Ketika Kebenaran Tidak Lagi Didengar

Wait 5 sec.

Ilustrasi memperjuangkan kebenaran melalui prosedur hukum yang berkeadilan. Foto: ShutterstockKebenaran tidak hilang karena lenyap, tetapi karena terlalu banyak orang yang memilih tidak mendengarnya. Dan di titik ketika manusia tahu tapi tetap menolak, itulah saat kalbu telah menutup jalan pulang.Tidak semua kebijakan publik berjalan sebagaimana mestinya. Sebagian keputusan mungkin tampak sah secara prosedur, tetapi dalam praktiknya belum sepenuhnya menghadirkan kemaslahatan bagi rakyat. Ada langkah yang perlu disempurnakan, ada program yang perlu diarahkan kembali agar selaras dengan cita-cita keadilan dan kemanusiaan.Masalahnya menjadi jauh lebih serius ketika kritik terhadap penyimpangan tidak disambut dengan introspeksi, melainkan ditolak mentah-mentah. Tidak jarang penolakan itu dibungkus dengan narasi pembenaran: seolah-olah penyimpangan adalah “keniscayaan zaman”, sementara nilai-nilai kebenaran yang telah teruji justru dianggap usang dan tidak relevan.Di sinilah Al-Qur’an memberi peringatan keras: ṣummun, bukmun, ‘umyun fa hum lā yarji‘ūn—“mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak akan kembali” (QS. Al-Baqarah [2]:18). Ayat ini tidak sedang berbicara tentang kekurangan fisik, melainkan kondisi batin yang menolak tunduk. Mereka mendengar kritik, tetapi memilih tidak mendengarkan. Mereka melihat fakta, tetapi enggan menarik pelajaran. Mereka mampu berbicara, tetapi menahan lisan dari menyuarakan kebenaran.Inilah fase yang lebih berbahaya daripada kebodohan: fase ketika seseorang tahu yang benar tetapi tetap menolak. Dalam bahasa keseharian, ini disebut ndableg—kondisi keras kepala spiritual di mana kesadaran berhenti bekerja. Mereka sadar telah keluar dari jalur, namun tetap melangkah ke arah yang sama, bukan karena kurang bukti, tetapi karena ego lebih kuat dari nurani.Al-Qur’an menggambarkan kondisi seperti ini sebagai akibat dari akumulasi dosa yang menutupi kalbu. Allah SWT berfirman: “Bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah kalbu yang di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj [22]:46). Dalam ayat lain ditegaskan, “Kami jadikan penutup atas qalbu mereka agar mereka tidak memahaminya.” (QS. Al-An‘ām [6]:25). Penutupan itu bukan hukuman yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari penolakan yang diulang-ulang hingga akhirnya kemampuan menerima kebenaran terhenti dari dalam diri.Ilustrasi masyarakat yang menyampaikan kritik melalui aksi demo. Foto: Jamal Ramadhan/kumparanFenomena tahu tapi tetap menolak ini sangat nyata dalam kehidupan sosial kita hari ini. Ketika kritik dianggap sebagai ancaman, ketika nilai-nilai konstitusi yang benar disebut tidak relevan, ketika pelanggaran justru diberi legitimasi melalui alasan teknis, maka sejatinya kita sedang menyaksikan kondisi yang digambarkan Al-Qur’an: kalbu yang menolak kembali kepada kebenaran karena telah terjebak dalam pembenaran diri.Ayat ini mengingatkan bahwa masalah terbesar manusia bukanlah tidak tahu kebenaran, melainkan tahu tetapi menolak tunduk. Bukan tidak mengenali jalan pulang, tetapi tidak mau melangkah ke sana. Dan selama ego serta kepentingan duniawi lebih dominan daripada iman, maka setiap nasihat akan terdengar seperti ancaman, setiap peringatan akan dianggap gangguan.Saatnya Kalbu Dibuka, Bukan DikeraskanSaatnya mencoba belajar membuka kalbu. Foto: Nugroho Sejati/kumparanSetiap zaman memiliki tantangan sendiri, tetapi hakikat kebenaran tidak pernah berubah. Yang lurus tetap lurus, yang salah tetap salah — meskipun dibungkus dengan kata-kata indah atau dijustifikasi oleh kekuasaan. Karena itu, umat tidak boleh terbawa arus narasi yang membelokkan realitas, apalagi ikut-ikutan membenarkan yang batil hanya karena ia sedang menjadi arus mayoritas.Yang paling berbahaya bukanlah orang yang tidak tahu kebenaran, tetapi mereka yang tahu lalu berpaling. Inilah penyakit batin yang merusak dari dalam: membenarkan diri sendiri, menolak koreksi, dan menutup diri dari nasihat. Sikap inilah yang oleh Al-Qur’an digambarkan sebagai tuli, bisu, dan buta—bukan karena tidak memiliki telinga, lidah, atau mata, tetapi karena kalbu telah dikunci oleh ego dan kesombongan.Kini saatnya umat kembali melatih kepekaan kalbu. Mulailah dengan keberanian untuk mendengar kritik, kesediaan untuk mengoreksi diri, dan keteguhan untuk berkata benar meski sendirian. Jadikan ayat-ayat Allah SWT sebagai cermin untuk melihat ke dalam diri sendiri, bukan sekadar senjata untuk menunjuk kesalahan orang lain.Dan yang terpenting, jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang “tahu tapi ndableg”—karena kondisi seperti itu, lebih dari sekadar kesalahan, adalah tanda bahwa jalan pulang sudah kita tolak dengan kehendak sendiri.Kebenaran tidak membutuhkan kita untuk menjadi megah, tetapi kita membutuhkan kebenaran untuk tetap selamat. Maka siapa pun yang masih ingin selamat, bukalah kalbu selebar-lebarnya untuk menerima yang hak, sekalipun itu pahit dan tidak sesuai keinginan. Sebab, tidak ada yang lebih merugikan daripada hidup dalam kebisuan dan kebutaan yang kita ciptakan sendiri.Wallahualam bishawab.Jakarta, 10 Oktober 2025