Rakyat Dihina Wakilnya, Saatnya Mereformasi DPR

Wait 5 sec.

Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Seruan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sempat bergaung kencang saat aksi unjuk rasa beberapa hari terakhir. Penyebabnya tak lain besarnya berbagai tunjangan yang diterima, pernyataan-pernyataan yang seakan tak punya empati pada rakyat serta gaya hidup mewah (hedon dan flexing/pamer kekayaan).Memuncaknya amarah publik kepada anggota-anggota DPR RI yang berujung pada tuntutan pembubaran lembaga legislatif itu disebabkan oleh menurunnya kualitas para wakil rakyat. Peneliti politik BRIN, Aisah Putri Budiatri menilai bahwa demonstrasi yang masih berlangsung menunjukkan bila kualitas anggota parlemen saat ini menurun dan tidak menunjukkan karakter sebagai negarawan dan representasi rakyat yang bertanggung jawab.“Dari aksi publik kemarin kita semakin melihat bagaimana kualitas anggota parlemen kita yang nampak tidak memperlihatkan karakter sebagai negarawan dan representasi rakyat yang bertanggung jawab,” ungkapnya, Minggu 25 Agustus 2025.Ilustrasi: Foto: Dok. ANTARA Meski ada beberapa pimpinan DPR RI yang telah mengeluarkan pernyataan publik, termasuk permintaan maaf dan janji untuk berbenah diri, langkah tersebut dianggap masih belum cukup. Sebab, hal tersebut terkesan normatif tanpa disertai langkah nyata yang sedang dan akan dilakukan oleh DPR, terutama terkait dengan tuntutan publik.Aisah juga menyoroti perilaku sebagian anggota DPR yang disebut bertolak belakang dengan harapan masyarakat. Alih-alih menunjukkan empati dan responsif, justru ada sikap yang merendahkan publik. Bahkan, tidak terlihat ada upaya cepat tanggap dari anggota DPR untuk membahas tuntutan masyarakat.“Di tengah aksi massa, tidak juga kita lihat ada anggota dewan yang membahas secara langsung secara cepat tanggap untuk membahas tuntutan rakyat, sebaliknya mereka justru menghindar. Bahkan, tersebar kabar jika anggota DPR akan melakukan kunjungan keluar negeri dengan sebagian agenda dilakukan mengandung unsur ‘jalan-jalan’ tanpa agenda penting. Miris sekali,” imbuhnya.Aisah menegaskan, kekecewaan publik semakin diperparah dengan sikap DPR yang tidak mengambil tindakan serius terhadap perilaku tak pantas sejumlah anggotanya. Dia mencontohkan, tidak adanya sidang etik dari MKD atas perilaku anggota DPR yang ‘joget-joget’ atau ketika anggotanya menyebut rakyat tolol.Rentetan peristiwa tersebut membuat DPR seperti semakin memperlihatkan wajah asli yang jauh dari ekspektasi rakyat. Dia mengingatkan, jika tidak ada langkah nyata yang diambil DPR, kekecewaan publik bisa berujung pada gelombang aksi yang lebih masif.“Dalam beberapa waktu belakangan ini nampak jelas bagaimana DPR memperlihatkan wajah aslinya yang jauh dari harapan publik. Jika tidak ada perubahan dan langkah nyata dari institusi DPR dan anggota-anggotanya, maka saya kira kekecewaan akan semakin membuncah dan aksi akan semakin masif,” tutup Aisah.Pakar Psikologi Politik UI, Hamdi Muluk menuturkan, DPR saat ini merupakan cermin dari praktik politik yang amat dasar, yaitu siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Keadaan ini merupakan buah dari rendahnya kualitas dan kompetensi orang yang ada di dalamnya serta tidak adanya desain besar di pemerintahan.Menurutnya, politik hanya menjadi komoditas, bukan panggilan hidup. Karena itu, menjadi anggota DPR lebih menjadi pekerjaan untuk memperoleh manfaat ekonomi sebesar-besarnya, bukan untuk memperjuangkan nilai tertentu. Akhirnya, banyak anggota DPR yang mengalami alienasi dengan rakyat yang mereka wakili. “Mereka tak lagi nyambung dengan rakyat. Perilaku politik anggota DPR menjadi hal yang asing bagi rakyat,” imbuhnya.Dia menilai, masih banyak anggota DPR yang kualitasnya medioker sehingga mereka seperti tuli dan buta terhadap kritik rakyat. Mental medioker itu juga yang akhirnya memperlihatkan perubahan sikap anggota DPR menjadi hedonis.DPR Sulit Dibubarkan Tapi Bisa DireformasiDemonstrasi di depan gedung DPR/FOTO: Nailin In Saroh-VOI   Lantas, apakah tuntutan pembubaran DPR RI bisa dilakukan? Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Faiz Rahman mengatakan, pembubaran DPR secara konstitusional hampir tidak mungkin. Sebagai lembaga negara yang tertuang status dan kewenangannya pada UUD 1945, mekanisme pembubaran DPR yang dapat dilakukan adalah melalui perubahan atau amandemen konstitusi dengan menyebutkan secara eksplisit ketentuan tersebut.“Secara konstitusional, sebenarnya mustahil membubarkan DPR. Satu-satunya jalan adalah dengan terlebih dahulu melakukan amandemen UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional kelembagaaan DPR dan memasukkan ketentuan terkait dengan pembubaran DPR,” jelasnya.Sayangnya, kemungkinan untuk membubarkan DPR melalui amandemen UUD 1945 sangat sulit, mengingat kewenangan amandemen berada di tangan MPR. “MPR sendiri terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Kalau ada usulan pembubaran lembaga, berarti mereka-mereka juga (anggota DPR) nantinya yang akan memutuskan apakah usulan pasal tersebut dapat diterima atau tidak. Selain itu, dengan regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini, perubahan UUD justru dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan lain yang dampaknya lebih destruktif terhadap demokrasi dan negara hukum,” tukas Faiz.Dalam sejarah Indonesia, tercatat ada dua presiden yang hampir membubarkan DPR RI, yakni Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bung Karno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong (DPRGR) pada 5 Maret 1960. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 1960, pada 5 Maret 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui APBN Rp36 miliar dari total pengajuan Rp44 miliar. Selain itu, DPR juga dianggap gagal menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUD Sementara (UUDS).Sementara Gus Dur, pernah membekukan DPR dan MPR melalui maklumat Presiden RI pada 23 Juli 2001. Maklumat ini dikeluarkan karena MPR hendak melengserkan Gus Dur dari jabatan presiden melalui Sidang Istimewa. Tapi, MPR dan DPR tetap menjalankan fungsi mereka yang berujung pada pemakzulan Gus Dur pada Sidang Istimewa dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.Tapi, catatan sejarah itu disebut Faiz akan sulit terulang. Sebab, kemungkinan pembubaran DPR akan terganjal pasal 7C UUD 1945 yang secara eksplisit menegaskan bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR. Selain itu, keputusan Soekarno dan Gus Dur saat itu pada dasarnya juga tidak sah secara hukum, melainkan dipengaruhi kekuasaan dan situasi politik.Dia menjelaskan, bila DPR bisa dibubarkan, akan terjadi kekosongan lembaga yang bisa membentuk undang-undang. Situasi ini akan menimbulkan kekacauan baru pada keberlangsungan Indonesia, termasuk jika kewenangan dikembalikan kepada presiden.“Saya melihat masyarakat ini sudah capek melihat kondisi sekarang. Jadi saya kira seruan bubarkan DPR ini lebih sebagai ekspresi kekecewaan dan kemarahan masyarakat terhadap lembaga yang seharusnya mewakili suara mereka, tetapi yang dilakukan justru menindas mereka,” kata Faiz.Dia menyatakan, alih-alih membubarkan DPR, hal yang bisa dilakukan dan diserukan yakni reformasi kelembagaan DPR. Contohnya, partai politik mengganti anggotanya yang bermasalah. “Salah satu yang bisa dilakukan adalah melalui mekanisme penggantian anggota-anggota DPR yang bermasalah oleh partai politik. Namun ini sulit juga sebenarnya, karena kalau kita lihat ya justru yang bermasalah adalah mereka yang memegang peranan penting di parpol,” imbuhnya.Sebagai solusi alternatif, diperlukan kesadaran masyarakat ketika pelaksanaan pemilu dengan memilih wakil rakyat yang benar-benar mewakili suara rakyat. “Idealnya mekanisme pemilu menjadi ruang untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih adalah orang-orang yang benar-benar mendengarkan suara rakyat. Dengan demikian, kita perlu catat orang-orang bermasalah dan tidak kita pilih lagi di pemilu selanjutnya. Namun dengan situasi demokrasi saat ini sepertinya cukup sulit. Jadi memang agak dilematis,” ujar Faiz.Dia juga mengingatkan agar para anggota DPR maupun pemerintah membenahi komunikasi dan rasa empati pada publik. Pembuatan kebijakan yang terang-terangan menguntungkan pihaknya dan tidak menunjukkan empati ke masyarakat di saat situasi ekonomi sulit menjadi salah satu hal yang perlu diperbaiki.“Komunikasi publik anggota dewan saya kira menjadi isu tersendiri, yang justru seringkali malah memperparah masalah yang ada. Sebagai wakil rakyat, seharusnya tidak membuat kebijakan yang nirempati kepada rakyat, apalagi sampai melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Hal-hal inilah yang kemudian membuat masyarakat semakin geram,” tutup Faiz.