Siswa berpamitan kepada ayahnya setibanya di sekolah, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 4 Aceh Barat Desa Suak Timah, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Senin (14/7/2025). (ANTARA/Syifa Yulinnas/rwa)JAKARTA – Peran seorang ayah dalam mendidik anak sama pentingnya dengan peran ibu karena keduanya memiliki kontribusi untuk saling melengkapi dalam perkembangan anak. Namun sayangnya, di Indonesia seperlima anak tumbuh dalam kondisi fatherless.Isu fatherless sempat menjadi trending di media sosial. Ini dipicu oleh hasil penelitian yang menyebut Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia.Fatherless adalah sebuah fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun secara psikologs. Fatherless tidak dapat dianggap sebagai masalah yang sepele.Masalah fatherless disebabkan banyak hal, di antaranya karena ayah harus berjauhan dengan anak lantaran tuntutan pekerjaan sehingga peran pengasuhan anak menjadi terbatas.Menurut data UNICEF pada 2021 sebanyak 20,9 persen anak Indonesia fatherless. (Unsplash)Selain itu, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia menganggap bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab ibu. Gerakan ayah mengantar anak di hari pertama sekolah merupakan salah satu upaya mengikis isu fatherless di Indonesia.Jam Kerja PanjangMenurut analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun.Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional badan Pusat Statistik Maret 2024.Analisis ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Wihaji. Mengutip data UNICEF, Wihaji menyebut pada 2021 sebanyak 20,9 persen anak Indonesia fatherless.Artinya, seperlima anak di Indonesia kehilangan sosok ayah yang memengaruhi pembentukan karakter, daya tahan, daya tarung, dan hal-hal yang berkenaan dengan kepemimpinan.Isu fatherless yang terjadi di Indonesia, sebagian disebabkan karena faktor ekonomi. Meski, mungkin, kesadaran bahwa pengasuhan anak adalah kewajiban orang tua dan bukan hanya ibu, namun sulit dimungkiri bahwa desakan kebutuhan ekonomi kerap kali memaksa orang tua bekerja lebih keras hingga menyita waktu.Banyak ayah menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah untuk bekerja karena tuntutan hidup yang semakin besar. (Unsplash)Kembali ke data yang dirilis Kompas. Dari 15,9 juta anak yang tumbuh fatherless, 4,4 juta di antaranya tinggal di keluarga tanpa ayah.Tapi yang mengejutkan, angka lebih besar, yaitu 11,5 juta anak, sebenarnya tinggal bersama ayah yang memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per pekan atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada bertemu anak di rumah. Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebut jam kerja formal maksimal tujuh jam per hari atau 40 jam per minggu.Dwi Surya, psikolog di Pontianak, Kalimantan Barat, menegaskan, ayah yang waktu kerjanya berlebihan membuat anak tidak merasakan kehadiran ayah.”Ayah berangkat saat subuh dan pulang pada malam hari sehingga tak terkoneksi waktu anak yang saat itu sedang tidur,” ujarnya.Ayah MerantauBerdasarkan hasil survei kualitatif terhadap 16 psikolog klinis, perceraian menjadi penyebab pertama seorang anak mengalami fatherless. Sementara 11 psikolog menjawab ayah bekerja di luar kota, kekerasan dalam rumah tangga, serta tidak ada kedekatan ayah dan anak.Ayah yang bekerja di luar kota membuat anak kehilangan peran ayah. Hal ini terlihat adanya korelasi kuat antara data anak berpotensi fatherless dan data ayah yang tinggal di luar kota, yang diwakili jumlah tenaga kerja laki-laki yang tidak terserap di pasar kerja lokal.Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan, jumlah pencari kerja laki-laki di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 28.855 orang. Namun jumlah tenaga kerja laki-laki yang terserap 1.208 orang. Itu artinya, 27.647 pencari kerja laki-laki di NTB tidak terserap di provinsi tersebut. Angka ini merupakan yang tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jawa Barat (107.356 pencari kerja laki-laki tidak terserap) dan Jawa Tengah (57.557 jiwa). Pekerja laki-laki yang tidak bekerja di pasar kerja lokal bisa menjadi pekerja sirkuler, pekerja di luar tempat tinggal dan kembali ke daerah setiap minggu atau bulan, serta pekerja migran Indonesia (PMI).Nilai korelasi regresi antara data anak berpotensi fatherless di 38 provinsi dengan data pekerja sirkuler dan data PMI juga kuat, yaitu 0,96 poin dan 0,65 poin. Artinya, semakin banyak pekerja sirkuler dan PMI laki-laki, berkontribusi pada banyaknya anak yang tak merasakan kehadiran ayah.Mendukbangga Wihaji memberikan sambutan dalam penandatanganan kesepahaman antara Kemendukbangga/BKKBN dengan BNN dalam rangka mendukung Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN) di Jakarta, Kamis (28/11/2024). (ANTARA/HO-Kemendukbangga/BKKBN)Iindarda S Panggalo, psikolog di Toraja, Sulawesi Selatan, menilai tuntutan hidup yang semakin berat membuat ayah berusaha lebih keras mencari pekerjaan.“Ketika lapangan kerja (lokal) kurang, mau tidak mau ayah merantau atau mencari kerja di tempat lain. Itu bisa menyebabkan fatherless,” ujar Iindarda.Iindarda mengatakan, fatherless dapat menimbulkan masalah identitas diri, gangguan orientasi seksual, hingga kesulitan berinteraksi sosial. Namun, fatherless juga dapat menjadi titik balik seseorang menjadi pribadi yang lebih baik dari perlakuan ayahnya.“Semua tergandung pendampingan dan dukungan orang di sekitar,” kata Iindarda lagi.Prioritas Ayah terhadap KeluargaDi Indonesia, dengan budaya patriarki yang masih kental, masih banyak anggapan bahwa kewajiban ayah dianggap selesai saat memberikan uang. Menurut Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Wihaji, anak tidak hanya memerlukan layanan ekonomi.“Anak juga membutuhkan sosok ayah, pemimpin, seorang yang mempunyai karakter yang bisa memengaruhi karakter building anak,” ujar Wihaji.Untuk mengatasi fatherless, Wihaji meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) pada 21 April 2025. Ia berharap dapat membentuk komunitas yang menular dan menjadi percontohan yang baik lewat gerakan ini.“Kemarin kami bikin gerakan ayah mengantar anak. Di hari pertama sekolah diantara oleh ayah, yang kemudian diikuti sekolah bersama ayah,” Wihaji menjelaskan.Bahwa ayah harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang tak bisa dimungkiri. Namun, Wihaji juga mengingatkan pentingnya prioritas ayah terhadap keluarga. Ia menekankan, institusi paling dasar adalah keluarga, kemudian RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Karena itu, kondisi keluarga akan sangat berdampak pada kondisi negara.”Institusi yang paling dasar itu keluarga. Saya meyakini baik tidaknya negara tergantung juga dari baik tidaknya keluarga,” kata Wihaji.