Pria dengan jaket kulit hitam memegang bendera. sumber: unsplash Dalam wacana ilmu politik, perubahan sosial selalu menjadi topik yang menempati posisi sentral. Dua paradigma besar yang kerap dibandingkan adalah politik sebagai arena perubahan yang evolusioner dan revolusi sebagai mekanisme percepatan yang radikal.Keduanya memuat perbedaan mendasar dalam cara kerja, tujuan, dan implikasi sosial, tetapi berada dalam hubungan yang lebih kompleks daripada sekadar dikotomi hitam-putih. Melalui telaah kritis, hubungan ini dapat dipahami sebagai tarik-menarik antara stabilitas dan perubahan cepat dalam dinamika masyarakat modern.Politik—dalam kerangka ilmiah—dipahami sebagai proses pengambilan keputusan kolektif yang berlangsung melalui lembaga formal, seperti pemerintah, parlemen, dan birokrasi. Jalur politik dirancang untuk menyediakan ruang deliberatif bagi masyarakat, sehingga perubahan dapat dicapai melalui kompromi, regulasi, dan reformasi bertahap. Karena sifatnya yang evolusioner, politik menekankan keberlanjutan, prediktabilitas, dan stabilitas.Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparanHal ini penting untuk memastikan bahwa perubahan yang terjadi tidak mengacaukan struktur sosial dan ekonomi yang ada. Politik bekerja berdasarkan asumsi bahwa masyarakat dapat memperbaiki dirinya tanpa harus merusak fondasi institusional yang menopangnya.Namun demikian, efektivitas jalur politik sangat bergantung pada kualitas institusi dan komitmen elite terhadap prinsip demokrasi dan keadilan. Ketika lembaga politik mengalami stagnasi, korupsi merajalela, atau ruang partisipasi publik menyempit, proses politik kehilangan kapasitas adaptifnya.Pada kondisi ini, politik gagal berfungsi sebagai wahana perubahan yang inklusif. Keterputusan antara aspirasi rakyat dan keputusan elite memunculkan ketidakpuasan kolektif. Di sinilah revolusi menemukan momentumnya.Bendera merah putih berkibar saat terjadinya Halo Matahari di Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, Jumat (28/8/2020). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTORevolusi—dalam perspektif teoretis—adalah bentuk perubahan sosial-politik yang bersifat radikal, struktural, dan cepat. Gerakan revolusioner sering kali berasal dari akumulasi ketidakadilan, ketimpangan, dan krisis legitimasi yang berkepanjangan. Dalam situasi di mana upaya reformasi melalui politik formal tidak lagi dipandang efektif, revolusi tampil sebagai alternatif terakhir untuk merombak tatanan yang dianggap gagal.Dengan demikian, revolusi bukan hanya tindakan destruktif, melainkan juga ekspresi dari keinginan kolektif untuk membangun struktur baru.Namun, percepatan yang ditawarkan revolusi memiliki risiko besar. Sejarah menunjukkan bahwa revolusi dapat menghasilkan ketidakstabilitas yang panjang, konflik kekerasan, hingga munculnya rezim yang lebih otoriter. Tatanan baru yang lahir dari revolusi sering kali menghadapi tantangan legitimasi, pembangunan institusi, dan konsolidasi politik. Oleh karenanya, revolusi tidak selalu berujung pada perubahan yang progresif dan berkelanjutan.Ilustrasi demo. Foto: Nadia Wijaya/kumparanMelalui telaah kritis, politik dan revolusi dapat dipahami bukan sebagai dua pilihan yang saling meniadakan, melainkan sebagai dua mekanisme yang saling melengkapi dalam siklus perubahan sosial. Politik menjadi jalur utama selama ia mampu menghadirkan ruang partisipatif dan mekanisme koreksi.Sementara itu, revolusi berfungsi sebagai alarm moral dan struktural yang muncul ketika politik mengalami kebuntuan. Keduanya bekerja dalam dinamika yang memungkinkan masyarakat menjaga keseimbangan antara stabilitas dan tuntutan perubahan.Pada akhirnya, efektivitas masing-masing paradigma bergantung pada konteks sosial-politik suatu negara. Politik memberikan perubahan yang aman dan terukur, tetapi rawan stagnasi. Revolusi menawarkan percepatan drastis, tetapi penuh ketidakpastian. Masyarakat modern dituntut mampu membaca dinamika ini dan mencari keseimbangan agar perubahan sosial dapat berlangsung secara berkelanjutan dan berkeadilan.