Desain Kantor Otorita IKN Foto: Dok. IstimewaPembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur, digagas Presiden Joko Widodo menjadi proyek mercusuar sektor infrastruktur dan paling kontroversial dalam sejarah Indonesia pascareformasi. Semula disodorkan sebagai solusi geopolitik dan pembangunan teritorial dengan memindahkan sebagian fungsi pemerintahan keluar dari Jakarta secara perlahan, bertransformasi menjadi proyek politik yang diwariskan dan diperebutkan antarrezim.Kini, terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 menegaskan posisi kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam melanjutkan pembangunan dan menetapkan target IKN menjadi “ibu kota politik” pada 2028. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua: Apa makna politik dari IKN? Apakah IKN memang layak menjadi pusat kekuasaan baru? Dengan biaya dan konsekuensi yang sedemikian besar, masa depan seperti apa yang bakal menanti?IKN: Warisan Politik Jokowi dan Angka FantastisMeskipun konon kabarnya proyek mercusuar IKN dipromosikan sebagai “kota cerdas” dan “berkelanjutan” yang bakal menjadi pusat pemerintahan modern sekaligus katalis pembangunan wilayah Timur. Pemerintahan sebelumnya memahatnya sebagai proyek strategis melalui beberapa infrastruktur kunci, misalnya Istana Negara IKN dan beberapa fasilitas publik telah diresmikan menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi. Narasi yang dikonstruksi oleh pro-pemerintah, IKN merupakan bukti visi pembangunan desentralisasi yang ingin mengurangi beban Jakarta dan mendorong pemerataan ekonomi. Di sisi lain, proyek ambisius selalu berkaitan dengan perencanaan anggaran yang membutuhkan nominal besar dan masif. Pemerintah pada berbagai kesempatan menyebutkan angka kebutuhan total yang besar, tetapi beragam sumber dan asumsi. Deputi Kantor Staf Presiden (KSP) pernah menyebutkan skenario kebutuhan pembangunan berkisar Rp466 triliun dengan catatan tidak semuanya dibebankan pada APBN. Foto udara suasana dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (14/8/2025). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTORealisasi anggaran di lapangan menunjukkan aliran dana publik signifikan, catatan publik menyebut realisasi belanja IKN mencapai Rp72,3 triliun untuk periode 2022-2024, sementara alokasi APBN tahunan meningkat tajam (misalnya berkisar Rp43,3 triliun pada 2024 menurut rekap pemerintah dan laporan media). Angka ini menunjukkan bahwa IKN bukan proyek biaya kecil, melainkan proyek fiskal yang memakan sumber daya publik skala besar.Di sisi lain, pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Perpres 79/2026, menegaskan kelanjutan pembangunan hingga target transformasi IKN menjadi “ibu kota politik” pada 2028 yang merupakan sinyal politik bahwa IKN tidak akan ditinggalkan sebagai proyek administrasi semata. Keputusan ini memberi kepastian kebijakan jangka menengah, tetapi juga memindahkan perdebatan di ranah lain, seperti prioritas anggaran, legitimasi politik, dan kelayakan teknis/lingkungan.Pro dan Kontra Mega Proyek IKNSejumlah pendukung menunjukkan beberapa klaim utama pentingnya keberlanjutan pembangunan IKN. Pertama, pemindahan ibu kota dapat mengurangi beban Jakarta (seperti kepadatan, kemacetan, banjir dan polusi) sehingga kota di pulau Jawa yang padat bisa “bernapas”. Kedua, IKN menjadi alat pemerataan melalui pembangunan infrastruktur di Kalimantan yang diharapkan membuka ruang multiplier effect (lapangan kerja, peningkatan PDBR lokal dan akses layanan publik).Kemudian, IKN diposisikan sebagai kota masa depan (smart and green city) yang mengintegrasikan tata ruang berkelanjutan, teknologi digital pemerintahan, dan tata kelola baru—model yang diharapkan menjadi laboratorium kebijakan publik modern. Sejumlah politisi dan ekonom menilai bahwa jika dikelola dengan baik, IKN dapat mendorong redistribusi ekonomi dan menyokong stabilitas nasional jangka panjang.Pekerja menuju kawasan inti IKN. Foto: kumparanDi sisi lain, dalam tinjauan argumentasi geopolitik, memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah yang dekat dengan kawasan timur Indonesia akan meningkatkan pengawasan wilayah, memperkuat kedaulatan, dan mereduksi ketergantungan infrastruktur yang berpusat di Jawa. Untuk negara besar dan kepulauan seperti Indonesia, diversifikasi titik pusat pembangunan dianggap wajar oleh sebagian pakar perencanaan.Namun, kritik terhadap IKN tak kalah keras. Kritik utama yang menyangkut biaya tinggi dan ketidakpastian manfaat membawa sebuah pertanyaan: Apakah ratusan triliun rupiah yang diguyurkan akan lebih efektif digunakan untuk perbaikan layanan publik di seluruh provinsi, termasuk di Jawa yang padat?Laporan jurnalis dan lembaga riset internasional menunjukkan keterlambatan, masalah akuisisi lahan, serta kurangnya investor asing yang masuk sebagaimana diproyeksikan, menimbulkan pertanyaan apakah ekspektasi pertumbuhan ekonomi realistis. Financial Times dan Reuters mencatat bahwa masalah investasi, hambatan logistik, dan ketidaksiapan fasilitas terjadi ketika proyek dipacu menjelang transisi kekuasaan.Dari sisi lingkungan, kawasan IKN—yang berada di wilayah hutan tropis dan ekosistem karbon tinggi—menjadikan pembangunan besar yang memicu deforestasi, fragmentasi habitat, dan risiko kebakaran lahan. Kritik lingkungan menyebut janji “hijau” IKN sering kali berbenturan dengan realitas pembangunan yang memerlukan lahan, jalan, dan fasilitas. Sejumlah lembaga lingkungan dan akademisi memperingatkan kemungkinan dampak sosial-ekologis bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang kehilangan akses lahan atau sumber hidup tradisional. Studi kritis menyoroti bahwa sebagian klaim “sustainable city” belum didukung studi lingkungan yang memadai atau partisipasi publik yang transparan.Kantor Otorita IKN, Jumat (11/7/2025). Foto: kumparanAspek tata kelola dan demokrasi juga mengundang tanda tanya. Proyek IKN diluncurkan relatif cepat, dengan proses perencanaan yang menurut sebagian peneliti kurang melibatkan partisipasi publik secara luas. Ketidaktransparanan dalam beberapa keputusan lahan dan kontrak mengundang isu korporatisasi ruang publik dan potensi spekulasi lahan, sebuah fenomena yang telah dilaporkan oleh media dan organisasi masyarakat sipil. Kritik ini menggarisbawahi risiko bahwa IKN menjadi proyek top-down yang mengabaikan suara komunitas lokal.Makna IKN sebagai “Ibu Kota Politik”: Peluang dan TantanganLabel “ibu kota politik” menyiratkan bahwa IKN tidak hanya dilihat sebagai pusat administratif (kantor, kementerian, istana), tetapi pusat kekuasaan yang menentukan agenda politik nasional (pembuatan kebijakan, lobi politik, dan simbol legitimasi negara). Menjadi ibu kota politik berarti aktor-aktor politik akan menyesuaikan peta pengaruh mereka (birokrat, partai politik, korporasi, dan aktor internasional). Oleh karena itu, posisi IKN berimplikasi pada distribusi sumber daya politik. Jika IKN efektif sebagai pusat politik yang bersih dan responsif, ia dapat memperbaiki tata pemerintahan. Namun, bila IKN menjadi arena patronase baru, pemindahan hanya sebatas memindahkan, bukan menyelesaikan masalah politik lama. Perpres yang meneguhkan target 2028 sebagai transisi politik ke IKN menegaskan ambisi tersebut, tetapi menuntut pengawasan publik ketat agar peran politik baru bersifat akuntabel. Bila dikelola dengan bijak maka IKN dapat menyajikan beberapa peluang.Pertama, eksperimen kebijakan tata kelola. IKN bisa menjadi pilot project bagi kebijakan ruang hijau, transportasi publik listrik, dan tata kelola digital yang jika berhasil dapat direplikasi ke kota lain. Kedua, pembangunan inklusif. Menempatkan proses pelibatan komunitas adat dan skema kompensasi yang adil, IKN dapat menguji model pembangunan yang menghormati hak-hak lokal. Ketiga, sentra inovasi dan riset. Menempatkan lembaga riset dan think tank di IKN dapat memperkuat kapasitas pembuatan kebijakan berbasis bukti, termasuk adaptasi iklim dan keadilan sosial.Suasana pembangunan rusun ASN terlihat dari Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (13/09/2024). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTOAgar peluang tidak hanya dipandang sebatas retorika belaka, tantangan yang harus diatasi di antaranya: Pertama, keberlanjutan fiskal. Menyeimbangkan pengeluaran publik dengan hasil nyata dengan menghindari pembiayaan yang mendorong defisit atau mengorbankan program sosial dasar. Data belanja awal harus di evaluasi dengan ketat oleh audit independen. Kedua, jaminan lingkungan. Poin ini menekankan penerapan studi AMDAL komprehensif, moratorium terhadap pembukaan lahan baru tanpa persetujuan masyarakat, dan rencana restorasi ekosistem.Kemudian, partisipasi demokrasi. Memperkuat mekanisme konsultasi publik, keterbukaan kontrak, serta perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan petani lokal. Keempat, manajemen anti-spekulasi lahan. Mengadopsi regulasi yang mencegah perampasan lahan dan spekulasi nilai tanah yang memiskinkan warga setempat.Menimbang Keputusan Politik BesarIKN menjadi proyek berskala nasional, memuat janji dan risiko sekaligus. Menempatkannya sebagai “ibu kota politik” merupakan keputusan strategis yang bukan semata soal pemindahan kantor pemerintahan, melainkan soal bagaimana negara memetakan pembangunan, mendistribusikan kekuasaan, dan menegakkan akuntabilitas pada rakyat. Perpres baru menegaskan kelanjutan IKN hingga 2028 memberi kepastian atas kebijakan. Namun, kepastian harus diimbangi dengan transparansi anggaran, proteksi lingkungan, dan partisipasi publik agar IKN tidak berujung menjadi monumen mega-proyek tanpa manfaat dan solusi yang luas.Di luar pro dan kontra, muncul sebuah pertanyaan yang penting: Apakah IKN akan menjadi alat untuk memperbaiki tata pemerintahan dan kesejahteraan rakyat atau hanya perpindahan simbol politik yang memperkuat pusat kekuasaan baru? Jawaban dari pertanyaan itu akan menentukan apakah warisan IKN benar-benar menjadi kemenangan pembangunan berkeadilan atau hanya proyek yang mahal, tetapi rapuh dalam legitimasi sosialnya.