Full Day School: Membentuk Karakter atau Membebani Anak?

Wait 5 sec.

Ilustrasi Anak Pergi Ke Sekolah [sumber: https://pixabay.com/id/]Beberapa tahun terakhir, istilah full day school semakin akrab di telinga kita. Sistem belajar dari pagi hingga sore ini kini banyak diterapkan, terutama di sekolah-sekolah perkotaan. Alasannya sederhana: anak bisa lebih terpantau, lebih disiplin, dan punya waktu lebih untuk kegiatan pengembangan diri. Namun, di balik tren ini muncul pertanyaan besar: apakah full day school benar-benar membawa manfaat bagi anak, atau justru menambah beban yang terlalu berat? Banyak pihak menilai sistem ini efektif untuk meningkatkan kedisiplinan dan mengurangi waktu anak terpapar hal-hal negatif di luar sekolah. Tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa anak justru menjadi cepat lelah, kehilangan waktu bermain, dan berkurang interaksi dengan keluarga. Perdebatan inilah yang membuat full day school menarik untuk dikaji lebih dalam.Sebagai mahasiswa yang mempelajari pendidikan, saya melihat bahwa full day school punya dua sisi yang sama-sama kuat. Di satu sisi, sistem ini dianggap sebagai solusi untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Dengan waktu lebih panjang di sekolah, anak bisa mengikuti berbagai kegiatan tambahan, mulai dari pelajaran agama, ekstrakurikuler, hingga pembinaan karakter. Penelitian yang dilakukan oleh Yantoro, dkk (2021) menunjukkan bahwa full day school dapat meningkatkan motivasi belajar anak dan membantu mereka lebih bersemangat dalam menemukan bakat. Bagi orang tua yang bekerja seharian, full day school memberi rasa aman karena anak berada di lingkungan sekolah lebih lama.Namun, di sisi lain, banyak suara yang mengkritisi sistem ini. Anak-anak yang terbiasa pulang siang kini harus bertahan hingga sore, membuat mereka mudah lelah bahkan stres. Waktu bermain dan berinteraksi dengan keluarga juga berkurang, padahal momen sederhana seperti berkumpul di rumah atau bermain di lingkungan sekitar penting untuk perkembangan sosial dan emosional mereka. Menurut penelitian oleh Maiyun & Nur Imamah (2023) menemukan bahwa anak yang mengikuti full day school cenderung lebih rentan mengalami stres dibandingkan dengan anak sekolah setengah hari. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nurhayati & Langlang Handayani (2020) bahwa anak-anak banyak kehilangan waktu untuk bersosialisasi di luar sekolah, dan ini berdampak pada perkembangan sosial mereka. Dengan kata lain, full day school tidak otomatis membuat anak lebih pintar atau lebih berkarakter, apabila jika hanya menambah jam belajar tanpa diimbangi dengan kegiatan yang menyenangkan.Lalu, apa solusinya? Apakah full day school harus dihapus total? Tidak juga. Kuncinya adalah bagaimana sekolah mengatur keseimbangan agar sistem ini tidak hanya menambah jam belajar, tetapi juga bermanfaat dan menyenangkan bagi anak.1. Tambahan waktu belajar sebaiknya tidak hanya dipenuhi dengan pelajaran akademik. Jika jam ekstra hanya digunakan untuk mengulang materi, anak akan cepat merasa jenuh dan kelelahan. Akan lebih baik bila waktu tersebut dipakai untuk kegiatan kreatif seperti olahraga, seni, kegiatan literasi, atau pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Aktivitas seperti ini tidak hanya menyegarkan pikiran, tetapi juga melatih kerja sama, kreativitas, dan keterampilan hidup yang tak kalah penting dari nilai akademik.2. Sekolah perlu menyediakan waktu istirahat yang cukup. Banyak anak merasa lelah bukan hanya karena belajar, tetapi karena tidak ada jeda untuk rileks.Memberi kesempatan anak untuk bermain di halaman sekolah, melakukan olahraga ringan, atau sekadar bercengkrama dengan teman sebaya bisa menjadi cara sederhana untuk menjaga energi mereka.3. Perlu ada keseimbangan antara kegiatan akademik dan non-akademik. Tujuan pendidikan bukan hanya mencetak anak yang pintar di atas kertas, melainkan juga membentuk pribadi yang sehat secara emosional dan sosial. Dengan memberi ruang bagi kegiatan non-akademik, anak akan lebih termotivasi, sekaligus belajar mengelola diri dan berinteraksi dengan orang lain.4. Kolaborasi antara sekolah dan orang tua sangat penting. Guru tidak bisa melihat perkembangan anak hanya dari dalam kelas, begitu juga orang tua tidak bisa menilai hanya dari rumah. Dengan komunikasi yang intensif, guru dan orang tua bisa saling bertukar informasi mengenai kondisi anak, apakah mereka merasa terbebani, menikmati kegiatan, atau membutuhkan penyesuaian.5. Penerapan full day school sebaiknya dilakukan dengan fleksibilitas. Tidak semua sekolah cocok dengan sistem ini, apalagi jika fasilitas dan sumber daya guru belum mendukung. Pemerintah sebaiknya memberi kebebasan kepada sekolah untuk menentukan apakah model full day school relevan dengan kondisi anak dan lingkungannya. Dengan begitu, sistem ini tidak lagi dipaksakan sebagai aturan tunggal, melainkan pilihan yang bisa disesuaikan.Full day school ibarat dua sisi mata uang. Jika dikelola dengan baik, ia bisa membantu anak berkembang lebih optimal. Namun, jika hanya menambah jam belajar tanpa inovasi, sistem ini bisa menjadi beban yang justru menggerus masa kecil mereka.Pada akhirnya, pendidikan harus berpihak pada anak. Mereka bukan hanya “peserta didik” yang mengejar nilai, tetapi juga individu yang butuh waktu untuk bermain, beristirahat, dan berinteraksi dengan keluarga. Diskusi tentang full day school harus terus digulirkan, agar sistem pendidikan di Indonesia bisa benar-benar mencetak generasi yang cerdas sekaligus bahagia.