Aksi demonstrasi di Tunisia yang jadi pemantik Arab Spring. (Wikimedia Commons)JAKARTA - Kekuatan kaum muda tak dapat dianggap remeh. Mereka kerap jadi martir perjuangan. Sekalinya ketidakadilan muncul, kaum muda bergerak melawan. Ambil contoh kala gelora Arab Spring – Revolusi Timur Tengah.Gejolak anak muda Tunisia melawan pemerintah korup dan otoriter menginspirasi anak muda Timur Tengah lainnya. Ajian memanfaatkan media sosial untuk memobilisasi bantuan dan dukungan jadi muaranya. Suatu solidaritas yang mampu menumbangkan banyak diktator di Timur Tengah.Kaum muda yang akrab dengan media sosial kerap dianggap remeh. Mereka sering kali diberikan label pemalas oleh generasi tua. Kadang juga dianggap contoh gagal negara membangun generasi penerus bangsa. Namun, semuanya berubah kala ketidakadilan muncul.Ambil contoh pemuda Tunisia. Kaum muda Tunisia tak kuasa lagi berada di bawah pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali. Kekuasaan Ben Ali sudah berlangsung dari 1987. Ia bak mengubah negaranya jadi otoriter, korup pula. Hajat hidup rakyat Tunisia jatuh pada level terendah.Kaum mudanya sulit cari kerja. Generasi tuanya jauh dari kesejahteraan. Alih-alih Ben Ali peduli, empunya kuasa justru berpikir bagaimana terus berkuasa. Bahkan, dengan pongahnya Ben Ali dijuluki sebagai Ben a Vie yang berarti presiden seumur hidup.Aksi demonstrasi di Tahrir Square, Mesir yang melengserkan rezim Hosni Mubarak. (Wikimedia Commons)Kaum muda yang menolak kuasanya disikat. Namun, tindakan gegabah pemerintah yang merazia gerobak buah milik Mohamed Bouazizi di Kota Sidi Bouzid mengubah segalanya. Boauzizi sempat mendatangi balai kota minta gerobaknya kembali. Namun, tak diindahkan.Akibatnya pedagang buah itu melakukan aksi bakar diri di depan Kantor Gubernur setempat pada 17 Desember 2010. Aksi bakar diri itu menghebohkan seisi Tunisia. Alhasil, anak muda Tunisia mulai memanfaatkan media sosialnya dari facebook, Twitter, hingga Youtube untuk mencari dukungan.Mereka ingin menumbangkan kuasa Ben Ali. Masing-masing platform coba dimanfaatkan maksimal. Bahkan, ada fungsinya masing-masing. Facebook untuk menyebarkan berita aksi turun ke jalan. Twitter untuk koordinasi. Sisanya YouTube untuk memberi tahu dunia. Hasilnya menggelagar dan Ben Ali lengser pada 14 Januari 2011.“Media sosial memiliki dampak besar dalam menyampaikan berita ke dunia luar, sementara para blogger (penulis blog) dan pengguna Twitter dapat menyebarkan berita singkat yang sebelumnya tidak akan pernah sampai ke media arus utama. Informasi ini telah berperan penting dalam menarik perhatian warga dunia yang menyatakan solidaritas dengan individu-individu yang tertindas tersebut.”“Mereka bahkan mungkin menekan pemerintah mereka sendiri untuk bereaksi. Penggunaan media sosial lainnya adalah untuk mengirimkan informasi tentang kebutuhan medis, nomor telepon penting, dan frekuensi satelit Al Jazeera – yang terus-menerus terganggu,” ungkap Peter Beaumont dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul The Truth about Twitter, Facebook and the Uprisings in the Arab world (2011).Anak Muda Unjuk GigiPerjuangan kaum muda Tunisia menumbangkan rezim diktator bawa kehebohan di mana-mana. Nyatanya perjuangan itu menjalar ke negara timur tengah lainnya. Kondisi itu karena pemerintahan yang dijalankan tak jauh beda: berbau otoriter dan korup.Negara yang kemudian mencoba mengikuti kesuksesan Tunisia adalah Mesir. Kepemimpinan Hosni Mubarak sudah dianggap gagal. Banyak lulusan sarjana di Mesir yang menganggur. Belum lagi rezim penguasa itu anti kritik.Gelora protes anak muda Mesir mulai ramai di berbagai media sosial. Langkah itu mengikuti gerakan anak muda di Tunisia. Solidaritas itu membuat kaum muda mencari dukungan dan logistik. Masyarakat dunia pun mendukung perjuangan rakyat Mesir.Aksi turun ke jalan berlangsung di mana-mana selama 18 hari. Pemerintah sempat mematikan internet. Rezim Hosni menganggap langkah itu sebagai bagian memutus mata rantai perlawanan. Namun, tebakan itu salah. Protes terus membesar.Mau tak mau Hosni lengser dari singgasananya yang ia duduki selama tiga dekade pada 11 Februari 2011. Bak efek domino aksi kaum muda dengan gerakan media sosialnya menggelorakan aksi massa lain di Libya, Bahrain, hingga Suriah.Sederet aksi itu membuktikan bahwa kekuatan anak muda tak dapat dianggap remeh. Kaum muda timur tengah memang tak percaya televisi karena menganggap televisi adalah antek penguasa. Suatu hal yang membuat mereka lebih percaya dengan gelombang informasi via media sosial.Alhasil, banyak orang menyebut Arab Spring sebagai Revolusi Facebook. Ada juga yang menyebutnya sebagai Pemberontakan Twitter.“Sedangkan revolusi di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman adalah bentuk kekecewaan terhadap kekuasaan represif dan kefrustrasian terhadap hegemoni ekonomi. Ironisnya, rezim-rezim otoriter tersebut justru akrab dengan negara-negara pendorong prinsip demokrasi.”“Zein al-Abidin bin Ali, Hosni Mubarak, Ali Abdullah Saleh, dan bahkan Muammar Gaddafi di periode akhir pemerintahannya memiliki hubungan mesra dengan pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Nalar publik tak bisa mencerna alur logika tersebut. Solusinya: kekuasaan harus ditumbangkan. Sebab, mekanisme demokrasi, seperti pemilihan umum, tak mumpuni dijadikan alat perlawanan,” ujar Muhammad Ja’far dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Revolusi Arab: Awal Sebuah Cerita (2011).