Ilustrasi Buku Cetak dan Buku Digital. Foto: Dokumentasi PribadiCoba bisa kita bayangkan ketika duduk di sekolah, taman, perpustakaan, bahkan hingga tempat nongkrong seperti kafe, menatap layar ponsel, dan dalam hitungan detik bisa mengakses ribuan buku dari seluruh dunia. Tak ada halaman yang perlu dibalik, tak ada bau kertas yang menyapa. Kita membaca, tapi tanpa benar-benar "menyentuh" buku dengan wujud yang cukup berbeda. Perubahan ini mungkin terlihat sepele, tapi sebenarnya menggambarkan sesuatu yang lebih dalam. Di balik pergeseran dari buku kertas ke buku digital, ada perubahan besar dalam cara kita berhubungan dengan pengetahuan dan budaya membaca. Untuk memahami itu, kita bisa melihat kacamata dari Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, yang terkenal lewat gagasannya tentang habitus, kapital budaya, dan distinction.Dari Membalik Halaman ke Menggeser LayarIlustrasi perempuan baca buku. Foto: ShutterstockBourdieu menjelaskan bahwa setiap tindakan kita dipengaruhi oleh apa yang ia sebut habitus, pola kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman sosial. Dalam hal membaca, habitus yang membentuk generasi sebelumnya identik dengan tumpukan buku di meja, catatan di pinggir halaman, dan aroma khas kertas tua. Membaca adalah ritual yang penuh sentuhan, waktu, dan keheningan.Kini, habitus itu perlahan berubah seiring waktu berjalan. Buku berpindah ke layar dari halaman berganti menjadi guliran jari. Kita membaca sambil menunggu transportasi, berpindah antara notifikasi dan paragraf. Bacaan menjadi bagian dari arus cepat kehidupan digital.Kita tetap membaca, tapi dengan cara yang sangat berbeda. Buku tak lagi menjadi benda yang "hadir" secara fisik, melainkan file yang bisa dihapus dan diunduh kembali. Di sinilah Bourdieu membantu kita memahami: kebiasaan membaca yang berubah juga mengubah cara kita membangun makna dan identitas.Muncul Rak Buku Digital dan Kapital Budaya BaruIlustrasi buku di rak. Foto: Shutter StockDalam teori Bourdieu, ada yang disebut sebagai kapital budaya, yaitu pengetahuan, pendidikan, dan selera yang membuat seseorang dihargai dalam masyarakat. Dahulu, kapital budaya ini sering tampak lewat benda-benda fisik yang kita lihat, seperti rak penuh buku, koleksi sastra klasik, atau perpustakaan pribadi di rumah. Semua itu bukan sekadar bukti kecintaan pada membaca, melainkan juga simbol status dan pengetahuan.Sekarang, kapital budaya itu bergeser bentuk. Ia tidak lagi terletak di rak, tetapi di ruang digital. Orang bisa menunjukkan "minat membaca" lewat unggahan kutipan buku di media sosial, daftar bacaan di Goodreads, atau koleksi e-book di tablet.Dengan kata lain, kapital budaya kini hidup di dunia maya. Seseorang bisa tampil berwawasan tanpa harus memiliki buku fisik, selama ia mampu mengelola citra digitalnya sebagai pembaca. Namun, tentu saja, perubahan ini tidak lepas dari ketimpangan baru: tak semua orang punya perangkat atau koneksi internet yang baik. Bourdieu akan mengatakan, struktur sosial tetap bekerja, tetapi teknologi tidak otomatis membuat semua orang setara.Buku Fisik vs Buku Digital: Simbol Gaya HidupIlustrasi Buku. Foto: ShutterstockBourdieu juga berbicara tentang distinction, yaitu bagaimana selera budaya digunakan untuk membedakan diri dari kelompok lain. Dalam konteks membaca, kita bisa melihatnya dalam perdebatan antara "tim buku fisik" dengan "tim e-book".Bagi sebagian orang, membaca buku fisik terasa lebih "nyata" dan berjiwa. Ada kebanggaan tersendiri saat menatap deretan buku di rak atau mencatat di margin halaman. Sementara bagi pembaca e-book, yang penting adalah efisiensi: bisa membaca di mana saja tanpa membawa beban.Perbedaan ini sebenarnya bukan hanya soal kenyamanan, melainkan juga soal simbol sosial. Buku fisik diasosiasikan dengan kedalaman dan keaslian, sedangkan buku digital mencerminkan kecepatan dan modernitas. Keduanya menjadi bentuk distinction baru, cara halus untuk menegaskan identitas di era digital.Membaca di antara Layar dan LembaranIlustrasi membaca online. Foto: GaudiLab/Shutterstock Melalui kacamata Bourdieu, kita bisa melihat bahwa membaca bukan hanya soal teks, melainkan juga soal posisi sosial dan simbol budaya. Setiap cara membaca membawa nilai dan maknanya sendiri. Membaca di layar tidak lebih buruk dari membaca di kertas; ia hanya mencerminkan habitus yang berbeda, lahir dari dunia yang berbeda pula.Namun, ada hal yang perlu kita jaga agar kebiasaan baru ini tidak kehilangan maknanya. Di tengah derasnya informasi digital, membaca seharusnya tetap menjadi ruang untuk berhenti sejenak, berpikir, dan berdialog dengan diri sendiri.Karena pada akhirnya, entah kita membalik halaman atau menggeser layar, esensi membaca tetap sama: menyentuh makna. Dan selama kita masih bisa merasakan kehadiran makna itu—meski tanpa menyentuh kertas—kita tetap benar-benar menyentuh buku.Membaca Ulang dari Makna MembacaIlustrasi perempuan membaca buku. Foto: Mdisk/ShutterstockKita dapat melihat bahwa perubahan dalam cara membaca bukanlah fenomena teknis semata, melainkan perubahan struktural dalam kebudayaan. Teknologi bukan hanya mengubah alat membaca, melainkan juga menggeser makna sosial dari kegiatan membaca itu sendiri.Namun, di balik adanya perubahan itu, esensi membaca seharusnya tetap sama: usaha memahami, menafsirkan, dan membangun hubungan dengan pengetahuan. Entah bisa melalui kertas atau layar, membaca tetaplah tindakan simbolik yang membentuk siapa kita di tengah masyarakat.Mungkin pada akhirnya, yang paling penting bukan pada apa yang kita sentuh kertas atau layar, melainkan pada apa yang disentuh oleh pikiran dan perasaan kita ketika membaca. Karena sejauh mana pun kebiasaan kita berubah, makna sejati membaca tetap berada di ruang refleksi yang tak tergantikan.