Ketika Orang Tua Tak Paham Ruang Rasa Anak: Sebuah Realita dalam Keluarga Utuh

Wait 5 sec.

Ilustrasi keluarga bahagia. Foto: ShutterstockBanyak masyarakat masih menganggap bahwa keluarga utuh adalah simbol kesempurnaan. Lengkap dengan kedua orang tua yang utuh, anak-anak yang terurus, dan kehidupan rumah tangga tanpa perceraian. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda. Tidak sedikit orang tua yang tak paham ruang rasa anak yang tumbuh dalam keluarga utuh tetap merasa kesepian secara emosional. Mereka mungkin mendapat kebutuhan materi yang cukup, tetapi tidak selalu memperoleh dukungan mental yang memadai. Fenomena ini menunjukkan bahwa keutuhan keluarga tidak serta-merta menjamin kesehatan psikologis anak.Di Indonesia, pola pikir tradisional masih sangat melekat dalam pengasuhan. Banyak orang tua yang lebih menekankan pentingnya disiplin, prestasi akademik, atau ketahanan mental. Ekspresi perasaan sering dianggap sebagai kelemahan, bahkan sesuatu yang tidak perlu ditanggapi serius. Anak yang menangis kerap dilabeli manja, dan anak yang peka dianggap berlebihan. Respons seperti ini membuat banyak anak tumbuh dengan perasaan tidak divalidasi. Sayangnya, sikap semacam ini sudah begitu normal sehingga sering kali dianggap wajar.Generasi muda saat ini tumbuh dengan kondisi yang berbeda. Akses informasi tentang Kesehatan mentan semakin terbuka, sehingga anak-anak lebih sadar akan pentingnya ruang emosional. Mereka ingin didengar, dipahami, dan diterima apa adanya. Namun tidak semua orang tua bisa mengikuti perubahan ini. Jurang generasi pun semakin terasa, karena orang tua tetap berpegang pada pola lama sementara anak hidup di dunia yang lebih transparan. Hasilnya, adalah benturan komunikasi yang sering memicu rasa frustrasi di kedua belah pihak.Dampak dari kurangnya pemahaman ini cukup serius. Anak yang tidak mendapat validasi emosional bisa merasa terasing di dalam rumahnya sendiri. Mereka sulit terbuka, cenderung memendam perasaan, atau mencari pelarian di luar keluarga. Ada juga yang berusaha mengalihkan perasaan dengan cara negatif, karena sejak kecil tidak diajarkan cara mengelola emosi. Keluarga yang terlihat harmonis dari luar ternyata bisa menyimpan luka dalam diam. Hal ini jarang dibicarakan, tetapi sesungguhnya banyak dialami oleh anak-anak di Indonesia.Pentingnya untuk dipahami bahwa kebutuhan anak tidak hanya sebatas fisik. Dukungan emosional sama pentingnya bagi tumbuh kembang mereka. Mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi dapat membuat mereka merasa dihargai. Mengakui perasaan anak bukan berarti memanjakan, tetapi menunjukkan bahwa emosi mereka valid. Sayangnya, masih banyak orang tua yang mengira bahwa dengan mengabaikan perasaan, anak akan tumbuh lebih kuat. Padahal yang sering terjadi justru sebaliknya: anak merasa rapuh karena tidak pernah diberi ruang untuk berproses.Fenomena ini juga dipengaruhi oleh minimnya literasi tentang kesehatan mental di masyarakat indonesia. Isu psikologis masih sering dianggap tabu, bahkan disepelekan. Banyak orang tua tidak terbiasa berbicara soal perasaan, karena mereka sendiri tumbuh dalam lingkungan yang keras. Pola asuh itu akhirnya diwariskan secara turun-temurun. Maka tidak mengherankan jika anak – anak dengan ruang rasa besar sering dianggap aneh atau berlebihan. Padahal, yang mereka butuhkan hanyalah pemahaman dan bimbingan sederhana.Namun, harapan tetap ada. Semakin banyak diskusi publik yang mengangkat pentingnya kesehatan mental dan komunikasi keluarga. Anak-anak muda kini mulai berani bersuara dan mencari ruang aman, baik melalui komunitas, media sosial, maupun teman sebaya. Kesadaran ini perlahan bisa menjadi jembatan bagi orang tua untuk belajar kembali. Parenting bukan sesuatu yang statis; ia perlu menyesuaikan zaman. Orang tua yang mau membuka diri akan lebih mudah menjalin kedekatan dengan anak, bahkan meski awalnya terasa asing.Di sisi anak, langkah kecil juga bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan emosional. Menulis jurnal, berbagi dengan sahabat, atau mengikuti kegiatan positif bisa menjadi cara untuk menyalurkan perasaan. Ketika orang tua belum sepenuhnya bisa memahami, anak tetap bisa mencari medium lain untuk tetap sehat secara psikologis. Ini bukan berarti menyingkirkan orang tua, melainkan mencari keseimbangan. Dengan begitu, anak tidak sepenuhnya terjebak dalam rasa kesepian meski berada di keluarga harmonis. Kesadaran diri menjadi kunci untuk tetap bertahan.Fenomena anak yang tidak dipahami ruang rasanya perlu lebih sering dibicarakan. Masyarakat perlu sadar bahwa masalah keluarga tidak hanya terjadi pada rumah tangga yang retak. Keluarga utuh pun bisa menghadapi tantangan emosional yang sama beratnya. Dengan membuka ruang diskusi, diharapkan semakin banyak orang tua yang peka terhadap kebutuhan psikologis anak. Begitu pula anak-anak yang merasa “berbeda” tidak lagi merasa sendirian. Perubahan kecil dalam pola asuh bisa memberi dampak besar bagi generasi mendatang.Pada akhirnya, keutuhan keluarga seharusnya tidak hanya dilihat dari ada atau tidaknya perceraian. Keutuhan sejati tercermin dari hubungan emosional yang sehat antara orang tua dan anak. Anak-anak membutuhkan rasa aman, penerimaan, dan validasi, bukan sekadar fasilitas. Fenomena ini nyata dan cukup sering terjadi di Indonesia, meski jarang terlihat di permukaan. Dengan kesadaran bersama, keluarga harmonis bisa benar-benar menjadi tempat yang sehat secara emosional. Karena cinta dalam keluarga bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang saling memahami ruang rasa.