Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menjawab pertanyaan wartawan saat dijumpai di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/4/2025). Foto: Abid Raihan/kumparanKomisi II DPR akan membahas revisi Undang-Undang (UU) Pemilu pada awal 2026. Komisi II merupakan alat kelengkapan dewan (AKD) yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri, termasuk penyelenggaraan Pemilu.Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse, mengatakan pembahasan diharapkan dimulai lebih awal agar proses penyusunan dapat dilakukan secara matang. Dengan waktu yang cukup panjang, ia menilai revisi undang-undang bisa dibahas lebih mendalam dan komprehensif.“Mudah-mudahan mulai 2026 itu sudah bisa dikerjakan karena semakin kita punya banyak waktu untuk menyusun sekaligus membahas perubahan Undang-undang Pemilu akan semakin bagus untuk semua. Kita akan bisa lebih fokus, kita akan bisa lebih memperbincangkan secara lebih mendalam soal perubahan Undang-undang Pemilu,” kata Zulfikar kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (7/10).Rapat kerja Komisi II DPR RI bersama KPU RI dan Bawaslu RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025). Foto: Abid Raihan/kumparanRUU Pemilu ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang disetujui dalam rapat paripurna DPR.Menurut politikus Golkar itu, Komisi II akan menyiapkan naskah akademik serta draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sebagai langkah awal. Sebelumnya, sempat muncul perdebatan di internal DPR mengenai lembaga mana yang akan membahas RUU tersebut -- antara Komisi II atau Badan Legislasi (Baleg). Namun kini, Komisi II dipastikan menjadi pihak yang akan menangani pembahasannya.Politisi Partai Golkar itu menjelaskan, pembahasan RUU Pemilu ke depan diharapkan dilakukan dengan pendekatan metode kodifikasi. Artinya, revisi tidak hanya akan menyentuh UU Pemilu, tetapi juga berpotensi menyatukan aturan terkait UU Pilkada dan UU Partai Politik ke dalam satu payung hukum.“Syukur kalau semangat kita melakukan perubahan Undang-undang Pemilu itu dengan memasukkan juga Undang-undang Pilkada ke dalamnya dan Undang-undang Partai dalam metode kodifikasi,” tuturnya.Zulfikar menjelaskan, pendekatan kodifikasi ini sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah kini berada dalam satu rezim hukum.“Mengapa kita perlu ke sana? Karena MK sendiri mengatakan Pemilu itu tinggal satu rezim, tidak ada lagi rezim Pilkada, yang ada ya rezim Pemilu,” lanjutnya.