Sumber: pexels.comHujan deras disertai gemericik air yang tidak pernah putus di lereng Gunung Raung menjadi denyut nadi kehidupan bagi masyarakat Sumberwringin, Bondowoso. Suara alam tersebut berpadu harmonis dengan lantunan doa dan aroma masakan khas yang menguar setiap bulan Sura. Sebuah ritual agung tengah berlangsung, sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi bernama Nyonteng Kolbuk. Lebih dari sekadar seremoni tahunan, Nyonteng Kolbuk adalah cerminan falsafah hidup, sebuah cara masyarakat berterima kasih kepada Sang Pencipta atas anugerah air yang melimpah. Wacana pendaulatannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional sudah berembus, menjanjikan sebuah pengakuan yang layak. Namun, penantian akan realisasi janji tersebut memunculkan pertanyaan mendasar, yaitu sejauh mana tradisi tersebut memiliki kualifikasi fundamental sebagai pusaka budaya bangsa yang patut diakui dunia? Jawaban atas pertanyaan itu sesungguhnya terhampar jelas dalam setiap detail prosesi, kearifan, dan nilai yang dikandungnya. Pengakuan sebagai WBTB bukanlah akhir, melainkan sebuah gerbang pembuka bagi pelestarian yang lebih terstruktur dan pengenalan yang lebih luas.Akar Filosofis dan Perekat Kohesi SosialNyonteng Kolbuk bukanlah sekadar aktivitas membersihkan sumber air atau kolbuk. Jauh di lubuknya, tradisi tersebut merupakan manifestasi dari hubungan vertikal dan horizontal yang mengakar kuat. Secara vertikal, Nyonteng Kolbuk merupakan ritual sebagai wujud syukur yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Sumberwringin memandang air bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai berkah suci yang menghidupi lahan pertanian dan sendi-sendi peradaban. Penyembelihan kambing jantan dan penguburan kepalanya di dekat sumber mata air menjadi simbol pengorbanan dan persembahan, sebuah janji simbolis bahwa alam sudah memberikan sebagian dari hasil yang dinikmati manusia, menciptakan siklus keseimbangan yang sakral.Secara horizontal, Nyonteng Kolbuk berfungsi sebagai perekat sosial yang luar biasa. Seluruh elemen masyarakat terlibat dalam semangat gotong royong yang tulus. Keunikan pembagian peran, terutama dalam proses memasak, menjadi penanda kuatnya struktur sosial yang dijaga. Para pria mengambil alih tugas yang lazimnya diemban kaum perempuan, yakni mengolah daging kambing menjadi hidangan bersama. Momen tersebut menumbuhkan rasa kebersamaan, menghapus sekat-sekat sosial, dan memperkuat solidaritas antarwarga. Semua duduk bersama, menyantap hidangan dari hasil kerja kolektif di sekitar sumber air yang menjadi pusat kehidupan. Fungsi sosial sebagai penjaga harmoni komunal inilah yang menjadi salah satu pilar utama kekuatan sebuah tradisi sebagai entitas budaya hidup.Harmoni Ekologis dalam Bingkai Kearifan LokalSumber: pexels.comDi tengah ancaman krisis iklim global dan kelangkaan air yang menghantui banyak wilayah, Nyonteng Kolbuk hadir sebagai sebuah antitesis. Tradisi tersebut mampu menawarkan cetak biru konservasi lingkungan berbasis kearifan lokal yang sudah teruji oleh waktu. Aksi merawat dan membersihkan sumber mata air secara fisik adalah wujud nyata dari tanggung jawab ekologis. Namun, kekuatan utamanya justru terletak pada nilai-nilai dan mitos yang membingkainya. Kepercayaan bahwa pelanggaran pantangan, seperti keterlibatan perempuan dalam memasak dapat menyebabkan surutnya volume air, berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang sangat efektif. Narasi tersebut mungkin terdengar mistis bagi pandangan modern, tetapi sesungguhnya adalah bentuk "regulasi tidak tertulis" yang menanamkan rasa hormat dan kehati-hatian dalam memperlakukan alam. Masyarakat tidak hanya dilarang mengeksploitasi sumber air secara berlebihan, tetapi juga diajak buat menjaganya dengan segenap jiwa melalui ritual sakral. Pendekatan yang demikian seringkali jauh lebih berdaya guna dibandingkan peraturan formal yang kering dari sentuhan spiritual.Nyonteng Kolbuk mengajarkan sebuah etika lingkungan yang luhur bahwa manusia bukanlah penguasa alam, melainkan bagian dari ekosistem yang wajib menjaga keselarasan. Dimensi ekologis yang mendalam inilah yang membuat tradisi tersebut sangat relevan dengan tantangan zaman dan layak diangkat ke panggung global sebagai contoh praktik baik.Keunikan Ritual sebagai Identitas Budaya yang KhasSebuah warisan budaya diakui karena kekhasan yang membedakannya dari yang lain. Nyonteng Kolbuk melimpah dengan keunikan tersebut. Prosesi yang paling mencolok adalah dominasi kaum pria dalam ranah domestik selama ritual berlangsung. Fenomena "bapak-bapak memasak" yang terjadi bukan sekadar pembalikan peran sehari-hari, melainkan sebuah aturan adat yang ditaati dengan penuh kepatuhan. Hal tersebut menciptakan sebuah pemandangan budaya yang otentik dan memiliki daya tarik visual serta naratif yang kuat. Aturan tersebut yang dilandasi oleh kepercayaan turun-temurun, menjadi penanda identitas yang tidak dimiliki oleh komunitas lain.Selain itu, rangkaian ritual dari penyembelihan kambing, penguburan kepala, sampai makan bersama di lokasi sumber air, membentuk sebuah narasi utuh yang sarat makna. Setiap tahapannya memiliki simbolisme dan tujuan spesifik yang berkontribusi pada kesakralan acara. Keotentikan dan kekhasan prosesi inilah yang menjadi modal utama Nyonteng Kolbuk sebagai objek pemajuan kebudayaan. Kekuatan identitas yang terpancar dari setiap detail ritualnya menunjukkan bahwa tradisi tersebut bukan produk rekayasa, melainkan sebuah pusaka hidup yang terus berdenyut dan beradaptasi bersama masyarakat pendukungnya.Jalan Menuju Pengakuan: Dari Desa Budaya ke Panggung DuniaLangkah Pemerintah Kabupaten Bondowoso menetapkan Desa Sumberwringin sebagai Desa Budaya merupakan sebuah fondasi yang sangat penting. Pengakuan di tingkat lokal yang tercipta mampu memberikan legitimasi awal dan membuka ruang bagi pembinaan serta pengembangan yang lebih terarah. Namun, perjalanan tidak boleh berhenti di sana. Status sebagai Desa Budaya harus menjadi batu loncatan menuju pengakuan yang lebih tinggi, yakni sebagai Warisan Budaya Tak Benda di tingkat nasional. Proses kajian dan identifikasi yang sudah dirintis oleh berbagai pihak, termasuk pengelola Ijen Geopark, harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret.Penetapan sebagai WBTB akan memberikan payung hukum yang lebih kuat untuk pelindungan, memastikan tradisi tersebut tidak tergerus oleh modernisasi atau terdistorsi oleh komersialisasi pariwisata yang tidak bertanggung jawab. Status tersebut juga membuka akses terhadap sumber daya, baik pendanaan maupun jejaring ahli, guna melakukan dokumentasi, transmisi, dan revitalisasi yang berkelanjutan. Lebih jauh lagi, pengakuan nasional adalah tiket menuju panggung internasional. Dengan narasi kuat tentang harmoni sosial dan kearifan ekologisnya, Nyonteng Kolbuk memiliki potensi besar buat menarik perhatian dunia, bahkan diusulkan ke dalam daftar warisan budaya UNESCO. Pengakuan formal bukan sekadar label, melainkan sebuah amanat buat menjaga api kearifan yang dimiliki supaya terus menyala sehingga mampu menerangi generasi kini dan masa depan. Tradisi Nyonteng Kolbuk jelas lebih dari mampu sehingga tradisi tersebut sudah teramat layak.