Kenapa Anak Zaman Sekarang Takut untuk Berkomitmen?

Wait 5 sec.

Ilustrasi anak SMA boncengan. Gaya pacaran remaja masa kini jadi kian berani. Foto: Aditia Noviansyah/kumparanPacaran zaman modern memang menarik untuk diperbincangkan. Jika dibandingkan dengan masa lalu, cara berhubungan kini berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit. Dulu, hubungan lebih sederhana: bertemu, berkenalan, lalu perlahan masuk ke tahap pacaran.Kini, muncul berbagai istilah baru seperti PDKT singkatan dari Pendekatan atau HTS, akronim dari Hubungan Tanpa Status. Menariknya, di Indonesia banyak orang lebih memilih menggunakan label-label ini dibanding menyebut hubungan mereka secara jelas dengan istilah ‘pacaran’.Di era sekarang, cara orang menemukan pasangan pun jauh lebih beragam daripada dulu. Ada aplikasi kencan yang semakin populer, percakapan lewat chat yang bisa berlangsung berjam-jam, panggilan video untuk mengisi jarak, hingga cara klasik bertemu langsung. Setiap orang memilih cara yang paling membuat mereka nyaman. Akan tetapi, hubungan yang lahir dari berbagai metode ini akhirnya diberi label berbeda-beda, tergantung siapa yang menjalaninya. Pertanyaan penting pun muncul: mengapa semakin banyak orang berhenti di tahap PDKT atau HTS dibanding masuk ke hubungan pacaran yang lebih jelas?SMA sering kali menjadi masa awal seseorang mengenal dunia pacaran. Penulis yang saat ini masih duduk di bangku SMA, sering menyaksikan banyak teman yang terlihat dekat dengan seseorang, bahkan berperilaku layaknya pasangan, tetapi sebenarnya tidak pernah benar-benar memastikan apakah mereka pacaran atau tidak. Menurut penulis, hal ini terjadi karena mereka memang belum berada di tahap siap untuk diberi label sebagai ‘pasangan’. Label itu membawa konsekuensi berupa ekspektasi bukan hanya dari pasangan, melainkan juga dari orang-orang sekitar. Di lingkungan sekolah, label pacaran bahkan sering memancing godaan, ejekan, atau pertanyaan yang bisa terasa menekan. Namun setelah masa sekolah berakhir, apakah orang masih tetap takut berkomitmen? Apa yang sebenarnya menghalangi mereka?Seorang teman penulis pernah berpendapat, barangkali banyak orang yang memang belum siap untuk berkomitmen besar yang membutuhkan waktu dan energi. Pacaran bukan hanya soal perasaan, tetapi juga soal kesiapan untuk meluangkan perhatian, mendengarkan pasangan, dan menyediakan ruang bersama. Penulis pribadi meyakini bahwa sebuah hubungan seharusnya mampu mengubah pola pikir dari ‘aku’ menjadi ‘kita’. Sebab, saat dua orang sepakat menjalin hubungan, tujuan dan jadwal mereka sedikit banyak harus bisa selaras. Jika tidak, pasti ada pengorbanan yang diperlukan. Masalahnya, tidak semua orang siap menghadapi tahap ini. Akibatnya, mereka memilih untuk tetap berada di zona abu-abu seperti PDKT atau HTS. Jumlah orang yang betah dalam HTS pun cukup banyak, dan bagi penulis, hal itu cukup mengejutkan. Bukankah pada titik tertentu HTS sudah sangat mirip dengan pacaran?Menurut penulis, label seharusnya tidak terlalu menentukan. Apa pun istilah yang digunakan, hubungan tetap menuntut tanggung jawab besar. Komitmen dan kesetiaan adalah fondasi penting. Namun, dalam kenyataannya, penulis melihat banyak orang yang bertahan dalam PDKT atau HTS justru tidak sepenuhnya setia. Beberapa masih ingin mencoba hubungan terbuka, berpindah dari satu orang ke orang lain, seakan hubungan hanyalah permainan. Hal ini membuat penulis bertanya-tanya: mengapa kesetiaan, yang seharusnya otomatis ada dalam hubungan, kini justru dianggap sesuatu yang ‘ekstra’?Walau demikian, penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa label seperti PDKT atau HTS sama sekali tidak bermanfaat. Dalam batas tertentu, label tersebut bisa membantu, terutama bagi mereka yang baru mulai mengenal dunia pacaran. Label bisa berfungsi sebagai jembatan awal, tempat seseorang belajar memahami apa itu hubungan dan bagaimana cara berkomitmen. Label juga dapat memberi rasa aman bagi mereka yang belum sepenuhnya nyaman dengan orang yang mereka temui. Hubungan memang butuh waktu untuk dipahami, untuk terbiasa dengan ritme bersama orang lain, dan untuk belajar mengenai ekspektasi yang ada. Dalam konteks ini, label bisa membantu menjelaskan sejauh mana tingkat kenyamanan dan komitmen masing-masing. Namun, tanpa komunikasi yang baik, label hanya akan menjadi alasan untuk menghindari tanggung jawab.Lantas bagaimana cara membangun hubungan yang baik dan berkomitmen tanpa terlalu bergantung pada label? Pertama, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, komunikasi adalah kunci. Dengan komunikasi, hubungan bisa berkembang dan ada saling pengertian antara kedua pihak. Kedua, kesetiaan. Sebelum memutuskan berpacaran, setiap orang seharusnya bertanya pada diri sendiri: apakah benar-benar siap untuk setia pada pasangan? Sebab dalam hubungan, kebutuhan pribadi tidak bisa selalu diutamakan; yang penting adalah apa yang diinginkan bersama. Jika tidak ada kesepahaman, kompromi perlu dilakukan. Bentuk komunikasi pun tidak harus tatap muka; bisa lewat chat atau video call, yang penting masalah dibicarakan dan tidak diabaikan.Selain itu, penting juga untuk menanyakan kepada diri sendiri: apa sebenarnya yang diinginkan dari sebuah hubungan? Apakah harapan itu sejalan dengan pasangan? Jika tidak, apakah masih bisa disesuaikan? Jika memang tidak bisa, mungkin lebih baik mengakhiri hubungan dan mencoba kembali di kesempatan berikutnya.Bagi penulis, ada tiga hal utama yang harus dijaga dalam hubungan: komunikasi, kesetiaan, dan kesediaan untuk berkompromi demi kebaikan bersama. Label memang bisa dipakai secara moderat untuk membantu memperjelas hubungan, namun jangan sampai menjadi alasan untuk selamanya menunda komitmen. Hubungan yang sehat butuh fondasi kuat, bukan sekadar permainan kata. Pada akhirnya, yang menentukan berhasil tidaknya hubungan bukanlah label yang digunakan, melainkan kesiapan kedua pihak untuk benar-benar terikat satu sama lain.