian, maka ia akan menimbulkan setidaknya tiga masalah.Pertama, paradigma industri dan pasar akan menjadi terlalu dominan. Riset dipaksa untuk berujung pada prototipe, model bisnis, atau paten. Padahal, tidak semua pengetahuan harus berakhir menjadi produk. Kontribusi ilmu yang juga tak kalah penting adalah mendorong kesadaran publik, perubahan perilaku, atau pembongkaran struktur ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat atau sistem.Kedua, riset kritis tentang ketidakadilan sosial, relasi kuasa, atau wacana politik menjadi terpinggirkan. Ia dianggap “tidak aplikatif” dan berhenti di TKT rendah. Padahal, riset jenis inilah yang menjaga agar demokrasi tetap hidup, agar suara kelompok rentan tetap terdengar.Ketiga, upaya mengakomodasi ilmu sosial dalam TKT melalui “hilirisasi kebijakan” justru berpotensi mereduksi fungsinya. Ilmu sosial-humaniora diposisikan hanya sebagai alat teknokratis untuk menopang industrialisasi. Padahal, perannya jauh lebih luas: sebagai cermin kritis, pengawal demokrasi, dan perawat budaya. Fungsi kritik semacam ini akan memungkinkan pendekatan alternatif dan kebijakan yang lebih adil.Jika ketiga masalah di atas dibiarkan, maka peradaban riset kita akan timpang. Ilmu pengetahuan hanya dipandang dari logika pasar, sementara dimensi kritis pengetahuan menjadi terpinggirkan.Padahal, sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa kritik adalah bahan bakar utama kemajuan. Demokrasi Athena lahir dari perdebatan filsafat yang panjang. Renaisans Eropa muncul karena keberanian melawan dogma gereja yang mengekang. Revolusi sains dan seni humanistik yang lahir kala itu kemudian menjadi fondasi peradaban modern. Begitu pula Era Pencerahan (Age of Reason), yang justru penuh dengan perdebatan filsafat politik dan sosial. Dari sanalah muncul gagasan hak asasi manusia, rasionalitas hukum, hingga prinsip-prinsip demokrasi modern. Baca juga: Apa benar riset ilmu sosial tidak penting dibanding ilmu alam? Apa alternatifnya?Kita memerlukan indikator riset yang lebih beragam dan sesuai dengan keragaman disiplin ilmu. Selain TKT, ada beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan.Pertama, Social Readiness Level (SRL), yang menilai kesiapan sosial, budaya, dan institusional dalam menerima sebuah inovasi. Riset energi terbarukan, misalnya, tidak cukup diukur dari performa panel surya. Yang terpenting adalah kesiapan komunitas mengadopsinya, dari aspek budaya hingga kapasitas institusi lokal. Baca juga: Mengapa statistik dianggap lebih unggul dalam perumusan kebijakan? Ilmu sosial-humaniora juga punya peran penting dalam menjembati gap kebijakan publik Kedua, Critical Inquiry Index (CII), yang menilai kualitas refleksi kritis sebuah riset. Indeks ini mengukur sejauh mana riset mampu membuka alternatif baru, memperluas kesadaran publik, dan mendorong pergeseran budaya. Dengan indikator seperti ini, riset sosial-humaniora tidak lagi dianggap “rendah” hanya karena tidak menghasilkan barang dagangan.Australia, contohnya, memiliki mekanisme evaluasi riset yang beragam. Impact Pathway digunakan untuk menilai dampak jangka pendek, menengah, dan panjang dari riset terhadap masyarakat dan kebijakan. Ada pula Engagement and Impact Assessment (EIA), yang menekankan sejauh mana riset melibatkan pemangku kepentingan dan berdampak nyata.Selain itu, Excellence in Research for Australia (ERA) tidak hanya menilai publikasi dan sitasi, tetapi juga memberi bobot bagi dampak riset terhadap komunitas. Dengan cara ini, riset tidak semata menjadi ajang perlombaan angka sitasi atau jumlah paten, tetapi benar-benar berkontribusi pada masyarakat luas.Pluralisme indikator riset juga memungkinkan akademisi bergerak dan mewarnai peradaban baik dari sisi pembuatan produk, inovasi teknologi, komersialisasi, kritik pada ketidakadilan dan ketimpangan, serta menyuarakan aspirasi. Tingkat Kesiapan Teknologi memang penting, tetapi seharusnya tidak menjadi satu-satunya—terlebih bila dipaksakan ke ilmu sosial. Harus ada ruang bagi indikator lain yang menilai keberanian berpikir kritis, kemampuan mendorong keadilan sosial, dan kontribusi pada transformasi budaya.Desideria Cempaka Wijaya Murti adalah Penerima Beasiswa Australian Award Short Course Program in Strengthening Higher Education di Australian National University, Canberra.Alfian Helmi adalah Penerima Beasiswa Australian Award Short Course Program in Strengthening Higher Education di Australian National University, Canberra.