Hotman Paris Debat dengan Ahli di Praperadilan Nadiem, Bawa Analogi Pelecehan

Wait 5 sec.

Hotman Paris Hutapea saat ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (15/7/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparanPengacara mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea, berdebat panas dengan ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, terkait audit kerugian keuangan negara di kasus dugaan korupsi laptop Chromebook.Perdebatan keduanya itu terjadi saat sidang lanjutan gugatan praperadilan Nadiem Makarim melawan Kejagung, di PN Jakarta Selatan, Rabu (8/10). Suparji merupakan ahli yang dihadirkan oleh jaksa."Tadi terima kasih ahli sudah menjawab rekan saya yang mengatakan yang bisa menghitung itu adalah BPK. Ya, dan kemudian ternyata didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004," kata Hotman dalam persidangan."Mohon izin, Yang Mulia. Ahli sampaikan tadi bahwa pemeriksa eksternal itu adalah BPK, bukan menghitung itu yang ahli maksudkan. Pemeriksa eksternal keuangan negara," timpal Suparji.Sidang lanjutan gugatan praperadilan eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, melawan Kejagung, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparanHakim tunggal PN Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan, pun turut meluruskan pernyataan yang dimaksud oleh Suparji."BPK berwenang memeriksa keuangan negara secara eksternal," kata Hakim Ketut."Nah, demikian yang ahli sampaikan," sahut Suparji.Hotman kemudian menyinggung dua Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) terkait instansi yang menghitung kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP.Namun, Suparji menekankan bahwa yang menyatakan adanya kerugian keuangan negara adalah BPK dan Majelis Hakim di persidangan pokok perkara."Bukan, di dalam surat edaran itu disebutkan yang menghitungnya adalah BPK dan BPKP. Di dalam dua surat edaran Mahkamah Agung," tutur Hotman."Mohon izin, Yang Mulia. Sependek pengetahuan ahli, bahwa itu adalah kaitannya yang menyatakan kerugian keuangan negara. Kalau menghitung, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa BPK, bisa BPKP, bisa auditor internal, bahkan jaksa sendiri bisa menghitung pada putusan MK," jawab Suparji.Kejagung menghadirkan ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, dalam sidang gugatan praperadilan eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, di PN Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparanHotman kemudian menyinggung pernyataan Suparji yang menyebut bahwa kerugian keuangan negara sudah bisa dihitung sebelum adanya penetapan tersangka."Pertanyaan saya adalah, tadi kan ahli mengatakan kerugian itu harus sudah bisa dihitung sebelum penetapan tersangka. Benar, ya?" tanya Hotman."Iya, bahwa itu unsur kerugian keuangan negara, maka dalam rangka memenuhi unsur tadi itu harus terpenuhi tentang kerugian keuangan negara tadi itu yang bersifat nyata dan pasti dengan ukurannya dapat dihitung tadi itu," jawab Suparji.Dalam kesempatan itu, Hotman juga membacakan sejumlah putusan yang menyinggung bahwa salah satu dari dua alat bukti permulaan dalam tindak pidana korupsi adalah adanya laporan hasil audit kerugian keuangan negara.Namun, Suparji tetap merujuk dalam konteks putusan MK. Menurutnya, dalam putusan itu, tidak ada disebutkan bahwa salah satu alat bukti permulaan tindak pidana korupsi harus berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atau BPKP."Yang terpenting adalah nyata dan pasti dan kemudian dapat dihitung tadi itu, tidak ada satu keharusan berdasarkan adanya sebuah LHP," tutur Suparji. Mendikbudristek 2019-2024 Nadiem Makarim (ketiga kiri) didampingi kuasa hukum Hotman Paris (kanan) berjalan menuju ruang pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTOTim jaksa dari Kejagung pun sempat menginterupsi debat itu. Hakim Ketut kemudian meminta ahli agar menjawab secara lugas pertanyaan yang diajukan tim penasihat hukum Nadiem."Sebetulnya pertanyaan yang tadi intinya, apakah ahli sependapat dengan pertimbangan putusan tersebut? Gitu saja, ya. Silakan dijawab lugas saja, setelah itu lanjutkan pertanyaan yang lain," ujar Hakim Ketut."Mohon izin, Yang Mulia, ahli menghormati putusan tersebut, tetapi ahli punya pendapat yang lain bahwa LHP bukan sebuah keharusan untuk menyatakan unsur kerugian keuangan negara," jawab Suparji.Kendati begitu, Hotman terlihat kurang puas dengan jawaban Suparji. Hotman terus mencecar Suparji ihwal belum adanya perhitungan kerugian keuangan negara, padahal sudah ada tersangka yang dijerat."Tadi kan Anda mengatakan kerugian yang bisa dihitung sebelum ditetapkan tersangka, sebelum. Ya, ternyata apabila ada suatu perkara, kerugian itu belum ada dihitung, bagaimana?" tanya Hotman."Baik, mohon izin, Yang Mulia, soal sudah ada, sudah dihitung atau belum, tentunya kembali pada soal pembuktian. Bahwa kemudian dalam hal ini, ketika sudah ada BPKP, sudah ada ahli keuangan negara, maka itu bagian dari unsur pemenuhan menghitung kerugian keuangan negara tadi," jawab Suparji."Bukan satu-satunya berdasarkan LHP. Ketika sudah ada ahli-ahli yang menghitung tadi itu, bahkan ada mekanisme BPKP yang misalnya surat-menyurat, ekspos, dan sebagainya, maka sudah memenuhi representasi dari unsur pemenuhan tentang kerugian keuangan negara,"papar Suparji.Dengan penjelasan itu, Hotman pun mengeklaim bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sah."Karena ini adalah delik materiil, maka akibatnya harus terpenuhi, hitungan-hitungan itu harus ada. Oke. Kalau tidak ada, berarti penetapan tersangka tidak sah," ucap Hotman."Iya, kalau tidak ada bukti yang menunjukkan hitungan keuangan negara tadi itu, maka berarti tidak terpenuhi unsur tentang kerugian keuangan negara," timpal Suparji.Analogikan PelecehanTak hanya itu, Hotman dan Suparji juga berdebat terkait tidak ditanyakannya oleh penyidik mengenai tuduhan yang disematkan kepada kliennya hingga dijerat sebagai tersangka.Hotman mulanya bertanya kepada Suparji terkait tindakan penyidik yang telah menentukan seorang calon tersangka dan dituduh melakukan mark-up harga suatu proyek. Akan tetapi, hingga ditetapkan sebagai tersangka tidak pernah dimintai keterangannya tentang mark-up tersebut.Namun, Suparji menekankan bahwa topik yang disinggung Hotman telah memasuki pokok perkara."Mohon izin, Yang Mulia, ini sudah masuk pada pokok perkara tentang materi pemeriksaan," kata Suparji.Hotman pun membantah dan menilai bahwa pertanyaannya itu masih berkaitan dengan keabsahan penetapan tersangka terhadap kliennya."Kita persempit, dia diperiksa tapi yang dituduhkan itu tidak ditanya. Dituduh mark-up, tapi tidak ditanyakan mark-up yang mana. Ini prosedur juga, kan, ini kan mengecil, kalau tadi kan secara umum. Boleh enggak bahwa seseorang kalau mau jadi tersangka harus diperiksa apa yang dituduhkan? Tadi saya cek di BAP [Berita Acara Pemeriksaan] enggak ada pertanyaan itu," tanya Hotman."Bahwa hal-hal yang ditanyakan kan suatu yang substansi, ya, suatu yang materiil ya, bukan sekadar prosedur. Prosedur itu kan misalnya berkaitan dengan undangan, berkaitan dengan kelayakan undangan, dan jangka waktunya, dan sebagainya," jawab Suparji.Seolah kembali tak puas dengan jawaban Suparji, Hotman kemudian menanyakan ihwal delik memperkaya orang lain yang dituduhkan terhadap kliennya justru juga tidak ditanyakan penyidik.Hotman pun menyinggung contoh kasus pelecehan yang juga mesti didalami oleh penyidik terhadap pelaku mengenai tuduhan itu."Kalau saya misal, mohon maaf nih, melecehkan putri orang, tentu harus ditulis dong namanya si Erni, si Susi. Kalau begini, memperkaya orang lain, tapi saya baca tadi BAP-nya itu sama sekali tidak ada pertanyaan apa pun tentang siapa yang diperkaya, bagaimana, dan berapa besarnya diperkaya. Apakah itu menurut Anda penyidik tidak profesional atau apa?" tanya Hotman.Akan tetapi, Suparji menilai bahwa contoh kasus yang disinggung Hotman justru berbeda dengan kasus korupsi yang menjerat Nadiem. Menurutnya, terkait pertanyaan siapa yang diperkaya dan berapa diperkaya, bukanlah suatu keharusan untuk ditanyakan penyidik."Karena kesimpulan memperkaya itu bisa saja dari bukti-bukti atau kemudian dari fakta-fakta yang lain, tidak harus berdasarkan dari sebuah pertanyaan," ucap Suparji."Karena kalau berdasarkan sebuah pertanyaan, kadangkala, mohon maaf, itu bisa mengingkari. Tetapi, kemudian ketika fakta-fakta yang lain itu tidak bisa dihindari," sambungnya.Analogi soal kasus pelecehan itu kembali disinggung Hotman."Pertanyaan itu harus ada enggak? Saya dituduh melecehkan, tapi tidak ditanya, gimana?" tanya Hotman."Dalam pandangan ahli tidak [harus ditanyakan]. Bukan sebuah keharusan," jawab Suparji.Mendengar perdebatan yang tak kunjung usai itu, hakim Ketut kemudian meminta Hotman tidak terus memaksakan agar jawaban ahli harus sesuai dengan yang diharapkannya."Baik, sebelum dilanjutkan, Saudara Kuasa Pemohon tidak perlu diperdebatkan, ya. Kalau Saudara memang tidak setuju dengan pandangannya atau jawabannya memang kurang memuaskan, tidak apa-apa," tegas hakim Ketut.Kasus NadiemNadiem saat ini berstatus sebagai tersangka Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek.Kasus ini berawal pada Februari 2020. Saat itu, Nadiem yang menjabat sebagai Mendikbudristek melakukan pertemuan dengan pihak Google Indonesia.Eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, Kamis (4/9/2025). Foto: Kejagung RIDalam pertemuan itu, disepakati produk Google, yakni Chrome OS dan Chrome Device (laptop Chromebook) akan dijadikan proyek pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)-nya Kemendikbudristek. Padahal saat itu pengadaan alat TIK ini belum dimulai.Kemudian pada 2020, Nadiem selaku menteri menjawab surat dari Google Indonesia soal partisipasi pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek.Surat tersebut sebelumnya tidak direspons Muhadjir Effendy selaku Mendikbud sebelum Nadiem, sebab uji coba pengadaan Chromebook 2019 gagal dan tidak bisa dipakai oleh sekolah di garis terluar atau 3T.Kerugian dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun. Angka tersebut didapat dari selisih perhitungan harga pengadaan laptop.Berikut dua selisih keuntungan penyedia pengadaan laptop Chromebook yang dinilai oleh Kejagung sebagai kerugian negara:Software (Chrome Device Management) senilai Rp 480.000.000.000;Mark-up laptop di luar CDM senilai Rp 1.500.000.000.000.Kejagung belum merinci detail perbandingan harga wajar dengan harga yang dibeli per laptop bersama software-nya, serta komponen lainnya, oleh pihak Kemendikbudristek saat itu.Terkait penetapannya sebagai tersangka, Nadiem membantah melakukan perbuatan sebagaimana disampaikan Kejagung. Ia menyatakan bahwa Tuhan akan melindunginya.Nadiem menegaskan bahwa dirinya selalu memegang teguh integritas dan kejujuran selama hidupnya.Nadiem pun kini telah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapan tersangkanya tersebut. Saat ini, gugatan praperadilan Nadiem itu telah masuk tahap pembuktian di persidangan.