Sejarah terlupakan dari Linggajati: Kontribusi etnis Tionghoa pada masa diplomasi awal Indonesia

Wait 5 sec.

● Perundingan Linggajati (1946) menandai pengakuan awal Belanda terhadap Republik Indonesia.● Keluarga Kwee meminjamkan rumah-rumah mereka selama perundingan tapi terlupakan dari sejarah.● Wacana warisan negara kerap menyingkirkan kotribusi lapisan sejarah sosial yang lain.Perundingan Linggajati pada 11–13 November 1946 menandai salah satu tonggak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia modern. Di tempat inilah Republik Indonesia yang baru berdiri untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan secara nyata dari Belanda atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra.Melalui Linggajati, dunia internasional mulai melihat bahwa kekuasaan kolonial Eropa bisa goyah, dan Indonesia muncul sebagai preseden bagi negara-negara lain yang menuntut kemerdekaan.Namun di balik momentum politik itu, terdapat dimensi sosial-historis yang kerap absen dari narasi resmi sejarah nasional, yakni keterlibatan keluarga Kwee dari Linggajati, yang meminjamkan rumah-rumah mereka kepada para delegasi Indonesia dan Belanda. Sejarah Gedung Sjahrir yang menjadi lokasi perundingan Linggajati. Laporan berita dari De Locomotief tanggal 21 Oktober 1947 menyebutkan bahwa keluarga Kwee memiliki tiga rumah di Linggajati yang digunakan sebagai tempat singgah dan ruang rapat selama perundingan Linggajati. Salah satu rumah tersebut kemudian dikenal sebagai Gedung Sjahrir, kediaman sementara bagi delegasi Indonesia.Fakta ini memperlihatkan bahwa warisan budaya dapat bertahan secara fisik, tetapi terhapus dari wacana publik melalui bias ideologis dan penyederhanaan sejarah.Nama “Gedung Sjahrir” diambil dari fungsinya sebagai tempat tinggal delegasi Republik yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Penamaan ini sekaligus menyingkirkan identitas keluarga Kwee, pemilik asli gedung yang memfasilitasi jalannya perundingan Linggajati.Situasi ini mencerminkan adanya authorized heritage discourse—wacana yang menempatkan negara sebagai otoritas tunggal dalam menentukan apa yang layak diingat dan siapa yang diakui sebagai bagian dari sejarah nasional. Akibatnya, pelestarian objek warisan sejarah dan budaya sering kali berjalan seiring dengan penghapusan lapisan makna sosial yang lebih majemuk, seperti nama “Sjahrir” yang menguat sebagai simbol nasional, sementara “Kwee” perlahan hilang dari ingatan publik. Baca juga: Proyek penulisan sejarah nasional Indonesia: Kembalinya narasi yang tak lengkap Sejarah keluarga KweeKisah keluarga Kwee tak dapat dipisahkan dari sejarah industri gula di Jawa, terutama di wilayah Cirebon hingga Ciledug. Akar keluarga ini berawal dari Kwee Giok San, pendatang dari Fujian yang pada 1840 menetap di Ciledug dan membangun usaha dagang di tengah berkembangnya industri gula kolonial.Kepemilikan pabrik gula dan perannya sebagai salah satu pemimpin masyarakat Tionghoa di Cirebon kemudian memperkuat posisi keluarga Kwee dalam jaringan ekonomi dan birokrasi kolonial. Namun, krisis ekonomi dunia pada akhir 1920-an memberikan guncangan yang sangat berat bagi industri gula di Hindia Belanda. Keadaan ini memaksa keluarga Kwee menjual pabrik gula Djatipiring kepada Hoevenaar Concern pada tahun 1932.Sebagian hasil penjualan pabrik digunakan oleh keluarga Kwee untuk mengembangkan kediamannya di Linggajati menjadi kompleks vila pegunungan yang dilengkapi dengan taman anggrek, kolam renang, dan lapangan tenis—cerminan gaya hidup baru kalangan elite Tionghoa-Peranakan yang berpindah dari dunia industri ke modernitas sosial.Dampak Perang Dunia IIKetika pendudukan Jepang dimulai pada 1942, sebagian aset keluarga disita dan seluruh kegiatan ekonomi mereka diawasi ketat oleh otoritas militer. Sejak periode Jepang, kehidupan Kwee Zwan Lwan dan keluarganya berubah total, mereka menjadi lebih tertutup dan berhati-hati.Setelah penyerahan tanpa syarat Jepang pada 2 September 1945, kekuasaan politik di wilayah bekas jajahan seharusnya dikembalikan pada kondisi sebelum perang. Namun, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 serta penyebaran berita kemerdekaan hingga ke berbagai daerah membuat rencana pemulihan pemerintahan Hindia Belanda menjadi sulit dilakukan. Sejak Maret 1946, Linggajati berfungsi sebagai garis pertahanan pasukan Indonesia.Dalam situasi tersebut, sejumlah vila yang sebelumnya dimiliki warga Eropa diambil alih oleh pihak republik untuk keperluan militer dan administrasi. Para pemimpin republik dan pihak Belanda kemudian sepakat bahwa Linggajati merupakan tempat yang ideal untuk mengadakan pertemuan dan mencari penyelesaian damai.Di Linggajati, delegasi Belanda tinggal di salah satu rumah keluarga Kwee yang menyatu dengan kompleks tempat perundingan berlangsung.Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir tinggal di rumah lain keluarga Kwee yang kemudian dikenal sebagai “Gedung Sjahrir”. Sukarno dan Hatta yang turut hadir dalam diskusi tersebut tinggal di bekas rumah kontrolir dekat kota Kuningan.Keluarga Kwee tidak saja meminjamkan rumah mereka tapi juga menjamu para delegasi Indonesia maupun Belanda. Peran dan upaya yang dilakukan oleh keluarga Kwee ini menunjukkan keberanian dan sikap inklusif mereka di tengah situasi politik yang genting.Mereka menempatkan rumahnya sebagai ruang netral tempat diplomasi dan perdamaian dapat dibangun, sekaligus memperlihatkan dukungan moral terhadap perjuangan republik yang baru berdiri.Narasi yang hilangPada tahun 2024, Gedung Sjahrir ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kabupaten Kuningan. Ini merupakan langkah awal dalam upaya pelestarian, meski kajian sejarah dan arkeologi yang menyeluruh belum pernah dilakukan.Mengingat nilainya yang melampaui batas administratif daerah, pelestarian bangunan ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan pusat—karena di sinilah berlangsung salah satu episode diplomasi paling menentukan dalam sejarah Indonesia.Peran keluarga Kwee selayaknya menjadi bagian dari narasi sejarah dan pelestarian Gedung Sjahrir. Keterlibatan mereka sebagai tuan rumah bagi delegasi Indonesia dan Belanda menunjukkan peran komunitas Tionghoa-Peranakan dalam mendukung proses diplomasi kemerdekaan.Peran dan fasilitasi yang diberikan oleh keluarga Kwee adalah salah satu bentuk partisipasi sipil yang masih jarang diakui dalam sejarah revolusi Indonesia. Seperti banyak warga Tionghoa lain pada masa revolusi, mereka kemudian turut menjadi korban kekerasan dan penghapusan ingatan sosial pascakonflik.Mengangkat kembali kisah mereka berarti membuka ruang bagi narasi yang lebih inklusif dalam sejarah Indonesia. Bagaimanapun, sejarah tidak pernah hadir sebagai suatu narasi tunggal. Ia terbentuk dari beragam pengalaman, ingatan, dan kepentingan yang saling berkelindan—menyisakan jejak tentang apa yang dipilih untuk diingat maupun dilupakan. Baca juga: Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998: Revisi sejarah picu kemarahan publik Gregorius Andika Ariwibowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.