Penjegalan Kapal Lusitania Expresso: Kala Indonesia Cium Gelagat Politis di Laut Timor Timur

Wait 5 sec.

Penumpang kapal Lusitania Expresso melambaikan tangan ke arah KRI Yos Sudarso. (ANTARA/Halaman Facebook Priyono Bitles Combat) JAKARTA - Tragedi Santa Cruz bikin muka Indonesia buruk di mata dunia. Peristiwa pembantaian itu dimanfaatkan oleh pejuang Timor Timur memanen dukungan internasional. Hasilnya banyak yang mengecam Indonesia. Mereka yang ingin Timor Timur merdeka bejibun.Sederet aktivis itu kemudian memainkan siasat populis: misi kemanusiaan. Mereka membawa serta jurnalis internasional berlayar dari Portugal ke Dili dengan kapal Lusitania Expresso. Mereka ingin ziarah tabur bunga. Namun, Indonesia cium gelagat politis.Timor Timur pernah jadi provinsi ke-27 dari Indonsia. Namun, integrasi itu tak mendapatkan restu dari aktivis pro kemerdekaan. Mereka tak ingin Timor Timur bersatu dengan Indonesia. Keinginan itu berbalas dengan munculnya gerakan perlawanan bersenjata.Konflik perlawanan berdarah muncul. Militer Indonesia mencoba mengamankan situasi. Namun, kehadiran militer skala besar justru memunculkan perlawanan di mana-mana. Puncaknya adalah Trgaedi Santa Cruz atau yang kemudian sering disebut Pembantaian Santa Cruz.Kejadian itu bermula dari acara misa untuk aktivis pro kemerdekaan Sebastiao Gomez yang meninggal karena dibunuh militer Indonesia. Misanya dihadiri oleh pejuang kemerdekaan Timor Timur di Gereja Moteal pada 12 November 1991.Parade mengantar jenazah Gomes ke pemakaman Santa Cruz tak luput dari agenda politik. Mereka yang mengantar menyuarakan perlawanan dan keinginan Timor Timur merdeka. Provokasi kepada militer Indonesia dilakukan. Alhasil, provokasi itu berbuah petaka.Suasana di dalam KRI Yos Sudarso saat menghalau kapal Lusitania Expresso yang mencoba memasuki wilayah perairan Timor Timur. (ANTARA/Halaman Facebook Priyono Bitles Combat)Militer menembaki para pengunjuk rasa. Korban pun berjatuhan. Bahkan, hingga menyentuh angka 200-an korban jiwa. Pembantaian itu berhasil direkam oleh jurnalis asing. Rekaman kekerasan dari militer membuat dunia mengecam Indonesia.Posisi Indonesia kian sulit. Gelora dukungan menuntut kemerdekaan Timor Timur dari aktivis internasional bermunculan. Belakangan kaum aktivis –73 aktivis dari 21 negara dan 59 jurnalis internasional—sepakat melangsungkan misi kemanusiaan ke Dili.Mereka pun berencana menumpang kapal Lusitania Expresso. Mereka ingin melakukan prosesi tabur bunga di Dili sebagai bentuk belasungkawa atas Tragedi Santa Cruz. Namun, misi itu dinilai oleh Indonesia hanya sebagai kamuplase belaka. Suatu ajian supaya dunia mengutuk Indonesia.“Pergi ke Dili cuma sasaran tipuan. Sasaran mereka yang sebenarnya adalah menarik perhatian internasional, supaya peristiwa 12 November 1991 di Dili bisa terus mendapat perhatian. Bagi mereka, kalau mereka sampai berhasil masuk ke Dili, ini hanya sebuah bonus besar yang patut disyukuri.”“Kalau asumsi ini yang dipakai, pernyataan-pernyataan pemerintah Indonesia yang keras justru menolong mereka mencapai tujuannya. Juga persiapan kita yang menggunakan kapal perang dan perlengkapan-perlengkapan militer lainnya untuk menghadang mereka, tanpa sengaja telah membantu kampanye para demonstran Portugal ini. Semua ini merupakan makanan yang lezat bagi pers internasional,” ungkap Arief Budiman dalam laporan majalah Tempo berjudul Lusitania: Siapa yang Menang? (1992).Penjegalan Kapal LusitaniaPerbekalan dan rencana perjalanan dari Portugal ke Dili sudah matang. Aktivis dan jurnalis internasional sudah berada di Pelabuhan Vasco da Gama, Portugal pada pada 23 Januari 1992. Kapal Lusitania Expresso yang dikomandani oleh Kapten Luis dos Santos pun berangkat.Perjalanan panjang coba ditaklukkan. Mereka tiba di Darwin, Australia pada 8 Maret 1992. Rencananya, esok hari mereka segera berangkat menuju Dili pada 9 Maret 1992. Namun, bukan hal mudah menembus penjagaan ketat militer Indonesia ke Dili.Militer Indonesia bak mencium kamuplase dari misi kemanusiaan yang dibawa seisi kapal Lusitania Expresso. Kapal Lusitania segera dijegal oleh tiga kapal perang Indonesia: KRI Yos Soedarso 353, KRI Telut Banten 561, dan KRI Ki Hajar Dewantara 364.Pihak Indonesia dengan tegas melarang kapal berbendera Portugal tersebut. Mulanya para aktivis berencana memaksa masuk Gili – apapun yang terjadi. Mereka sempat meminta bantuan PBB supaya bisa berlayar ke Dili. Namun, tak berhasil.Kondisi itu membuat Kapten Santos tak berani ambil resiko. Lusitania Expresso telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia. Artinya, militer Indonesia dapat mengambil tindakan tegas: tenggelamkan kapal. Kapal Lusitania Expresso diperingatkan menjauh dari ZEE Indonesia. Mau tak mau kapal Lusitania Expresso balik ke Darwin.Aktivis yang berada di kapal banyak yang kecewa. Kondisi itu membuat ancaman perang informasi terkait penjagalan kapal mengemuka. Namun, pihak Indonesia segera mengimbangi dan terbebas dari provokasi.Misi Lusitania Expresso jadi antiklimaks. Namun, setelah kejadian itu pemerintah Indonesia mencoba lebih waspada dengan langkah populis lainnya yang ditempuh aktivis pro kemerdekaan Timor Timur. Sebab, langkah populis itu boleh jadi ajian buat citra Indonesia jatuh di mata dunia.“Untung, drama Lusitania berakhir dengan antiklimaks. la ngeloyor keluar ‘pentas’ dari perairan Timor Timur sebelum mendapatkan tepuk tangan. Dan Indonesia boleh menepuk dada karena misi provokasi itu bisa dikempiskan, tak sempat memancing perhatian dunia yang berarti. Perang informasi, yang kebetulan kami saksikan di kedua pihak, berakhir pekan lalu.”“Siapa pemenang, kiranya bisa dinilai. Namun, perang informasi itu tentunya tak cuma berhenti di Lusitania. Mungkin bakal ada jurus-jurus baru dari kedua pihak,” ujar A. Margana sebagaimana ditulis dalam majalah Tempo berjudul Akhir Misi Lusi: Laporan dari Kapal Expresso (1992).