CC BYRuang publik Indonesia diwarnai oleh fenomena unjuk rasa di berbagai wilayah dalam sepekan terakhir. Aksi berpusat di Jakarta, khususnya di sekitar kompleks Gedung DPR/MPR RI, dengan gelombang protes yang tak kalah ramai di sejumlah kota besar lainnya.Aksi yang dimulai sejak Senin, 25 Agustus 2025 ini diikuti oleh ribuan demonstran dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan mahasiswa, buruh, asosiasi pengemudi ojek online, hingga masyarakat sipil. Protes memanas pada Kamis, 28 Agustus 2025, setelah mobil Polisi melindas Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, hingga tewas. Insiden tersebut memicu perubahan pola aksi dari unjuk rasa damai menjadi kerusuhan.Meski mengalami eskalasi, gelombang demonstrasi tidak serta merta mereda. Pada Senin, 1 September 2025 aksi masih terus berlangsung dengan intensitas yang lebih terkendali dan nuansa yang kembali kondusif. Keberlanjutan unjuk rasa ini menunjukkan persistensi tekanan dari masyarakat dan mahasiswa terhadap pemerintah dan lembaga legislatif untuk lebih responsif dalam menindaklanjuti berbagai aspirasi yang disuarakan.Lantas, bagaimana pandangan ahli terkait fenomena yang terjadi beberapa hari terakhir?Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Amalinda Savirani, guru besar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.Amalinda menjelaskan bahwa kemarahan publik dipicu oleh banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak peka terhadap masalah masyarakat saat ini serta buruknya komunikasi politisi dalam merespon protes atau kritik. Menurut dia, demonstrasi belakangan ini bukan dipicu sekadar peristiwa sesaat, melainkan bagian dari gerakan sosial yang lahir dari kekecewaan mendalam terhadap institusi pemerintahan.Menurut Amalinda, gerakan aksi demonstrasi saat ini juga “diperkaya” oleh maraknya konten media sosial yang memberikan banyak informasi kepada publik. Dia mengatakan, media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok memang mempercepat penyebaran informasi serta memudahkan mobilisasi massa. Namun, banjir informasi ini justru rentan mendistorsi tuntutan warga dan mengganggu koordinasi aksi.Amalinda mengingatkan aktivisme daring perlu dilengkapi dengan aksi nyata di lapangan. Menurutnya, segala bentuk aspirasi di media sosial juga perlu disampaikan secara langsung. Harapannya, pesan yang ingin diutarakan kepada pemerintah dapat lebih bergaung.Di sisi lain, ia juga menyampaikan kekagumannya terhadap ketahanan generasi muda dalam menghadapi tekanan politik dan sosial. Amalinda mengatakan bahwa dukungan sipil yang konsisten menjadi fondasi penting agar gerakan masyarakat sipil tetap bertahan dan relevan di masa depan.Amalinda menilai bahwa protes kemungkinan besar akan terus berlanjut dalam berbagai bentuk. Sebab, respons pemerintah sejauh ini dianggap tidak menjawab kritik yang disampaikan oleh masyarakat. Ia menekankan pentingnya menjaga stamina, kreativitas, dan arah perjuangan yang jelas bagi seluruh lapisan masyarakat yang ikut menyuarakan pendapatnya di tengah tantangan yang tidak ringan.Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.