Pendidikan Seperti Apa yang Membuat Manusia Tumbuh Utuh?

Wait 5 sec.

pexels.comKita masih sering melirik atau berkomentar tentang isu pendidikan tapi jarang untuk benar benar bertanya "pendidikan seperti apa, yang dapat membuat manusia tumbuh seutuhnya?". Pertanyaan ini penting, karena pendidikan bukan sekadar urusan sekolah, nilai, atau gelar, ia adalah proses membentuk manusia. Pendidikan di Indonesia sepertinya masih identik dengan ujian, nilai dan ranking. Banyak paradigma yang menilai keberhasilan dari pendidikan adalah hasil yang dihighlight oleh angka dan bukan dari setiap inci prosesnya. Mereka dilatih untuk menghafal, bukan untuk bertanya; diarahkan untuk mengikuti aturan, bukan untuk menemukan makna. Esensi pendidikan sejatinya adalah proses pertumbuhan. Pertumbuhan akal, rasa, dan karakter.Seperti yang kita ketahui di kebanyakan sekolah dasar, menengah, sampai atas, sebagian besar murid hanya dinilai dari angka bukan dari cara mereka berpikir, berkolaborasi, dan membentuk karakter. Ruang untuk berimajinasi dan mengembangkan empati sepertinya masih tersisih oleh target kurikulum yang kaku. Kita lupa bahwa setiap anak memiliki ritme belajar yang berbeda, memiliki cara memahami dunia yang unik, dan memiliki potensi yang tak selalu bisa diterjemahkan oleh angka.Masalah pendidikan di Indonesia bukan semata mata tentang fasilitas yang timpang, tapi juga visi yang mentok. Dalam 20 tahun terakhir kurikulum diubah setidaknya 4 kali dari KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Namun, akar persoalan tetap sama:1. Akses yang tidak merata, Kesenjangan pendidikan antara kota dan desa. 2. profesi guru yang belum sepenuhnya dihargai.3. sistem belajar yang masih membentuk murid untuk patuh, bukan untuk berpikir.Sistem Pendidikan yang Menumbuhkan Akal, Rasa, dan KarakterPerlu kita ketahui bahwa ada sistem pendidikan yang bisa dibangun secara serius dan tidak diskriminatif. Bahwa disiplin tidak diciptakan dari hukuman tetapi bisa dibangun lewat budaya. Bahwa belajar tidak hanya untuk mendapatkan pekerjaan, tapi untuk menjadi manusia utuh yang mampu berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya.Menumbuhkan Akal, akal tumbuh ketika murid diajak berpikir, bukan sekadar menerima. Memberi ruang bagi pertanyaan, diskusi, dan penemuan. Guru berperan bukan hanya sebagai pendamping yang membuka jalan bagi proses berpikir.Kegiatan belajar juga tidak harus selalu berada di dalam kelas. Ketika murid meneliti lingkungan sekitarnya, mengamati fenomena sosial, atau berdialog tentang hal-hal sederhana di sekitar mereka, sesungguhnya mereka sedang melatih nalar kritis dan kemampuan memahami dunia.Mengasah Rasa, Rasa tumbuh melalui pengalaman yang bermakna. Disiplin, misalnya, tidak harus dibangun dari hukuman, melainkan bisa lahir dari budaya saling menghargai. Namun, dalam beberapa situasi, bentuk sanksi yang dirancang dengan kreatif dapat berfungsi sebagai bagian dari proses belajar, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran.Bayangkan jika sebuah kesalahan kecil di sekolah tidak langsung dihukum, tetapi dijadikan kesempatan untuk berkontribusi. Misalnya, murid yang terlambat bisa diminta membantu menata ruang kelas atau menyiapkan bahan kegiatan. Cara-cara seperti ini mengubah hukuman menjadi pembelajaran sosial yang membangun empati dan tanggung jawab.Rasa juga tumbuh dari pengalaman bekerja sama, berbagi, dan memahami perbedaan. Ketika anak-anak merasa aman dan diterima, mereka belajar untuk memahami orang lain dan di situlah empati mulai tumbuh.Membentuk Karakter, Karakter terbentuk dari kebiasaan kecil yang terus diulang: kejujuran, tanggung jawab, kesabaran, dan refleksi diri. Sekolah dapat menjadi tempat yang menumbuhkan karakter melalui pengalaman nyata, memberi kepercayaan kepada murid untuk mengambil peran, membuat keputusan, dan belajar dari konsekuensinya.Dalam proses seperti itu, anak-anak belajar bahwa menjadi manusia bukan tentang sempurna, tetapi tentang berani memperbaiki diri.Pendidikan yang menumbuhkan manusia seutuhnya adalah pendidikan yang sadar bahwa setiap anak adalah subjek, bukan objek. Bahwa belajar bukan sekadar tentang apa yang diajarkan guru, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menemukan makna hidupnya di dunia yang terus berubah.