Dua warga beraktivitas di rel kereta api di kawasan Pejompongan, Jakarta, Kamis (16/7/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparanKesejahteraan sosial pada dasarnya didefinisikan sebagai kondisi di mana kebutuhan dasar warga negara terpenuhi secara memadai oleh negara (Midgley et al., 2017; Sherraden, 1991). Kebutuhan dasar ini mencakup akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, perumahan, dan sistem jaminan sosial yang menjamin standar hidup layak. Dalam konsepsi idealnya, kesejahteraan sosial bukan sekadar penyaluran bantuan, melainkan perwujudan keadilan sosial dan pembangunan manusia (Gilbert & Gilbert, 1989; Morel et al., 2012). Namun, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pelaksanaan program kesejahteraan sering kali bersifat karikatif alih-alih transformatif. Alih-alih mengatasi ketimpangan struktural, program-program tersebut sering kali berfungsi sebagai mekanisme bantuan sementara, yang mempertahankan ketergantungan dan menutupi permasalahan kemiskinan serta eksklusi sosial yang lebih mendalam. Suatu situasi yang lazim disebut sebagai “ilusi kesejahteraan”.Ilusi kesejahteraan dapat dipahami lebih baik melalui beberapa kerangka teori yang mengkritik bagaimana sistem kesejahteraan beroperasi dalam struktur negara. Teori negara kesejahteraan klasik—sebagaimana dikembangkan oleh Esping-Andersen (1990) dan Richard Titmuss (1974)—membayangkan sebuah negara yang secara aktif menjamin kesejahteraan warganya melalui sistem sosial yang komprehensif dan mekanisme redistributif.Sebaliknya, banyak negara berkembang telah mengadopsi apa yang disebut populisme kesejahteraan—sebuah model kesejahteraan minimalis yang berpusat pada subsidi dan bantuan sosial. Program-program ini sangat populer dan menarik secara politis, tetapi kurang dapat mendorong transformasi struktural. Program-program ini menciptakan kesan negara yang peduli, sementara pada realitanya akar ketimpangan dan eksklusi dibiarkan begitu saja.Dari perspektif teori ketergantungan yang dikembangkan oleh André Gunder Frank (1967), ilusi ini semakin diperkuat oleh kebijakan yang memupuk ketergantungan alih-alih otonomi. Program-program kesejahteraan—yang terus-menerus mendistribusikan bantuan tanpa memberdayakan warga negara untuk menciptakan penghidupan yang berkelanjutan—hanya mereproduksi hubungan hierarkis antara negara dan masyarakat.Warga negara, alih-alih menjadi agen perubahan, diposisikan sebagai penerima pasif dari kebaikan. Ketergantungan ini tidak hanya membatasi kemampuan individu, tetapi juga melanggengkan bentuk kontrol sosial yang menstabilkan hubungan kekuasaan yang ada. Dengan demikian, ilusi kesejahteraan terletak pada fungsinya sebagai mekanisme ketergantungan, bukan pembebasan.Lebih lanjut, jika dilihat melalui lensa populisme dan klientelisme, kebijakan kesejahteraan sering kali berfungsi sebagai instrumen legitimasi politik. Pemerintah menggunakan retorika kesejahteraan dan distribusi bantuan yang selektif untuk mendapatkan dukungan massa atau memastikan loyalitas dari konstituen tertentu (Acemoglu dan Robinson, 2012). Fenomena ini—yang terkadang disebut sebagai "pameran kesejahteraan"—membangun citra pemerintahan yang pro-rakyat sekaligus mengalihkan perhatian dari kegagalan sistemik dalam menciptakan kesejahteraan yang nyata dan berkesinambungan. Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: PixabayDalam konteks ini, Pendekatan Kapabilitas Amartya Sen (1999) menawarkan sudut pandang yang kritis. Sen berpendapat bahwa kesejahteraan seharusnya diukur tidak hanya berdasarkan keluaran ekonomi seperti pendapatan atau pertumbuhan PDB, tetapi juga berdasarkan kebebasan dan kapabilitas riil warga negara—pendidikan, kesehatan, dan otonomi. Ketika indikator ekonomi membaik tetapi kapabilitas rakyat stagnan, kesejahteraan menjadi ilusi: kemakmuran tanpa pemberdayaan.Lalu, bagaimana dengan situasi di Indonesia? Pertama-tama, kita perlu menganalisis terlebih dahulu struktur ekonomi dan struktur demografi di Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia dicirikan oleh dominasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sangat besar, yang mencakup sekitar 99% dari seluruh unit usaha (Portal Informasi Indonesia, 2023). Karakteristik berikutnya adalah dominannya sektor informal dalam ketenagakerjaan yaitu sekitar 60% dari total angkatan kerja (BPS, 2024a). Angka-angka ini mencerminkan inklusivitas sekaligus rapuhnya basis ekonomi Indonesia.Meskipun UMKM memainkan peran penting dalam penciptaan lapangan kerja dan aktivitas ekonomi lokal, skala usahanya yang kecil, modal yang terbatas, dan ketergantungan pada teknologi sederhana membatasi pertumbuhan produktivitas dan inovasi (Fuadi et al., 2021; Purnomo et al., 2024; Subagyo et al., 2020; Wijaya et al., 2025). Selain itu, akses UMKM terhadap pembiayaan formal masih terbatas karena persyaratan perbankan yang ketat dan kurangnya agunan, sehingga membatasi kapasitas mereka untuk berekspansi atau bertransisi ke industri bernilai tinggi (Wardhono et al., 2019).UMKM di Indonesia sangat terkonsentrasi di sektor-sektor tradisional seperti perdagangan, makanan dan minuman, serta jasa perorangan—area dengan adopsi teknologi rendah dan potensi nilai tambah yang minimal. Konsentrasi ini melanggengkan siklus produktivitas rendah dan daya saing yang terbatas di pasar global.Sektor informal, yang menjadi tulang punggung lapangan kerja, sebagian muncul dari ketidakmampuan ekonomi formal untuk menyerap angkatan kerja yang terus bertambah. Pekerja di sektor ini umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, keterampilan yang terbatas, dan akses yang minim terhadap perlindungan sosial. Ketiadaan kontrak formal, jaminan sosial (seperti BPJS), dan pengakuan hukum membuat mereka terpapar pada kondisi kerja yang tidak menentu dan volatilitas ekonomi.Transformasi menuju ekonomi yang produktif, inklusif, dan kompetitif membutuhkan kebijakan yang menyeimbangkan perlindungan sosial dengan transformasi struktural. Sekadar memperluas cakupan kesejahteraan tanpa pembangunan dan pengembangan industri tidak akan mengubah struktur ekonomi yang mendasarinya.Pembangunan jangka panjang Indonesia bergantung pada pembangunan ekonomi yang tidak hanya melindungi pekerja rentannya, tetapi juga memberdayakan mereka untuk naik ke rantai nilai melalui industrialisasi, digitalisasi, dan reformasi pendidikan. Pendekatan ganda ini—yang menggabungkan kesejahteraan dengan produktivitas—merupakan jalan yang diperlukan untuk keluar dari ilusi kesejahteraan dan mencapai keadilan sosial yang berkelanjutan.Ilustrasi ekonomi digital. Foto: Getty ImagesLebih lanjut, lanskap sosial ekonomi Indonesia semakin dipengaruhi oleh rendahnya capaian pendidikan dan kemiskinan yang berkepanjangan. Sekitar 52% penduduk hanya menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama atau lebih rendah, sehingga membatasi akses mereka terhadap kesempatan kerja produktif (BPS, 2024c).Pasar tenaga kerja didominasi oleh pekerja dengan kualifikasi pendidikan rendah hingga menengah, dengan sekitar 70% angkatan kerja terdiri dari individu dengan pendidikan sekolah menengah atas atau lebih rendah (BPS, 2024a). Profil pendidikan ini berkorelasi kuat dengan pekerjaan di sektor informal di mana produktivitas dan pendapatan tetap rendah. Akibatnya, mayoritas pekerja Indonesia masih terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah dan berketerampilan rendah yang menawarkan sedikit prospek untuk mobilitas ke atas.Statistik kemiskinan mengungkapkan masalah struktural yang bahkan lebih mendalam. Sementara data resmi dari BPS (2024b) Indonesia memperkirakan bahwa 8,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional, garis kemiskinan bagi negara berpenghasilan menengah ke atas World Bank (2025) menunjukkan bahwa hampir 68% penduduk Indonesia miskin atau rentan secara ekonomi. Kesenjangan ini menyoroti ketidakcukupan ambang batas kemiskinan nasional dalam menangkap deprivasi sosial yang nyata. Berdasarkan definisi yang lebih luas, jutaan orang Indonesia sangat rentan terhadap guncangan ekonomi seperti krisis, pandemi, atau inflasi, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia tidak hanya tersebar luas, tetapi juga tertanam secara struktural dalam sistem ketenagakerjaan dan pendidikan.Di satu sisi, kondisi-kondisi ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena struktural—berakar pada rendahnya tingkat pendidikan, lapangan kerja informal, dan terbatasnya akses terhadap aset produktif—sehingga membutuhkan intervensi kebijakan yang transformatif. Di sisi lain, respons pemerintah sebagian besar masih bersifat karikatif, temporer dan parsial, alih-alih struktural. Ketergantungan yang tinggi pada program bantuan sosial—seperti bantuan tunai dan subsidi energi serta pangan—memperkuat ketergantungan antara warga negara dan elite politik. Alih-alih memberdayakan masyarakat miskin untuk mencapai kemandirian, kebijakan semacam itu justru melanggengkan hubungan paternalistik di mana legitimasi negara dibangun berdasarkan pemberian bantuan sementara, sehingga mempertahankan ilusi kesejahteraan, alih-alih mencapai kemandirian sosial yang sejati.Lalu, apa akar masalah yang mendasari ilusi kesejahteraan di Indonesia ini? Salah satu jawaban yang mungkin adalah adanya dilema konsistensi waktu (time consistency dilemma). Secara lebih spesifik, dilema konsistensi waktu mengacu pada situasi di mana kebijakan yang optimal dalam jangka panjang menjadi tidak konsisten dengan insentif jangka pendek para pembuat kebijakan (Kydland dan Prescott, 1977).Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: PixabayDilema ini menentukan dinamika ekonomi politik pembangunan di mana kebutuhan akan kebijakan yang stabil dan berbasis bukti sering kali berbenturan dengan kepentingan politik dan elektoral jangka pendek para penguasa. Para pembuat kebijakan mungkin menyadari bahwa reformasi struktural—seperti diversifikasi industri atau peningkatan pendidikan—sangat penting bagi pertumbuhan jangka panjang, tetapi kebijakan-kebijakan ini sering kali ditinggalkan atau ditunda ketika tekanan politik jangka pendek meningkat. Akibatnya, rasionalitas kebijakan sering kali dikompromikan oleh kepentingan politik, yang menyebabkan implementasi yang tidak konsisten dan progres transformasi struktural yang menjadi terfragmentasi.Ketidakkonsistenan ini berkaitan erat dengan ketegangan antara siklus kebijakan dan siklus politik. Secara lebih detail, siklus politik biasanya dibentuk oleh masa jabatan elektoral, agenda politik, dan cakrawala lima tahun yang memprioritaskan pencapaian jangka pendek yang terlihat.Dari kacamata teori Siklus Bisnis Politik, politisi cenderung mengadopsi kebijakan populis atau ekspansif sebelum pemilu untuk mendapatkan dukungan pemilih, bahkan jika kebijakan tersebut merusak stabilitas fiskal atau tujuan pembangunan jangka panjang. Sebaliknya, siklus kebijakan idealnya mengikuti serangkaian formulasi, implementasi, evaluasi, dan reformulasi yang didasarkan pada bukti dan visi jangka panjang.Namun, ketika insentif politik mengesampingkan logika kebijakan, kebijakan rasional—seperti transformasi struktural atau reformasi kelembagaan—sering kali digantikan oleh program-program populis yang memberikan hasil langsung, tetapi tidak berkelanjutan. Ketegangan ini menggambarkan dilema pelik di Indonesia antara reformasi struktural dan populisme elektoral.Di banyak negara demokrasi yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, dinamika elektoral memberikan pengaruh yang kuat terhadap pola belanja publik. Menjelang pemilu, pemerintah sering kali meningkatkan belanja sosial—melalui transfer tunai, subsidi, atau program kesejahteraan lainnya—untuk menampilkan citra pemerintahan yang pro-rakyat.Meskipun program-program tersebut dapat meringankan kesulitan untuk sementara, program-program tersebut sering kali bertentangan dengan tujuan konsolidasi fiskal yang lebih luas dan menghambat investasi dalam pembangunan jangka panjang. Misalnya, lonjakan subsidi energi atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) selama tahun-tahun pemilu menggambarkan bagaimana sumber daya fiskal dimobilisasi secara strategis untuk legitimasi politik, alih-alih peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan.Kontras antara pembuatan kebijakan struktural dan populis menjadi sangat jelas dalam konteks ini. Transformasi struktural—yang mencakup industrialisasi, reformasi pendidikan, dan pemberdayaan kelas menengah—membutuhkan konsistensi kebijakan yang berkelanjutan dan ketahanan kelembagaan. Namun, reformasi ini cenderung tidak menarik secara politis karena menuntut komitmen jangka panjang dan menghasilkan hasil yang melampaui satu siklus pemilu.Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTOSebaliknya, langkah-langkah populis menghasilkan quick wins yang diterima pemilih, tetapi gagal mengubah struktur ekonomi yang mendasarinya. Akibatnya, preferensi politik untuk visibilitas langsung jangka pendek daripada transformasi yang berkelanjutan melanggengkan stagnasi pembangunan yang disamarkan sebagai kemajuan kesejahteraan.Dinamika pembangunan Indonesia memberikan contoh nyata dari dilema ini. Alih-alih memprioritaskan peningkatan industri atau inovasi berbasis riset, negara ini terus bergantung pada ekspor sumber daya alam dan program seperti subsidi dan bantuan sosial. Meskipun instrumen-instrumen ini menopang stabilitas politik jangka pendek, instrumen-instrumen ini justru melemahkan pembentukan ekonomi yang produktif dan tangguh.Penekanan berlebihan pada kesejahteraan yang berorientasi pada konsumsi, alih-alih investasi yang berorientasi pada produktivitas, mencerminkan pola struktural yang lebih mendalam: pelembagaan kesejahteraan yang semu—kondisi di mana belanja sosial mengamankan loyalitas politik, tetapi gagal membangun fondasi pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.Kesimpulannya, negara sering kali membangun citra masyarakat sejahtera melalui pertunjukan kesejahteraan simbolis yang alih-alih dorongan untuk melakukan transformasi struktural. Bantuan tunai langsung, subsidi, dan program bantuan sosial lainnya ditampilkan sebagai bukti kepedulian dan responsivitas negara terhadap kebutuhan warga negara.Namun, di balik pameran kesejahteraan ini, terdapat ketimpangan struktural yang mengakar dan sebagian besar belum tersentuh. Apa yang tampak sebagai perlindungan sosial, pada kenyataannya, merupakan mekanisme untuk menjaga stabilitas politik sambil membiarkan akar penyebab kemiskinan—seperti akses yang tidak merata terhadap pendidikan, lapangan kerja, dan aset produktif—tetap utuh. Dengan demikian, ilusi kesejahteraan menjadi alat politik yang menutupi kelanggengan struktural ketidakadilan sosial.Dalam rangka melampaui ilusi kesejahteraan sosial, negara harus berfokus pada penanggulangan atas realitas kemiskinan struktural yang terus menghambat pembangunan inklusif dan penciptaan kesejahteraan sosial yang sejati. Sangatlah penting untuk beralih dari model kesejahteraan yang bersifat simbolis dan karikatif—yang berpusat pada bantuan jangka pendek dan kemanfaatan politik elektoral—menuju pendekatan transformatif yang membangun kapabilitas dan ketahanan kelembagaan masyarakat.Transisi ini membutuhkan keberanian politik untuk melaksanakan transformasi struktural, memperkuat sistem perlindungan sosial, dan mendorong partisipasi ekonomi yang inklusif. Hanya melalui transformasi struktural—yang berlandaskan keadilan, pemerataan, dan pemberdayaan—kesejahteraan dapat berkembang dari sekadar kinerja simbolis menjadi fondasi sejati bagi pembangunan berkelanjutan dan bermartabat.