Pekerja mengenakan alat pelindung diri (APD) melihat proses kremasi jenazah yang meninggal karena virus corona di sebuah krematorium, Mumbai, India, Kamis (15/4). Foto: Francis Mascarenhas REUTERSSegala yang hidup pada akhirnya akan mati, bahkan ubur-ubur abadi sekalipun. Kematian bukan sekadar bagian alami dari hidup, tapi juga unsur penting yang memungkinkan kehidupan lain terus berlanjut.Di laut dalam, bangkai paus menjadi sumber makanan bagi ribuan spesies. Di daratan, pohon-pohon muda tumbuh dari sisa-sisa pohon yang telah tumbang. Bahkan ada hewan yang hanya bisa menyelesaikan siklus hidupnya dengan meletakkan telur di tubuh yang membusuk. Proses dekomposisi jasad membawa nutrisi penting kembali ke tanah, menjaga siklus kehidupan tetap berjalan.Tanpa ekosistem pengurai, mulai dari mikroorganisme hingga burung pemakan bangkai, Bumi akan dipenuhi mayat, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, sekaligus membuat suasana lebih suram. Namun, justru manusia sering memilih cara pemakaman yang memperlambat atau bahkan menghambat siklus alami ini.Ilustrasi kuburan. Foto: Shutter StockTradisi Pemakaman ManusiaManusia telah menguburkan jenazah sejak ribuan tahun lalu. Namun, seiring waktu, tradisi ini semakin rumit. Kita memperkenalkan peti mati dan cairan pembalseman agar tubuh tetap terjaga dan bisa dipamerkan dalam upacara terakhir.Ada juga kremasi dari ritual pembakaran di alam terbuka hingga proses industri tertutup di krematorium. Hasilnya pun berbeda, abu dalam guci, bahkan bisa diubah menjadi berlian, atau jasad yang baru benar-benar terurai setelah bertahun-tahun sambil melepas bahan kimia ke lingkungan.Pertanyaannya, apa dampak semua itu bagi alam? Bahkan peti mati sekalipun dapat menghalangi jasad untuk memperkaya tanah. Apalagi jika tubuhnya telah dibalsem.Menurut seri video Reactions dari American Chemical Society dan PBS Digital Studios, cairan pembalseman biasanya mengandung formaldehida, zat yang mengunci molekul di dalam sel, seperti DNA dan protein, sehingga mikroba tidak bisa menguraikannya.“Tujuan utama cairan pembalseman memang agar mikroba tak bisa memakan tubuh kita,” jelas mereka sebagaimana dikutip IFL Science.Akibatnya, nutrisi dari jasad tak bisa kembali ke Bumi. Siklus kehidupan pun terputus atau setidaknya, tertunda dalam waktu yang sangat lama. Sementara itu, kremasi juga bukan solusi ramah lingkungan.“Proses kremasi tradisional menghasilkan tiga hal utama, uap air, abu yang tak bisa menyuburkan apa pun, dan karbon dioksida (CO₂) dalam jumlah besar,” kata Reactions. “Proses ini juga sangat boros energi dan justru menambah emisi CO₂ di atmosfer.”Mumi hamir 'Mysterious Lady'. Foto: Aleksander Leydo/Warsaw Mummy ProjectAlternatif Ramah Lingkungan untuk PemakamanDampak ekologis dari cara manusia memperlakukan kematian kini mendorong munculnya inovasi baru, seperti aquamation, metode yang menggunakan cairan untuk melarutkan tubuh secara alami, serta human composting, yang memanfaatkan mikroba untuk mengubah jasad menjadi kompos.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setiap tubuh manusia memiliki ekosistem dekomposisi unik, meski berada di kondisi geografis berbeda. Para ilmuwan menemukan kelompok bakteri dan jamur pengurai yang langka, namun selalu hadir di setiap jasad manusia yang membusuk.Dengan kata lain, bahkan setelah kematian, tubuh kita masih punya peran penting dalam menjaga kehidupan di Bumi. Dan tampaknya, mengubur jenazah di dalam tanah tanpa melibatkan zat kimia apa pun masih menjadi cara tradisional paling baik dalam menangani mayat manusia ketimbang dikremasi atau diawetkan. Bagaimanapun, kematian bagian penting dari siklus alam.