Sidang praperadilan eks Mendikbudristek Nadiem Makarim melawan Kejagung, di PN Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparanSidang gugatan praperadilan eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, melawan Kejaksaan Agung (Kejagung), telah masuk tahap pembuktian. Kedua kubu saling beradu pembuktian untuk memenangkan praperadilan tersebut.Setelah sebelumnya kubu Nadiem yang diberikan kesempatan untuk membawa bukti, kali ini giliran Kejagung selaku Termohon yang menghadirkan pembuktian.Dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Rabu (8/10), kubu Kejagung menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad.Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) 2019-2024 Nadiem Makarim (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTOSepanjang persidangan itu, sejumlah dalil terkait sahnya penetapan status tersangka terhadap Nadiem pun diungkap Kejagung.Berikut sejumlah poinnya:Dua alat bukti permulaan tak diatur secara limitatif jenisnyaDalam persidangan itu, Suparji menyebut bahwa putusan MK tidak mengatur secara limitatif jenis alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dua alat bukti permulaan dalam penetapan seseorang sebagai tersangka."Ahli sebagai ahli yang pernah dihadirkan, apakah diatur secara limitatif dua alat bukti cukup itu harus ini, harus ini, gitu?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung, Roy Riady, dalam persidangan."Tentang perlindungan hak asasi manusia, orang ditetapkan menjadi tersangka adalah minimal 2 alat bukti. Itulah putusan MK. Tetapi, MK tidak memberikan tentang jenis alat bukti apa," jawab Suparji."Apakah harus saksi, apakah harus surat, apakah harus ahli, apakah petunjuk, ataupun keterangan dan sebagainya. Tetapi, bahwa yang terpenting adalah 2 alat bukti tadi itu. Tidak ada secara limitatif dan imperatif tentang jenis alat bukti apa yang digunakan," lanjut Suparji.Suparji juga membenarkan bahwa sepanjang ada dua alat bukti permulaan yang relevan, maka penetapan tersangka tersebut dinyatakan sah."Jadi putusan MK tidak mengatur secara limitatif jenis alat bukti apa, 2 alat bukti yang cukup itu untuk sebagai menguji praperadilan sah atau tidaknya penetapan tersangka. Begitu ahli, ya?" tanya Roy."Iya," timpal Suparji.Sidang praperadilan hanya uji aspek formilSuparji juga menerangkan bahwa gugatan praperadilan hanya menguji aspek formil dan administrasi. Sementara, lanjut dia, pengujian yang berkaitan dengan pokok perkara yakni untuk melihat seseorang terbukti bersalah atau tidak."Apakah ada perbedaan signifikan antara sidang praperadilan dengan sidang materi pokok perkara terkait dengan pembuktiannya? Apa yang membedakannya?" tanya JPU Kejagung, Roy Riadi."Perbedaan antara praperadilan dengan persidangan pokok perkara, sepengetahuan ahli, bahwa praperadilan sesuai dengan PerMA 4/2016 adalah menguji tentang aspek formil. Aspek formil adalah berkaitan dengan administrasi, berkaitan dengan prosedur," jawab Suparji."Mengingat dalam suatu proses penegakan hukum, aspek substansi, aspek prosedur, dan aspek kewenangan itu harus baik dan benar. Oleh karenanya, untuk memastikan agar prosedur dan kewenangan tadi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, ada ruang untuk mengontrol melalui mekanisme praperadilan," papar Suparji.Ia menjelaskan, bahwa objek yang diuji dalam praperadilan yakni penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penggeledahan dan penyitaan plus ganti rugi, serta rehabilitasi atas penghentian penyidikan dan penuntutan."Berbeda dengan konteksnya ketika memeriksa tentang pokok perkara, maka akan diuji tentang apakah terdakwa misalnya terbukti bersalah, apakah kemudian lepas atau bebas terkait dengan dugaan tindak pidana," tutur Suparji."Maka di situ akan diuji sejauh mana tentang pemenuhan unsur-unsur tentang dugaan pidana tadi itu, di mana dibuktikan dengan adanya kebenaran materiil, kebenaran yang sebenar-benarnya," imbuhnya.Penetapan tersangka sesuai prosedurKejagung juga menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem telah sesuai prosedur, yang dimulai dari mencari peristiwa pidana sejak tahap penyelidikan hingga pencarian alat bukti di tahap penyidikan.Menurut Suparji selaku ahli, langkah dan tahapan itu juga sesuai dengan prosedur hukum yang sebagaimana mestinya."Di surat perintah penyelidikan itu, ketika mencari peristiwa apakah itu peristiwa pidana atau bukan, penyelidik membuat laporan hasil penyelidikan kepada pimpinan, dalam hal ini kepada Direktur Penyidikan, berupa laporan hasil penyelidikan. Lalu di sana, ketika sudah memberikan laporan itu kita ekspose bersama. Pertanyaan saya sederhana, apakah rangkaian itu bagian dari rangkaian proses yang dilakukan untuk penyidik maupun penyelidik melangkahkan konsep di KUHAP itu, konsep prinsip yang ditetapkan profesional, kehati-hatian, seperti itu?" tanya Roy Riady."Mengingat bahwa sudah ada surat perintah penyelidikan dan kemudian telah dilakukan penyelidikan dan kemudian adanya sebuah ekspose, yang sampai ada sebuah kesimpulan, adanya sebuah peristiwa pidana, maka dengan demikian, proses dalam tahapan penyelidikan tadi telah sesuai dengan prosedur administrasi yang benar," jawab Suparji.Suparji juga menjelaskan prosedur dalam tahap penyidikan yakni pencarian alat bukti terlebih dahulu baru menetapkan tersangka, bukan sebaliknya."Jadi kalau kita lihat dari situ, dan kemarin ahli juga mengatakan dari pihak pemohon, yang dilakukan penyidik adalah mencari alat bukti dulu baru menetapkan tersangka, bukan menetapkan tersangka dulu baru mencari alat bukti. Benar seperti itu, ahli?" tanya Roy Riady."Benar. Bahwa ada tiga fase dalam proses penyidikan tadi. Pertama adalah mencari alat bukti. Alat bukti dalam rangka apa? Dalam rangka membuat terang benderang perkara. Terang saja tidak cukup, harus kemudian benderang," ucap Suparji."Karena apa? Karena alat bukti tadi harus terang cahaya. Nah, setelah kemudian terang perkara tadi itu, baru menentukan siapa tersangkanya. Tentunya tidak bisa kemudian tersangka terlebih dahulu, baru alat bukti dan baru terang benderang perkaranya," jelas Suparji.Penetapan tersangka sesuai Sprindik yang ada nama tersangka sudah diberikan ke tersangka sesuai aturanSuparji menjelaskan, bahwa saat surat perintah penyidikan (Sprindik) diterbitkan dengan menyebutkan nama tersangka dan telah diberikan ke tersangka sebelum batas waktu tujuh hari, maka hal tersebut telah sesuai aturan dan prosedur."Apakah menurut pendapat ahli, yang ahli mengatakan batas waktu 7 hari maupun calon tersangka, terlapor harus diberikan SPDP-nya, dengan diterbitkannya Sprindik menyebutkan nama tersangka ketika dari hasil ekspose menetapkan tersangka dan diberikan SPDP kepada calon tersangka sesaat itu juga dan juga kepada KPK maupun penuntut umum, apakah tindakan penyidik ini sudah sesuai prosedur?" tanya Roy Riady."Ketika SPDP di mana Sprindik yang sudah diberitahukan atau kemudian SPDP yang sudah diberikan kepada tersangka dan karena sudah ada tersangka tadi di mana belum sampai dengan 7 hari, berarti telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku," jawab Suparji."Bahwa dalam konteks SPDP tadi itu, karena sudah ada tersangkanya, maka menjadi kewajiban untuk memberitahukannya. Dan ketika diberikan pada saat itu juga, maka berarti tidak melanggar ketentuan yang berlaku," paparnya.SPDP hanya diberikan ke Penuntut Umum dan KPK sesuai aturan saat Sprindik belum ada nama tersangkaSuparji juga menjelaskan ihwal penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Menurutnya, SPDP diberikan maksimal 7 hari setelah adanya penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik).Suparji menilai, saat SPDP tidak diberikan kepada seorang tersangka dengan pertimbangan bahwa penyidik menggunakan Sprindik umum atau belum adanya tersangka dari suatu kasus tindak pidana, maka hal itu telah sesuai prosedur hukum."Penyidik menembuskan atau mengirimkan, ya, kan, SPDP kepada KPK dan penuntut umum seperti itu, dan belum mengirimkan SPDP itu kepada tersangka karena belum ada calon tersangkanya, lagi dicari calon tersangkanya. Bagaimana menurut pendapat ahli?" tanya Roy Riady."Ketika yang dilakukan oleh penyidik dalam hal ini SPDP diberikan kepada penuntut, kepada KPK, belum diberikan kepada tersangka dengan pertimbangan memang belum ada tersangka, maka itu adalah suatu proses yang benar secara hukum," terang Suparji."Adalah benar ketika memang SPDP tadi baru diberikan kepada dua pihak dan tidak diberikan kepada tersangka karena memang belum ada tersangka, dan tersangka tadi baru dalam proses pencarian," paparnya.Penetapan tersangka korupsi delik Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor tak harus ada LHPSuparji juga menegaskan bahwa dalam kasus dugaan korupsi dengan mengakibatkan kerugian keuangan negara tidak harus ada bukti berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).Adapun Nadiem dijerat sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Dalam kasus itu, ia disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor."Dalam praktik ahli sebagai ahli dalam praperadilan, apakah menjadi persoalan karena ini perkara pokok. Dalam praperadilan ini, harus ada LHP, harus ada ini. Apakah menjadi persoalan seperti ini?" tanya Roy Riady."Untuk bisa memenuhi unsur tindak pidana korupsi Pasal 2 atau Pasal 3 memang alat bukti berupa unsur melakukan hukum, berupa unsur memperkaya dan lain sebagainya, termasuk kerugian tadi itu, bahwa perlu kemudian ada pembuktiannya," jawab Suparji."Nah pembuktiannya dengan apa? Dengan saksi, dengan surat, atau kemudian dengan ahli. Tidak ada sebuah perintah secara jelas dalam konteks alat bukti berupa unsur kerugian keuangan negara itu adalah berupa LHP," jelas dia.Menurut dia, tidak ada aturan yang menyatakan untuk mengkualifikasi pemenuhan unsur kerugian keuangan negara harus berupa LHP.Ia menekankan, unsur kerugian keuangan negara bisa dengan menyandarkan alat bukti yang lain, misalnya keterangan saksi, surat, atau deklarasi kerugian negara dari BPKP."Bahwa kemudian ketika misalnya dalam sebuah fase audit kinerja, BPKP menemukan tidak ada unsur kerugian keuangan negara, tetapi dalam proses audit misalnya investigasi audit perhitungan kerugian keuangan negara menemukan tentang kerugian negara tadi itu, maka itulah yang menjadi dasar dalam konteks menentukan pemenuhan unsur kerugian keuangan negara tadi itu," tutur dia."Karena apa? Tentunya dalam proses penilaian tadi itu bisa audit keuangan, audit kinerja, audit investigasi atau perhitungan kerugian keuangan negara," imbuhnya.Kasus NadiemNadiem saat ini berstatus sebagai tersangka Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek.Kasus ini berawal pada Februari 2020. Saat itu, Nadiem yang menjabat sebagai Mendikbudristek melakukan pertemuan dengan pihak Google Indonesia.Dalam pertemuan itu, disepakati produk Google yakni Chrome OS dan Chrome Device (laptop Chromebook) akan dijadikan proyek pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)-nya Kemendikbudristek. Padahal saat itu pengadaan alat TIK ini belum dimulai.Kemudian pada 2020, Nadiem selaku menteri menjawab surat dari Google Indonesia soal partisipasi pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek.Surat tersebut sebelumnya tidak direspons Muhadjir Effendy selaku Mendikbud sebelum Nadiem, sebab uji coba pengadaan Chromebook 2019 gagal dan tidak bisa dipakai oleh sekolah di garis terluar atau 3T.Kerugian dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun. Angka tersebut didapat dari selisih perhitungan harga pengadaan laptop.Berikut dua selisih keuntungan penyedia pengadaan laptop Chromebook yang dinilai oleh Kejagung sebagai kerugian negara:Software (Chrome Device Management) senilai Rp 480.000.000.000;Mark-up laptop di luar CDM senilai Rp 1.500.000.000.000.Kejagung belum merinci detail perbandingan harga wajar dengan harga yang dibeli per laptop bersama software-nya, serta komponen lainnya, oleh pihak Kemendikbudristek saat itu.Terkait penetapannya sebagai tersangka, Nadiem membantah melakukan perbuatan sebagaimana disampaikan Kejagung. Ia menyatakan bahwa Tuhan akan melindunginya.Nadiem menegaskan bahwa dirinya selalu memegang teguh integritas dan kejujuran selama hidupnya.Nadiem pun kini telah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapan tersangkanya tersebut. Saat ini, gugatan praperadilan Nadiem itu telah masuk tahap pembuktian di persidangan.