Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA - Gerbang utama Polda Metro Jaya tampak penuh dengan coretan. Beberapa tulisannya pun masih terbaca dengan jelas di dinding gerbang. Belum ditambah dengan kerusakan parah yang terjadi pada Halte TransJakarta depan kantor polisi itu. Bangunan halte hangus dilalap api saat aksi unjuk rasa dan hanya menyisakan rangka logam. Semua menjadi saksi bisu dari kemarahan rakyat.Momentum bulan kemerdekaan yang biasanya dirayakan dengan suka cita, tahun ini justru diwarnai dengan kericuhan di berbagai daerah. Aksi unjuk rasa yang berujung ricuh ini bukanlah sekadar letupan spontan, melainkan akumulasi dari berbagai beban hidup yang dirasakan. Rakyat harus berjibaku menghadapi realitas pahit. Lapangan kerja yang makin sempit, angka pengangguran yang tinggi, dan harga kebutuhan pokok yang terus melambung.Di saat rakyat mengencangkan ikat pinggang, kabar ada kabar kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota parlemen yang menyulut api kemarahan. Publik menilai tindakan itu sebagai bentuk ketidakpekaan, bahkan pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat. Alih-alih memperjuangkan kebijakan yang meringankan beban masyarakat, anggota dewan di parlemen justru sibuk memastikan kenyamanan mereka sendiri.Pemakaman Affan Kurniawan, Mitra Gojek yang Tewas Akibat Dilindas Mobil Rantis Brimob/ Foto: ISTDealer mobil di dekat sini Kamis, 28 Agustus, ketika malam menyibakkan tirainya dan diantara gerimis, gelombang demonstran semakin menggila. Sebuah mobil barakuda milik polisi dilarikan dengan kecepatan tinggi dan menabrak seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan. Dan tidak berapa lama pemuda berusia 21 tahun yang sedang mengantarkan makanan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Affan wafat dengan cara mulia (mati syahid) di kamis malam saat sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Dibuktikan dengan ribuan manusia yang seprofesi mengantarkannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir di TPU Karet Bivak, Jakarta, Jumat, 29 Agustus.Wafatnya Affan Kurniawan menarik perhatian berbagai elemen masyarakat baik di dalam dan luar negeri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan ada pelanggaran HAM dalam kasus kendaraan taktis (rantis) Brimob yang menabrak seorang sopir ojek online (ojol), Affan Kurniawan.Gelombang demonstrasi yang dipenuhi kekecewaan menjadi semakin menggila, meluas ke berbagai kota besar di seluruh negeri. Tujuh petugas dari kepolisian yang diduga sebagai pelaku, dituntut untuk diadili dengan sekeras-kerasnya dan prosesnya harus dilakukan secara transparan. Tak hanya itu desakan mundur untuk pimpinan Polri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo semakin menguat.Listyo pun hanya bisa pasrah saat ditanyakan desakan tersebut. "Saya tergantung dan siap atas perintah dari bapak presiden. Karena keputusan tersebut merupakan hak preogatifnya beliau," kata Kapolri Listyo Sigit Prabowo.Akumulasi kemarahan dan kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi, pecah di bulan kemerdekaan bangsa ini. Dua bulan sebelum pemerintahan Prabowo berusia setahun.Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti mengaku sedih dan kecewa melihat tingkah para elit negeri. Pernyataan kecewanya ditujukan kepada elit yang mantan aktivis dan pejuang agenda reformasi. "Salah satu semangat dan cita-cita reformasi adalah melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Eh, Noel malah tertangkap. Dengan kejadian ini, menurut saya, salah satu perjuangan aktivis 1998 ternodai dan terciderai oleh tindakannya," katanya pria yang berdarah minang ini kepada VOI di Jakarta."Saat belum menjabat, mereka berteriak antikorupsi, pemerintah harus transparan, dialogis, melibatkan partisipasi publik, dan lain-lain. Namun saat masuk kekuasaan ternyata tidak demikian kenyataannya. Ini yang menyedihkan," tambahnya.Seorang Anak Pamerkan Jam Mewah Milik Politisi dari Nasdem Ahmad SyahroniFoto: Thread/@hendrycanda Ray menyebutkan fungsi DPR sebagai penyeimbang eksekutif dalam beberapa periode terakhir di mulai dari Jokowi dan kini Prabowo Subianto tidak berfungsi dengan baik. Lembaga parlemen itu telah berubah menjadi tukang stempel. Persoalannya bukan hanya soal tunjangan rumah Rp50 juta atau tunjangan lainnya yang diterima mereka. Pejabat dan wakil rakyat saat ini juga jangan sampai berkomentar dengan nada menantang atau merendahkan rakyat."Sekarang kita kembali lagi ke era Orde Baru. Semua tersentral ke pemerintah. Pemangkasan anggaran untuk daerah membuat pemda kesulitan membiayai kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan dan sanitasi. Akibatnya, pemda menaikkan pajak untuk menutupi anggaran. Negara sekarang lebih diutamakan, padahal seharusnya negara dibentuk untuk mensejahterakan rakyat,"tandasnya.Pemerintah Mendengar, Saatnya Rakyat Kembali BersatuKericuhan yang terjadi adalah alarm keras bahwa ada ketidakberesan dalam relasi negara dan rakyatnya. Momentum peringatan kemerdekaan yang seharusnya memperkuat persatuan, justru berubah menjadi panggung demonstrasi besar-besaran.Di tengah derasnya gelombang demonstrasi, tiga dewan pimpinan pusat partai politik mengumumkan penonaktifan sejumlah kadernya dari anggota DPR mulai 1 September 2025.Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasional Demokrat Hemawi Taslim mengumumkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dinonaktifkan sebagai anggota DPR. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi juga mengumumkan pencopotan Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR.Dan tidak ketinggalan Partai Golkar pun memberlakukan kebijakan yang sama. Adies Kadir yang menjabat sebagai Wakil Kedua DPR periode 2024-2029 dinonaktifkan oleh partai pimpinan Bahlil Lahadalia tersebut.Keputusan penonaktifan sejumlah anggota dewan oleh partai asal bermula dari kritik publik terhadap mereka. Ahmad Sahroni dihujat karena pernyataannya ketika merespons wacana pembubaran DPR dinilai tidak pantas. Pria yang dijuluki Crazy Rich Tanjung Priok ini melabeli pihak yang menggaungkan wacana itu sebagai “orang tolol”. Sedangkan dua politikus PAN, Eko Patrio dan Uya Kuya juga tak luput dari kritik publik setelah berjoget di akhir sidang tahunan MPR/DPR.Rumah Sri Mulyani, Nafa Urbach dan Eko Patrio Sampai Menangis. (Tim grafis Video VOI) Sabtu, 30 Agustus, demonstrasi yang awalnya menyuarakan penolakan tunjangan DPR hingga protes kematian Affan Kurniawan, bergeser menjadi anarkis. Dimulai dari penjarahan rumah Sahroni dan terus ke rumah politisi dpr yang dinonaktifkan. Pengamat politik Citra Institute, Efriza menilai aksi masyarakat hingga melakukan penjarahan sudah terlalu jauh. Demokrasi, menurut Efriza adalah memberi ruang ekspresi berpendapat, bersikap, tetapi tidak untuk anarkis. Ia menegaskan, demokrasi justru mengedepankan sikap menghormati orang lain.“Meski Ahmad Sahroni telah memantik kemarahan publik, namun tindakan penjarahan terhadap kehidupan rumahnya adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan,” kata Efriza.Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak masyarakat untuk menghentikan aksi demo yang bersifat anarkis hingga menimbulkan kerusakan dan kerusuhan bagi publik.Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Dewan Pimpinan MUI Masduki Baidlowi mengimbau kepada para pendemo yang sekarang masih berada di lapangan agar pulang ke rumah masing-masing."Demo adalah hak warga negara, tetapi ketika sudah menimbulkan kerusakan, keresahan, dan kesulitan bagi publik, saya kira itu harus dihentikan, oleh karena itu, kita juga mengimbau supaya para pendemo pulang ke rumah masing-masing dan tidak menimbulkan kesulitan bagi masyarakat lain," ujar dia, Jumat, 29 Agustus.Wakil Presiden RI Ke-10 dan 12 Jusuf Kalla alias JK mengajak semua pihak untuk menahan diri dan menjaga kondisi tetap aman dan terkendali.Pasalnya, apabila ini meluas, akan berakibat langsung kepada kehidupan masyarakat Indonesia."Jika kota bergejolak seperti ini, maka kehidupan ekonomi akan berhenti. Nanti kalau ekonomi berhenti, semua orang susah," kata JK.