Terdakwa kasus suap vonis lepas Djuyamto (tengah) meninggalkan ruangan seusai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (21/8/2025). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTOSalah satu hakim yang jadi terdakwa kasus dugaan suap vonis lepas perkara CPO, Djuyamto, mengaku ingin mengembalikan uang Rp 5,5 miliar kepada jaksa. Djuyamto melalui penasihat hukumnya menyebut uang itu dikembalikan karena lahan kantor terpadu MWC Nahdlatul Ulama (NU) wilayah Kartasura sudah dijual.Hal itu disampaikan oleh penasihat hukum Djuyamto dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap vonis lepas CPO, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/10).Adapun Djuyamto merupakan ketua pelaksana pengadaan dan pembangunan kantor terpadu NU Kartasura. Dalam persidangan beberapa waktu lalu, terungkap bahwa Djuyamto disebut memberikan uang sekitar Rp 5,7 miliar untuk pembangunan kantor terpadu MWC NU Kartasura tersebut."Kami baru hari ini mendapatkan informasi dari MWC NU dari Kartasura bahwa berdasarkan fakta persidangan yang disampaikan oleh saksi Suratno pada saat itu, bahwa yang bersangkutan dan panitia tersebut ingin menjual tanah tersebut," kata penasihat hukum Djuyamto dalam persidangan."Bahwa pada hari ini kami mendapatkan informasi tanah tersebut sudah proses penjualan majelis. Dalam hal ini disampaikan bahwa total nilai tersebut itu sebesar Rp 5,5 miliar," ungkapnya.Terdakwa kasus suap vonis lepas Djuyamto (kanan) menuju sidang suap majelis hakim atas vonis lepas (ontslag) dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO di Pengadilan Tipikor, Jakarta Rabu (10/9/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTOTim penasihat hukum Djuyamto menyebut, uang hasil penjualan tanah untuk pembangunan kantor itu sudah siap untuk diserahkan ke jaksa. Dia mengatakan uang akan diserahkan lewat rekening penitipan."Dalam sidang kali ini, kami hendak bermohon kepada Majelis Hakim, dana tersebut akan kami proses untuk pengembalian kepada JPU melalui perintah Majelis Hakim untuk diizinkan untuk dapat diterima oleh teman-teman JPU, majelis, seperti itu," ucap dia.Penasihat hukum Djuyamto juga meminta arahan dari Majelis Hakim terkait dengan pengembalian uang tersebut. Pasalnya, ada opsi untuk menyerahkan uang secara tunai atau dikirim ke rekening titipan melalui virtual account dari pihak jaksa."Kemungkinan prosesnya itu seperti biasanya kalau tidak kami menyerahkan tunai, kami dapat virtual account dari teman-teman JPU untuk kita titipkan dalam rekening penitipan, izinkan untuk diperkenankan agar JPU dapat membuka rekening penitipan pengembalian dana Rp 5,5 miliar dari pembelian tanah tersebut majelis," katanya."Izin majelis, agar dapat dimusyawarahkan dan diputuskan pada hari ini, sebelum dibacakan tuntutan, mungkin pada minggu depan atau sidang selanjutnya," imbuh dia.Terkait rencana pengembalian itu, tim jaksa menyebut bahwa eksekusinya berada di tangan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Dengan begitu, jaksa menyebut pihaknya perlu waktu untuk berkoordinasi."Pertama kami ucapkan terima kasih atas iktikad baik dari pihak NU. Kemudian yang kedua itu kan secara teknis eksekusinya ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat," tutur jaksa."Itu pelaksanaannya ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Yang Mulia. Mungkin kami perlu waktu koordinasi," lanjut jaksa."Jadi, prosesnya seperti apa itu?" tanya Ketua Majelis Hakim, Effendi."Nanti kami tampung dulu di rekening penerimaan. Nanti kita mintakan penetapan sitanya dari Yang Mulia," ucap jaksa.Hakim Effendi pun meminta agar rencana pengembalian uang tersebut dikomunikasikan lebih lanjut antara tim penasihat hukum dengan jaksa."Bisa dibangun komunikasi. Nanti komunikasinya saja," kata Hakim Effendi.Adapun selain Djuyamto, terdakwa lainnya, Agam Syarief Baharudin, juga ingin mengembalikan uang yang diduga terkait dengan perkara tersebut. Nilainya yakni sejumlah Rp 1 miliar."Mohon izin, Yang Mulia, dari tim penasihat hukum Pak Agam, Yang Mulia, sekaligus tadi disinggung Jaksa Penuntut Umum bahwa kita juga ada pengembalian susulan, Yang Mulia, karena ada penarikan reksa dana senilai Rp 1 miliar. Itu kita rencanakan pengembalian dalam waktu dekat," kata penasihat hukum Agam."Baik, nanti koordinasi aja langsung ke kejaksaan ya, temui Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat," timpal Hakim Effendi.Dakwaan Suap Vonis Lepas CPODalam kasus itu, tiga orang hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi.Ketiga hakim tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Mereka didakwa menerima suap secara bersama-sama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.Dalam dakwaannya, jaksa menyebut uang diduga suap tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe'i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan tiga orang hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.Rinciannya, yakni Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.Untuk Arif, ia didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Kemudian, Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.