Ilustrasi (sumber: vecteezy.com)Bayangkan sebuah rudal balistik antar-benua (ICBM) yang meluncur melintasi orbit rendah bumi, memanfaatkan ruang angkasa sebagai jalur lintasannya. Bagi banyak orang, luar angkasa identik dengan penjelajahan, sains, dan mimpi besar umat manusia menuju bintang-bintang. Namun, di balik narasi futuristik itu, ada sisi lain yang lebih gelap yaitu militerisasi ruang angkasa. Sejak Outer Space Treaty 1967 (OST) diratifikasi, dunia memiliki fondasi hukum yang melarang penempatan senjata nuklir di orbit. Akan tetapi, perjanjian itu ternyata meninggalkan ruang abu-abu, terdapat pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana jika rudal balistik antar benua yang memanfaatkan ruang angkasa sebagai jalur operasi?Inilah salah satu celah besar, OST hanya melarang senjata pemusnah massal, tetapi tidak menyebutkan larangan eksplisit bagi penggunaan luar angkasa untuk lintasan rudal dalam operasi militer. Akibatnya, muncul interpretasi beragam tentang mandat Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS). Ada yang menilai COPUOS hanya mengurus aspek damai, sementara isu militer dibahas di forum perlucutan senjata. Ada pula yang menganggap COPUOS tetap bisa membicarakan batasan militer untuk menjaga ruang angkasa untuk tujuan damai. Perbedaan tafsir ini berujung pada kebuntuan normatif, yakni hukum ada tetapi sulit ditegakkan.Kebuntuan tersebut melahirkan konsekuensi serius, negara-negara besar yang memiliki teknologi rudal balistik antar benua dan kemampuan luar angkasa bisa memanfaatkan kekosongan hukum untuk kepentingan strategis. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal ini berarti potensi kerentanan kedaulatan. Rudal negara lain bisa melintasi jalur ruang angkasa di atas wilayah yurisdiksi Indonesia tanpa mekanisme hukum internasional yang jelas untuk menegurnya.Memang, dalam beberapa dekade terakhir, muncul instrumen seperti McGill Manual on International Law Applicable to Military Uses of Outer Space dan Woomera Manual. Keduanya berupaya menjelaskan bagaimana hukum internasional, termasuk hukum humaniter, diterapkan dalam konteks militerisasi luar angkasa. Namun, sifatnya tidak mengikat secara hukum. Artinya, manual ini lebih berperan sebagai pedoman etik daripada instrumen penegakan. Tidak ada sanksi yang bisa dikenakan ketika aturan-aturan ini dilanggar.Situasi menjadi lebih rumit ketika kita berbicara tentang hukum humaniter internasional. Prinsip-prinsip seperti pembedaan dan proporsionalitas yang biasanya berlaku dalam konflik bersenjata di darat, sulit diterapkan di luar angkasa. Bagaimana membedakan objek sipil dan militer jika keduanya sama-sama berupa satelit? Bagaimana menilai proporsionalitas jika satu serangan terhadap satelit bisa menimbulkan puing antariksa yang membahayakan banyak negara, bahkan berpotensi menghancurkan sistem komunikasi sipil? Singkatnya, hukum humaniter menghadapi tantangan teknis yang sangat besar ketika dipaksa masuk ke ranah kosmik.Indonesia sendiri punya posisi unik, melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, Indonesia memiliki dasar hukum untuk aktivitas ruang angkasa. Namun, regulasi itu lebih menekankan pada aspek kemandirian, penguasaan teknologi, dan sains ketimbang aspek keamanan. Akibatnya, Indonesia relatif tertinggal dalam kesiapan menghadapi ancaman militer berbasis ruang angkasa. Investasi pertahanan masih minim, apalagi untuk teknologi satelit atau sistem pertahanan anti-rudal. Selama ini, strategi pertahanan lebih bertumpu pada darat, laut, dan udara. Padahal, jika tren global terus menuju militerisasi antariksa, Indonesia berisiko menjadi penonton yang rentan, tanpa instrumen hukum maupun teknologi untuk melindungi wilayahnya.Beberapa kalangan hukum internasional menawarkan gagasan “jus in bello spatiale” atau hukum perang luar angkasa. Ide ini mencakup pembentukan tribunal internasional khusus untuk ruang angkasa, lembaga pengawasan global, hingga protokol tambahan pada OST yang secara eksplisit mengatur penggunaan kekuatan di antariksa. Namun, usulan-usulan ini masih sebatas diskursus akademik. Kekuatan politik negara-negara adidaya membuat lahirnya instrumen hukum baru yang mengikat tampak sulit, apalagi jika menyangkut kepentingan strategis seperti rudal balistik.Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Beberapa rekomendasi muncul dari analisis para pakar hukum dan kebijakan. Pertama, Indonesia perlu memperkuat kerangka hukum nasional dengan memasukkan dimensi keamanan antariksa. Tidak cukup hanya membicarakan kemandirian teknologi, tetapi juga integrasi pertahanan luar angkasa ke dalam doktrin militer. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara bisa dioperasionalkan dalam kebijakan pertahanan ruang angkasa. Pendekatan ini mengedepankan pertahanan yang humanis, partisipatif, dan demokratis, sekaligus relevan dengan identitas bangsa.Langkah lain adalah memperkuat kerja sama regional. Inisiatif seperti National Space Law Initiative yang melibatkan berbagai negara Asia-Pasifik bisa menjadi wadah pembelajaran bersama, harmonisasi regulasi, sekaligus wadah diplomasi hukum. Dengan keterlibatan aktif, Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga ikut membentuk norma dan praktik hukum internasional di kawasan.Keseluruhan analisis ini menyiratkan pesan penting: masa depan pertahanan tidak lagi cukup berbasis darat, laut, dan udara. Ruang angkasa kini menjadi domain keempat yang tak terhindarkan. Negara-negara yang mengabaikannya berisiko kehilangan kedaulatan secara diam-diam, ketika jalur rudal atau operasi militer melintas di atas kepalanya tanpa mekanisme hukum untuk menggugat.Bagi Indonesia, mengintegrasikan ruang angkasa dalam kerangka hukum dan pertahanan bukan semata-mata soal teknologi canggih atau perlombaan senjata. Lebih dari itu, ini adalah persoalan kedaulatan. Dalam dunia yang kian multipolar dan sarat rivalitas, hanya negara dengan kesiapan hukum, teknologi, dan strategi komprehensif yang bisa menjaga ruang angkasanya tetap damai sekaligus melindungi kepentingan nasionalnya.Mungkin terdengar jauh, bahkan futuristik, namun sejarah selalu bergerak lebih cepat daripada perkiraan. Jika dunia sudah melangkah ke era militerisasi antariksa, pertanyaan yang harus dijawab Indonesia sederhana, apakah kita akan siap menjaga langit di atas kepala, atau hanya menatap tanpa daya saat kedaulatan kita diuji dari luar angkasa?