Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/ShutterstockSiapa yang merasa jenuh kuliah? Kita sama. Bukan soal mata kuliahnya yang tak nikmat. Tapi lebih ke cara belajar di kelas membosankan. Di kelas saya, tak jarang Dosen hanya menyuapkan pengetahuan ke akal Mahasiswanya. Sedangkan Mahasiswa, hanya sebagai patung yang harus siap dilukis akalnya dengan pengetahuan Dosen. Pasca Dosen menjelaskan pun suara Mahasiswa bertanya atau menanggapi tak kunjung terdengar. Antara sudah paham, takut, malu, atau sudah penuh muatan dalam otaknya sehingga tak lagi kuasa bicara.Harus Segera Diperbaiki Kalau Tidak, Bisa KronisFenomena ini bahaya. Kelas, sejatinya sebagai ruang untuk berdialektika (diskusi atau pertentangan gagasan). Adanya dialektika berfungsi sebagai pendorong kreativitas dan penajam pikiran kritis Mahasiswa.Jika kelas hanya dijadikan sebagai transfer ilmu antar Dosen dan Mahasiswa, maka kelas lebih baik ditiadakan. Mending Mahasiswa di rumah mengerjakan tugas dari Dosen dan mengerjakan hal-hal yang disukai lainnya. Lebih bermakna. Merasakan problem ini, akhirnya saya menemukan solusi yang manjur untuk diterapkan kampus seluruh Indonesia.Socratic MethodMetode Socrates atau Socratic Method adalah pemikiran ikonik dari Socrates, seorang Filsuf yang dikerap dijuluki “Bapak Filsafat Barat”. Pada masa hidupnya, ia senang sekali membuat kesal rakyat Athena. Ilustrasi murid Socrates merenung setelah Bapak Filsafat Barat itu menguji pemahaman muridnya dengan gaya Socratic Method. Foto: ChatGPTMisalnya Socrates bertemu dengan si Fulan di pasar, ia akan menanyakan pertanyaan awam kepada si Fulan. Pasca Fulan menjawab Socrates terus mengkorek atau menanyakan kembali kebenaran atas jawaban si Fulan.Begitu seterusnya. Sampai si Fulan sadar bahwa apa yang ia yakini selama ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Namun, kerap juga orang kesal karena tiba-tiba ada orang random seperti Socrates yang mengajaknya berpikir padahal sedang beraktivitas. Adapula yang tak terima karena keyakinannya selama ini digoyahkan oleh Socrates dan ia menganggap dirinya direndahkan oleh Bapak Filsafat Barat itu.Tujuan dari Socrates ini mulia. Ia meyakini tiap orang punya kecerdasan masing-masing dalam dirinya. Maka, ia mau membantu mengeluarkan kecerdasan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat lawan bicara berpikir “100 kali”. Sampai orang itu menemukan pemahaman yang sejati. Ya, Socrates ingin orang-orang berpikir tajam. Kritis dalam memahami suatu hal. Dan, mendorong manusia berimajinasi untuk menumbuhkan kreativitasnya dalam mencari kebijaksanaan.Biar Problem Tak Kronis, Socratic Method SolusinyaBisa dibilang saya Mahasiswa tua Fakultas Filsafat UGM. Di semester 5 ini, saya ambil mata kuliah Kapita Selekta Sosial-Politik II (semacam fokus peminatan). Kami diampu oleh Dr. Supartiningsih, dosen kami. Gedung Fakultas Filsafat UGM. Foto: Filsafat UGMSeminggu sebelum masuk kelas Bu Supar (sapaan akrab kami) mesti memberikan tugas. Yaitu membaca referensi sebanyak 3 sampai 5 tentang topik yang bakal dibahas di kelas dan menuliskannya dengan format selalu sama, yakni 3 halaman.Selama kurang lebih sebulan saya mengikuti kelas ini saya kira efektif dalam menumbuhkan ruang dialektika di kelas. Metodenya, Bu Supar membagi kami per kelompok (kelompoknya setiap pertemuan berbeda alias dibuat dadakan) untuk mendiskusikan apa yang telah kami tulis. Tak jarang kami menuliskan tentang topik yang diminta berbeda secara konsep ataupun pemikiran.Di situlah serunya. Ketika kami berbeda bacaan dan pemahaman, kami mencoba mendiskusikannya. Acap kali terjadi perdebatan. Kadang menemukan sintesis (kesimpulan objektif), tak jarang juga tetap kokoh pada pemahaman sendiri. Apa-Apa yang kami diskusikan bakal ditanya oleh Bu Supar. Kami pun bersemangat untuk memberikan pandangan soal tulisan dan diskusi kami.Tugas Bu Supar di sini hanya sebagai pengkorek pemahaman masing-masing dari Mahasiswa. Semisal memang ada yang perlu diluruskan, Bu Supar turun tangan. Sehingga, kelas tidak hanya menjadi pentas bagi Dosen berbicara, namun juga buat Mahasiswa mendorong pemikiran kritis dan kreatifnya. Hiduplah kelas itu. Akhirnya esensi dari ruang kelas ditemukan.Saya kira metode ini sudah sepantasnya diejawantahkan di tiap-tiap kampus, bahkan sekolah dasar-menengah. Supaya, generasi emas Indonesia tak lagi hanya manut pada yang sudah jelas ada, namun juga berani untuk berpikir secara imajinatif, berbicara, kritis, dan solutif. Tak lupa, saya haturkan terima kasih banyak Bu Supar. Karena telah memberi saya teladan tentang bagaimana mengajar yang baik.