Ilustrasi dompet kosong karena boros saat berbelanja. Foto: Shutter StockAnak muda Indonesia hari ini tumbuh dalam era digital yang serba cepat, penuh distraksi, dan dikelilingi oleh iklan yang terus memanggil di setiap sudut layar. Setiap membuka ponsel, selalu ada promo, diskon kilat, voucher gratis ongkir, hingga tawaran paylater yang terasa seperti pintu ajaib menuju kemudahan hidup.Tanpa sadar, budaya konsumsi ini berubah menjadi tekanan sosial. Bukan lagi tentang membeli barang, melainkan tentang menjaga eksistensi. Di tengah banjir konten yang memamerkan gaya hidup ideal, banyak orang muda merasa tertinggal jika tidak ikut membeli sesuatu.Fenomena ini semakin kompleks karena perusahaan teknologi mengetahui dengan tepat bagaimana memanfaatkan psikologi penggunanya. Notifikasi dirancang untuk memicu rasa takut ketinggalan, fitur paylater dirancang seperti teman yang selalu siap menolong, dan desain antarmuka dibuat semudah mungkin agar membeli hanya perlu “sekali geser”.Semuanya menciptakan ilusi bahwa pengeluaran bukan lagi keputusan rasional, melainkan reaksi otomatis. Pada akhirnya, bukan hanya pengeluaran yang membesar, melainkan juga rasa cemas ketika tagihan datang menghampiri.Ilustrasi wanita cemas. Foto: metamorworks/ShutterstockDi balik pola konsumsi yang tidak terkendali, ada masalah lain yang jarang disadari: minimnya pendidikan keuangan sejak usia muda. Banyak anak muda tidak pernah diajarkan cara membuat anggaran bulanan, membangun dana darurat, atau memahami risiko penggunaan kredit.Sebagian besar baru mengenal konsep keuangan ketika sudah terjebak, ketika cicilan mulai menguras penghasilan, atau ketika saldo rekening tiba-tiba menghilang entah ke mana. Pengalaman pahit sering kali menjadi guru pertama mereka.Namun, situasi ini bukan tanpa solusi. Mengatur keuangan bukan tentang membatasi diri secara ekstrem, melainkan tentang belajar menavigasi arus konsumsi yang begitu kuat. Langkah pertama yang paling sederhana adalah membuat anggaran bulanan.Tidak perlu rumit, cukup catat tiga hal: berapa uang masuk, berapa uang keluar, dan untuk apa uang digunakan. Dengan melihat pola pengeluaran, seseorang bisa lebih cepat menyadari kebocoran yang selama ini tersembunyi.Ilustrasi menghitung pengeluaran Foto: ShutterstockLangkah kedua adalah membedakan kebutuhan dan keinginan. Kedengarannya sepele, tetapi di era digital batas keduanya sering kabur. Banyak orang membeli sesuatu bukan karena membutuhkan, melainkan karena takut terasa kurang dari orang lain. Dengan menetapkan prioritas, keputusan membeli akan lebih terarah. Jika bukan kebutuhan utama, tunda selama 24 jam. Teknik sederhana ini terbukti mengurangi 60–70% pembelian impulsif.Langkah ketiga adalah mengelola paylater dengan bijak. Paylater bukan musuh, melainkan alat yang berbahaya ketika digunakan tanpa kontrol. Jika ingin tetap memakai, batasi maksimal satu transaksi paylater per bulan dan pastikan nominalnya tidak lebih dari 10% pendapatan.Jika sudah telanjur banyak, buat daftar tagihan lalu urutkan dari bunga terbesar. Lunasi satu per satu, bukan semuanya sekaligus. Metode ini membantu menenangkan pikiran sekaligus menjaga arus kas tetap sehat.Langkah keempat adalah membangun dana darurat. Mulailah dari angka kecil, misalnya menabung lima ribu atau sepuluh ribu per hari. Bukan nominalnya yang penting, tetapi konsistensinya. Dana ini akan menjadi pelampung ketika muncul kebutuhan mendadak, sehingga tidak perlu lagi bergantung pada utang yang justru memperparah beban keuangan.Ilustrasi literasi keuangan. Foto: Getty ImagesTerakhir, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung. Ikuti akun edukasi keuangan, batasi paparan influencer yang memamerkan hidup mewah, dan berkumpulah dengan orang-orang yang memiliki visi keuangan yang sehat.Lingkungan sangat menentukan perilaku dan perubahan kecil dalam lingkaran sosial dapat membawa dampak besar dalam kehidupan keuangan seseorang.Generasi muda Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk hidup lebih stabil secara finansial. Namun, peluang itu hanya bisa diraih jika mereka mampu melawan tekanan gaya hidup yang terus memanggil.Mengatur uang bukan soal menjadi pelit atau membatasi diri, melainkan tentang menciptakan ruang bagi masa depan yang lebih tenang. Dalam dunia yang bergerak cepat, kemampuan mengelola keuangan adalah bentuk keberanian untuk memilih jalan yang lebih bijaksana.