Pesta Adat di Desa Maliti Bondo Ate, Sumba Barat Daya (Dokumentasi Pribadi)Tradisi adat merupakan sebuah identitas budaya yang diwariskan turun menurun sebagai cara masyarakat untuk menjaga nilai-nilai leluhurnya. Namun, tidak semua tradisi mampu bertahan dan tidak menimbulkan dilema baru dalam kehidupan salah satunya adalah tradisi Belis yang ada pada masyarakat NTT khususnya di Sumba.Belis merupakan mas kawin yang diberikan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan dalam pernikahan adat. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara tunai dan boleh juga dalam sistem utang.Pada awalnya, Belis dimaknai sebagai penghormatan kepada perempuan dan keluarganya. Belis juga diyakini sebagai pengikat persaudaraan, perekat hubungan sosial, sekaligus tanda tanggung jawab seorang laki-laki sebelum membangun rumah tangga.Namun, tak jarang Belis yang seharusnya simbol kehormatan, kini sering dipersepsikan sebagai label harga bagi perempuan. Jumlah kerbau, kuda, emas, atau uang yang ditentukan seolah menjadi tolok ukur martabat perempuan dan keluarganya.Muncul pertanyaan:Apakah Nilai Seorang Perempuan Memang Bisa Ditakar dari Jumlah Harta yang Dipertukarkan?Tradisi belis ini turut ramai diperbincangkan di media sosial, generasi muda menunjukkan adanya pergeseran makna belis. Karena mereka menilai adat ini lebih cenderung menjadi ajang "gengsi" dibanding penghormatan kepada perempuan.“Sekarang belis bukan lagi penghargaan. Itu ajang tanding, siapa yang belisnya paling mahal. Jadi kayak lomba status sosial,” komentar salah satu warganet di akun X.Fenomena ini menggambarkan bagaimana belis menjadi sebuah ajang kompetisi antar keluarga. Semakin tinggi nominal belis, dianggap semakin tinggi pula status sosial yang ditampilkan. Alih-alih menjaga martabat perempuan, belis justru seakan ajang gengsi.“Kalau belis kecil, perempuan dianggap tidak berharga. Kalau besar, baru dipuji-puji,” tulis seorang warganet.Dalam praktiknya, perempuan kerap direduksi menjadi “aset” sosial, bukan pribadi yang bebas menentukan jalan hidupnya. Apalagi jika anak perempuan sudah memiliki pekerjaan yang bagus, pendidikan tinggi maka akan dihargai dengan belis yang sangat tinggi. Sehingga tak jarang malah mempersulit prosesnya menuju pernikahan.“Harga diri perempuan jadi angka. Jadi seperti barang lelang. Siapa yang mampu bayar paling banyak, dia yang dianggap lebih pantas,” ungkap seorang netizen.Belis yang sangat mahal nilainya juga kerap menjadikan awal pernikahan bertemu dengan jeratan utang. Pasangan baru yang tidak mampu membayar belis secara tunai akhirnya dibebani "cicilan" adat yang harus dilunasi bertahun-tahun. Bahkan, jika belum dilunasi oleh pasangan tersebut, utang adat ini akan turun-temurun ke keturunannya.“Habis nikah malah bukan bahagia, tapi pusing mikir utang belis. Hasil belis pun dinikmati keluarga besar, sementara anak berdua berjuang sendiri,” ungkap salah satu warganet di akun X.Cerita ini mencerminkan realitas banyak pasangan muda di Sumba yakni mereka tidak hanya berjuang membangun keluarga, tetapi juga harus menanggung beban ekonomi akibat tuntutan adat. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menciptakan lingkaran kemiskinan baru. Alih-alih harusnya tabungan dan pendapatan bisa digunakan untuk kehidupan yang lebih layak dari segi kesejahteraan, kesehatan, pendidikan anak malah dana yang dimiliki dialokasikan untuk utang kebutuhan adat.“Saya lihat sendiri, keluarga jadi susah bayar sekolah anaknya karena harus cicil belis bertahun-tahun. Kasihan, adat jadi lebih berat dari kehidupan itu sendiri,” tulis seorang warganet lainNamun, realitanya sudah ada sebagian keluarga kini mulai melakukan kompromi menurunkan nilai belis atau memberi keringanan kepada pasangan muda. “Yang penting anak bahagia. Adat bisa jalan, tapi jangan sampai bikin sengsara karena sekarang harga hewan juga semakin tinggi, akan sulit kedepannya jika banyak hutang,” ungkap seorang ibu asal Sumba.Upaya ini sebenarnya menunjukkan adanya ruang untuk menyeimbangkan tradisi dengan kehidupan modern. Namun, biasanya pemikiran untuk menurunkan harga belis terjadi pada keluarga yang sudah tinggal di kota atau merantau di tempat lain. Bagi masyarakat yang masih tinggal di kampung dan masih sangat kental dengan adatnya, hal tersebut sangat sulit karena dianggap menyimpang dari adat.Pertanyaannya kini, apakah belis masih relevan jika dipraktikkan dengan cara yang mengekang kebebasan dan menekan generasi muda? Tradisi seharusnya melindungi martabat, bukan mereduksi perempuan menjadi angka yang bisa dinegosiasikan.Belis hanya akan tetap bermakna jika ia dikembalikan pada akar penghormatan, bukan harga. Dan penghormatan tertinggi bagi perempuan bukanlah jumlah kerbau atau kuda yang dipersembahkan, melainkan pengakuan atas hak mereka untuk hidup setara, bahagia, dan bebas dari beban sosial yang tidak adil.