Ilustrasi kebersamaan di kelas. Sumber: PexelsSetiap pagi, ribuan siswa berangkat ke sekolah membawa harapan besar bukan hanya dari diri sendiri, tapi juga dari orang tua dan guru. Mereka diajarkan untuk menjadi yang terbaik, meraih nilai tinggi, dan memenangkan lomba. Namun di balik semangat itu, perlahan tumbuh kelelahan yang tak kasat mata. Banyak anak belajar bukan karena ingin tahu, tapi karena takut tertinggal.Tekanan untuk berprestasi membuat banyak siswa hidup dalam kecemasan yang halus. Mereka takut salah, takut gagal, bahkan takut terlihat lemah. Fokus mereka terarah pada hasil, bukan pada hubungan atau kemanusiaan di sekitarnya. Survei UNICEF tahun 2023 mencatat, satu dari tiga pelajar Indonesia mengalami stres berat akibat tekanan akademik. Di balik penghargaan dan nilai yang tinggi, tersimpan tanda tanya besar: apakah belajar masih tentang menemukan makna, atau sekadar tentang menang?Guru dan orang tua, meski bermaksud baik, kerap tanpa sadar memperkuat pola ini. Mereka lebih cepat memuji nilai tinggi daripada sikap peduli. Anak yang membantu temannya tak selalu dianggap istimewa, sementara yang berprestasi akademik justru mendapat sorotan. Padahal, seperti yang dikatakan Émile Durkheim, pendidikan seharusnya menanamkan nilai moral dan sosial agar manusia bisa hidup bersama secara harmonis. Ketika sekolah hanya mengejar angka, nilai kemanusiaan itu perlahan memudar.Teknologi dan Hilangnya Kepekaan SosialKini, teknologi memperlebar jarak di antara siswa. Hampir seluruh aktivitas mereka terhubung dengan layar, mulai dari belajar, bermain, hingga berinteraksi. Media sosial membuat banyak remaja lebih nyaman mengetik pesan daripada berbicara langsung. Studi Kementerian Kominfo tahun 2024 menunjukkan bahwa remaja Indonesia menghabiskan rata-rata enam jam per hari di depan layar. Interaksi virtual memang memudahkan, tapi juga menipiskan kepekaan terhadap perasaan nyata orang lain.Fenomena ini membuat kepekaan sosial siswa menurun. Mereka lebih sering berinteraksi melalui layar daripada tatap muka, sehingga sering kali merasa sulit memahami emosi orang lain. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat membangun hubungan sosial justru berubah menjadi arena yang menonjolkan pencapaian individual.Menumbuhkan Rasa di Tengah TekananMeski begitu, harapan belum sepenuhnya padam. Guru memegang peran besar untuk mengembalikan keseimbangan antara kecerdasan dan kepedulian. Langkah kecil bisa dimulai dengan membiasakan siswa untuk berbicara dari hati, bukan hanya dari buku. Kegiatan seperti diskusi reflektif, jurnaling perasaan, hingga proyek sosial dapat membantu anak-anak mengenali emosi mereka sendiri dan memahami orang lain.Sekolah juga bisa menciptakan budaya saling dukung, bukan sekadar saling saing. Lingkungan belajar yang sehat tidak hanya menilai siapa yang paling cepat atau paling pintar, tapi juga siapa yang mampu bekerja sama dan menghargai perbedaan. Misalnya, sebagian penilaian individu bisa diganti menjadi proyek kelompok agar siswa belajar mendengarkan, berbagi ide, dan menyelesaikan masalah bersama. Selain itu, sekolah dapat menghadirkan “hari tanpa nilai”, yaitu momen ketika siswa akan belajar tanpa tekanan angka. Mereka berdiskusi, berefleksi, atau mengerjakan kegiatan sosial di sekitar sekolah. Di hari-hari seperti itu, anak-anak diajak melihat bahwa belajar bukan hanya tentang hasil, tapi tentang proses memahami diri dan orang lain. Pendekatan ini membantu membangun karakter tanpa mengurangi semangat berprestasi.Orang tua pun punya tanggung jawab yang sama penting. Dorongan untuk berprestasi perlu diimbangi dengan waktu mendengar. Anak perlu tahu bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari nilai, tetapi juga dari kemampuan berempati dan berbuat baik.Ketika rumah dan sekolah bekerja seirama, empati tumbuh bukan karena diajarkan, tapi karena dicontohkan. Maka pendidikan sejati bukan hanya melahirkan anak yang cerdas secara akademik, melainkan generasi yang tahu cara memahami, menghargai, dan menyembuhkan sesamanya.