Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung RI. Foto: ShutterstockKejaksaan Agung (Kejagung) memastikan tak ada istilah mengoplos bensin dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Hal ini juga telah dipertegas jaksa dalam surat dakwaan kasus itu."Jadi memang gini, tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an," kata Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, kepada wartawan, Jumat (10/10).Anang menjelaskan, dalam kasus itu, penyidik memang menemukan adanya praktik blending BBM RON 88 dengan RON 92. Hasil blending itu dijual dengan harga yang lebih rendah."Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah, ya bahkan price, ya kan di situ. Di situ kan ada (beberapa perusahaan minyak asing) dan dia termasuk ya yang diuntungkan, ada diperlakukan istimewa," jelasnya."Istilahnya bukan oplosan, blending-an dan memang secara teknis memang begitu. Tidak ada istilah oplosan, blending," tambah dia.Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 18 orang sebagai tersangka. Tiga di antaranya telah masuk tahap persidangan, mereka yakni Riva Siahaan selaku eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga periode 2023-2025, dan Edward Corne selaku eks VP Trading Operations.Riva dkk didakwa merugikan negara sekitar Rp 285 triliun. Kerugian tersebut yakni terdiri dari:Kerugian keuangan negara dalam pengadaan impor produk kilang/BBM yaitu sebesar USD 5.740.532,61.Kerugian keuangan negara dalam penjualan solar non subsidi selama periode tahun 2021-2023 yaitu sebesar Rp2.544.277.386.935.Jaksa menyebut, kerugian tersebut merupakan bagian kerugian keuangan negara seluruhnya sebesar USD 2.732.816.820,63 (setara Rp 45,23 triliun) dan sebesar Rp25.439.881.674.368,30 (Rp 25,4 triliun)."Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigasi dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara atas tata kelola minyak mentah dan produk kilang," jelas jaksa.Selain itu, juga terdapat kerugian lainnya, yakni:Kerugian perekonomian negara sebesar Rp171.997.835.294.293 yang merupakan kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut.Illegal gain sebesar USD 2.617.683.340,41 (setara Rp 43,3 triliun), berupa keuntungan ilegal yang didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri.Akibat perbuatannya itu, Riva dkk didakwa melanggar Pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.