Bayang-bayang Balfour

Wait 5 sec.

llustrasi Arthur Balfour. Sumber: Shutterstock.Sapuan gelombang sejarah tak berkompromi dengan waktu. Ia bisa datang kapanpun. Pengakuan atas eksistensi Palestina sebagai negara berdaulat kini ramai berkumandang di pusat-pusat kekuasaan dunia. Mulai dari London, Canberra, hingga Ottawa. Namun yang paling megah bergema terjadi di New York, Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Atas inisiatif Prancis dan Arab Saudi, diselenggarakan Konferensi Internasional tentang Palestina, yang sidangnya langsung dipimpin oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Faisal bin Farhan Al Saud.Konferensi ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan beberapa bulan sebelumnya yang telah menghasilkan Deklarasi New York mengenai implementasi solusi dua negara. Presiden Republik Indonesia turut menyumbang pikirannya di podium forum. Prabowo Subianto menekankan pentingnya perdamaian dan pengakuan kedaulatan atas Palestina. Jika Israel bersedia mengakui eksistensi Palestina dengan peta jalan solusi dua negara, Indonesia bersedia mengakui Israel. Pernyataan Prabowo ini tidak sedikit memantik kritik. Banyak yang beranggapan bahwa solusi dua negara (two state solution) adalah ilusi diplomasi, bahkan pengkhianatan terhadap Palestina.Tidak sedikit angan untuk meniadakan eksistensi satu sama lain. Israel dan pendukung fanatiknya tak merestui eksistensi Palestina merdeka, pun sebaliknya, beberapa pihak di Palestina dan pendukungnya memimpikan musnahnya Israel dari peta dunia. Sayangnya, hal ini menjadi kemungkinan yang amat kecil, paling tidak sejak Arthur Balfour menulis surat kepada Lord Rothschild pada 2 November 1917, tentang janji pendirian negara Yahudi di Palestina. Sejak saat itu, Balfour dengan deklarasinya secara abadi mewariskan bayangnya hingga saat ini.Perang dan Tanah yang DijanjikanTsar Nicholas I menyebut Imperium Ottoman sebagai, the sick man of Europe, orang sakit dari Eropa. Imperium Islam yang di masa kejayaannya pernah membuat musuh-musuhnya dicekam ketakutan itu, harus menelan pil pahit deklinasi terutama sejak pertengahan Abad ke-19. Di beberapa wilayah, tangan penjajahan asing mengganti cengkeraman kekuasaan Sultan. Namun sejatinya, bukan hanya Konstantinopel yang ‘sakit’ tatanan politik Eropa yang terbentuk sejak Kongres Wina juga sedang sekarat. Eropa, sebagaimana dalam istilah sejarawan Christopher Clark, sedang melakukan sleepwalkers menuju perang paling destruktif di awal Abad ke-20. Perang Dunia Pertama.Perimbangan kekuatan Eropa mengalami perubahan signifikan seiring dengan meningkatnya ambisi Kaisar Jerman, Wilhelm II. Sebagaimana ditulis Barbara Tuchman dalam bukunya The Guns of August, ambisi Wilhelm membuat Tsar Alexander III di Rusia justru semakin dekat dengan Prancis, dan mengukuhkan aliansi pada 1894. Pun demikian halnya Inggris. Walaupun Perdana Menteri Lord Salisbury tidak berminat membawa Inggris bergabung dalam aliansi mana pun, ambisi Jerman yang semakin mengancam membuat Menteri Luar Negeri Lord Lansdowne dan Dubes Prancis Paul Cambon menyepakati terbentuknya Aliansi Entente tahun 1904.Wilhelm memandang aliansi Inggris-Prancis dan juga Rusia sebagai ancaman nyata yang mengisolasi ambisinya. Ia tentu harus menyiapkan aliansi tandingan untuk menghalaunya. Ditulis George Lenczowski dalam bukunya The Middle East in World Affairs, Wilhelm berusaha mendekati Ottoman, terutama sejak kunjungan pertamanya ke Konstantinopel tahun 1889, dan menjalin hubungan semakin erat sejak kunjungan keduanya pada 1898. Antagonisme semakin meningkat, dan empat belas tahun sejak pergantian abad ke-20, dunia memasuki Perang Dunia I, dengan Ottoman yang satu perahu bersama Jerman melawan Triple Entente.Chaim Weizmann. Sumber: Shutterstock.Perang destruktif itu telah menelan banyak korban saat awan mendung kekalahan menghantui Jerman dan sekutunya, terlebih setelah bergabungnya Amerika Serikat pada April 1917. Di lain sisi, ditengah berpendarnya cahaya kemenangan, Inggris sedang menghadapi dilema persimpangan sejarah. Arthur James Balfour, yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri, mungkin mengingat percakapannya dengan tokoh Zionis ternama, Chaim Weizmann tahun 1906. Weizmann secara non-kompromi menginginkan Yerusalem untuk mendirikan negara Yahudi.Perdana Menteri David Lloyd George dan Sir Arthur Balfour. Sumber: Shutterstock.Balfour masih dilingkupi keraguan. Namun memasuki tahun 1917, sebagaimana ditulis dalam buku Yerusalem: A Biography karya Simon Sebag Montefiore, ia meyakini bahwa Amerika dan Rusia akan mendukung kebijakan Inggris untuk ‘memulangkan’ Yahudi ke Palestina. Bahkan Perdana Menteri David Lloyd George turut mendukung dengan mengatakan, “Yahudi mungkin bisa lebih membantu kita ketimbang Arab”. Menteri Luar Negeri Balfour menyurati Lord Rothschild tentang dukungan pendirian tanah air nasional bagi Yahudi di Palestina. Balfour mengeluarkan deklarasinya, dan dunia diwariskan benang kusutnya.Dua NegaraDi Museum Tel Aviv pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion mendeklarasikan kemerdekaan Israel. Mimpi Weizmann dan janji Balfour perlahan terwujud setelah Menlu Inggris Ernest Bevin menyerahkan mandat Inggris pada Februari 1947. Sejak saat itu Israel menjadi negara berdaulat dan telah menciptakan guncangan politik di kawasan. Sehari setelah deklarasi, sebagaimana ditulis Karen Armstrong dalam bukunya Perang Suci, lima negara Arab menyerang Israel. Antagonisme negara-negara Arab terhadap Israel memang satu keniscayaan, namun karena dukungan kuat AS, Israel beberapa kali berhasil mengatasinya dengan kemenangan gemilang.Sejak saat itu pula dunia sukar membayangkan hilangnya eksistensi Israel, atau terhapusnya negara Yahudi itu dari peta dunia. Selain dukungan AS yang kuat, dinamika Perang Dingin yang kompleks, Israel juga berhasil muncul menjadi negara modern di kawasan. Walaupun hidup dalam kungkungan ketakutan akan potensi ancaman geopolitik yang memang terjadi seperti saat Perang Kemerdekaan tahun 1948, Perang Enam Hari tahun 1967, dan Perang Yom Kippur tahun 1973, Israel bisa tetap bertahan sebagai negara berdaulat.Kedudukan Israel sama sekali tidak mapan dan aman. Perjuangan rakyat Palestina untuk mendirikan negara Palestina merdeka tentu dianggap sebagai ancaman. Dalam wawancaranya dengan Oriana Fallaci, Perdana Menteri Israel Golda Meir mengatakan, “jangan hadir Arab lagi (Palestina) di antara kami dan Yordania”. Penolakan Israel atas pendirian negara Palestina merdeka itu nyata. Perjanjian Oslo antara Israel yang diwakili Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan Palestina yang diwakili ketua Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO), Yasser Arafat, dengan mediator Bill Clinton, memang hampir berhasil mencapai koeksistensi damai dua negara. Namun harapan ini sirna setelah Yitzhak Rabin dibunuh tahun 1995 oleh seorang ekstremis.Melihat realita hari-hari ini, solusi dua negara yang beberapa hari lalu kembali bergema, dan kini meraih kemajuan besar dengan pengakuan negara-negara Barat atas Palestina, hemat saya adalah satu-satunya solusi yang masuk akal sejauh ini. Tentu tidak bisa dinafikan ada yang skeptis terhadap solusi dua negara ini, dan secara non-kompromi menganggap Israel adalah negara penjajah yang harus lenyap. Tentu sah-sah saja sebagai pandangan yang barangkali berasal dari kekecewaan mendalam atas brutalitas Israel. Sangat bisa dipahami.Namun sayangnya, ada realita yang menampar kita. Israel terlalu kuat untuk disingkirkan dari peta dunia. Terlebih dengan dukungan AS yang masih setia membersamai, Israel tak akan rela kehilangan eksistensinya. Namun di lain sisi, hati kita selalu perih melihat kekejaman yang ditimpakan kepada warga Palestina. Pemandangan kelaparan yang beredar di media sosial itu begitu menyayat dan menyakitkan. Solusi dua negara yang membuahkan koeksistensi damai, bisa menjadi solusi paling masuk akal. Hidup damai berdampingan, antara Israel dan Palestina yang merdeka.Tentu ada prakondisi untuk mencapainya. Peristiwa di New York beberapa hari lalu dengan banyaknya pengakuan terhadap Palestina adalah salah satunya. Namun yang terpenting adalah, sudah selayaknya muncul kesadaran baik di tingkat elit maupun rakyat di kedua negara, untuk menghilangkan ambisi meniadakan eksistensi satu sama lain. Baik Israel maupun Palestina harus berbesar hati untuk hidup saling berdampingan. Israel harus menurunkan arogansinya, yang salah satu caranya adalah dengan tekanan internasional. Palestina, sebagaimana Israel dan negara lain di dunia, sangat berhak menikmati kemerdekaannya. Palestina berhak menikmati empat kebebasan Franklin Delano Roosevelt: kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan dari kemiskinan, dan kebebasan dari ketakutan.Sekali lagi, ambisi meniadakan eksistensi satu sama lain hanya akan memperpanjang penderitaan. Palestina akan semakin menderita dan Israel akan semakin terkucil di dunia. Dua negara harus sadar bahwa kita tidak hidup di era Raja Daud 3000 tahun lalu, kita tidak hidup di era saat Paus Urbanus II memerintahkan untuk merebut Kota Suci, kita tidak hidup di era kejayaan Ottoman. Kita hidup di dunia saat ini, yang sayangnya masih dibayang-bayangi Deklarasi Arthur Balfour satu abad lampau. Kita tidak bisa kembali ke masa lampau untuk mengubahnya, tapi kita bisa menatap masa depan dan memperindahnya.