Ilustrasi peretas nonaktifkan fitur keamanan. Foto: Shutter StockKerapuhan Keamanan Siber IndonesiaKetika perang digital menggantikan tank dan pesawat tempur, Indonesia menghadapi ancaman siber yang nyata. Keamanan siber menjadi kunci pertahanan Indonesia di era modern.Indonesia sendiri telah merasakan gempuran ini. Pada 2023, Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi korban serangan ransomware oleh kelompok LockBit 3.0 dengan klaim pencurian 1,5 TB data milik jutaan nasabah. Tak hanya itu, kebocoran data dari lembaga publik—seperti KPU dan BPJS Kesehatan—menegaskan betapa rapuhnya benteng digital nasional.Perang modern kini bukan hanya terjadi di darat, laut, atau udara, melainkan juga di ruang siber di mana data dan algoritma menjadi senjata baru yang menentukan siapa pemenang dan siapa yang tertinggal.Dunia yang Berperang Tanpa Bunyi SenjataKonflik siber kini menjadi dimensi baru dalam politik global. Laporan World Economic Forum (2024) menempatkan serangan siber sebagai salah satu dari lima ancaman terbesar terhadap stabilitas dunia.Ilustrasi Rusia. Foto: ShutterstockSebelum rudal pertama menghantam Ukraina, Rusia sudah melancarkan serangan siber terhadap jaringan listrik dan komunikasi negara itu. Amerika Serikat menanggapinya dengan memperkuat aliansi keamanan siber di bawah NATO (BBC, 2023).Sementara itu, rivalitas AS dan Tiongkok kini juga bergeser menjadi “perang teknologi”, mulai dari pencurian data, spionase digital, hingga manipulasi informasi. Menurut laporan Microsoft Threat Intelligence (2024), aktivitas siber dari Tiongkok dan Korea Utara meningkat tajam di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia.Dalam kajian hubungan internasional, fenomena ini dikenal sebagai ancaman keamanan non-tradisional (non-traditional security); ancaman yang tidak lagi bersifat militer konvensional, tetapi hadir lewat teknologi, ekonomi, hingga ekologi. Ruang siber pun menjadi bagian dari perang hibrida (hybrid warfare), ketika kekuatan keras dan lunak berpadu dalam strategi global.Kerapuhan Digital IndonesiaSebagai negara dengan pengguna internet terbesar keempat di dunia, Indonesia menghadapi paradoks besar: konektivitas tinggi tapi keamanan rendah.Ilustrasi internet. Foto: NicoElNino/ShutterstockBSSN (2023) mencatat lebih dari 370 juta anomali serangan siber dalam setahun, dengan target utama sektor pemerintahan, keuangan, dan pendidikan. Serangan ransomware terhadap BSI hanya puncak gunung es dari lemahnya pertahanan digital kita.Yang lebih mengkhawatirkan, koordinasi antarlembaga masih terfragmentasi. BSSN, Kominfo, TNI, dan BIN belum memiliki sistem komando terpadu dalam menghadapi ancaman digital. Padahal, negara lain telah menjadikan keamanan siber sebagai bagian utama dari strategi pertahanan.Singapura membentuk Cyber Security Agency (CSA) yang terhubung langsung ke Perdana Menteri. Jepang dan Korea Selatan bahkan menjalin kerja sama pertahanan siber dengan Amerika Serikat. Indonesia memang telah memiliki strategi keamanan siber nasional, tetapi implementasinya masih lemah dan belum terintegrasi dalam kebijakan pertahanan negara.Membangun Pertahanan di Dunia Tanpa BatasAncaman siber bukan sekadar urusan IT. Ia adalah bagian dari perang asimetris yang bisa melemahkan kedaulatan dan stabilitas nasional. Karena itu, keamanan siber harus menjadi pilar utama strategi pertahanan nasional.Ilustrasi etika menggunakan teknologi. Foto: A9 STUDIO/ShutterstockLangkah mendesak yang perlu diambil adalah pembentukan Komando Pertahanan Siber Nasional yang memayungi koordinasi antara BSSN, Kominfo, TNI, dan BIN di bawah satu rantai komando yang jelas.Selain itu, diplomasi siber juga perlu diperkuat. Indonesia bisa memanfaatkan kerja sama di bawah ASEAN Cybersecurity Cooperation, serta memperluas kolaborasi dengan Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Indo-Pasifik lainnya. Diplomasi ini bukan hanya soal teknologi, melainkan juga upaya membangun norma dan etika keamanan digital antarnegara.Namun pertahanan siber tidak berhenti di tangan pemerintah. Masyarakat dan sektor swasta merupakan garis depan pertama dalam menjaga keamanan digital. Literasi digital, kesadaran perlindungan data pribadi, dan budaya keamanan daring perlu menjadi gerakan nasional.Investasi pada SDM dan riset teknologi keamanan juga penting agar Indonesia bukan hanya menjadi pengguna, melainkan juga produsen teknologi pertahanan digital.Menatap Masa Depan Pertahanan IndonesiaIlustrasi internet. Foto: IstimewaKita hidup di era ketika musuh tak selalu datang dengan senjata, melainkan lewat malware, phishing, atau satu baris kode di layar komputer. “Perang tanpa peluru” sudah di depan mata dan Indonesia harus menentukan posisinya: menjadi pemain aktif atau korban pasif.Pertahanan siber bukan sekadar proyek teknologi, melainkan simbol kesadaran nasional. Ia menentukan seberapa kuat negara ini menjaga data, martabat, dan kedaulatannya di dunia digital.Indonesia punya modal besar talenta digital muda, infrastruktur yang berkembang, dan posisi strategis di Asia Tenggara. Namun, semua itu hanya berarti jika ada strategi menyeluruh menggabungkan kekuatan negara, diplomasi, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Karena di era ini, keamanan nasional dimulai dari keamanan siber.Perang masa depan mungkin tak terdengar oleh telinga, tapi dampaknya bisa melumpuhkan segalanya. Pertanyaannya kini: Sudah siapkah Indonesia menghadapi perang tanpa peluru?