Politikus PDIP soal UU MD3 Digugat ke MK: Berat Kalau Rakyat Langsung Mecat DPR

Wait 5 sec.

Ketua DPP PDIP sekaligus Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto di DPR pada Kamis (20/11/2025). Foto: Abid Raihan/kumparanKetua DPP PDIP sekaligus Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto merespons gugatan UU Nomor 17 Tahun 2014 soal MD3 yang dilayangkan 4 mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta agar publik bisa ikut ‘memecat’ anggota dewan.Darmadi menilai, bila publik tidak puas dengan kinerja anggota dewan, maka mereka bisa cukup tidak memilih anggota dewan itu lagi di Pemilu selanjutnya.“Kalau rakyat menolak saya, nanti 5 tahun lagi dia jangan pilih saja, kan begitu kan. Karena itu evaluasi 5 tahunan gitu,” ucap Darmadi saat ditemui di DPR, Jakarta Pusat, Kamis (20/11).“Nah mekanisme sebenarnya sudah ada, nanti setelah 5 tahun. Kemudian dievaluasi anggota DPR itu. Anggota DPR dievaluasi. Kalau memang dia tidak bekerja secara performa secara bagus, tentu nanti bisa saja dia tidak dipilih lagi,” tambahnya.Darmadi menilai, bila gugatan itu nanti dikabulkan, mekanisme publik memecat anggota dewan harus jelas. Menurutnya, aturan seperti itu bisa menimbulkan kebingungan dan keributan di tengah publik.“Tentu di antara masyarakat atau rakyat sendiri kan juga banyak pro dan kontra terhadap anggota DPR. Nah ini kan tentu menyulitkan nanti dalam pengambilan keputusan. Gimana ngambil keputusannya rakyat. Jadinya nanti agak confused juga kita gitu,” ucap Darmadi.“Nah ini yang nanti mungkin agak berat ya rakyat langsung memecat. Ya nanti rakyat ini memecat, rakyat ini mempertahankan. Jadi terjadi keributan juga gitu ya,” tambahnya.Hakim Konstitusi Arsul Sani (kiri) membacakan putusan dismissal dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTODarmadi menekankan, sudah ada mekanisme untuk rakyat melaporkan anggota dewan yang kinerjanya kurang baik. Menurutnya, publik bisa melapor ke partai atau fraksi.“Kalau dilaporkan ke partai, ke fraksi, itu bisa. Kemudian fraksi memproses. Nah itu malah jalur yang benar menurut saya. Dilaporkan ke partai ke fraksi, kemudian partai atau fraksi nanti melakukan review, analisis, kalau dia tidak perform, tidak pernah turun ke bawah, ke masyarakat, ya partai berhak mengganti,” ucap Darmadi.“Nah itu jauh lebih realistis karena itu yang harus dilakukan sebetulnya, masyarakat lapor saja ke partai, ke fraksi, nanti partai melakukan penilaian kinerja,” tambahnya.Ia menilai jika rakyat bisa langsung memecat anggota DPR, bisa memicu konflik horizontal. Ia berharap MK bijak dalam memutus perkara ini.“Jadi itu yang nanti harus lebih terperinci gitu. Jadi kalau misalnya rakyat bisa memecat, nanti akan terjadi kekacauan juga, chaos di bawah juga, rakyat ini mendukung, rakyat yang ini tidak mendukung,” ucap Darmadi.“Nanti keputusannya gimana? Jadi tidak mudah juga menurut saya begitu,” tutur dia.Gugatan ini teregister di MK dengan nomor 199/PUU-XXIII/2025 pada hari Senin (27/10). Para pemohon yang berjumlah 4 orang ini mempermasalahkan Pasal 239 ayat 1 huruf c dalam UU 17/2014.Mereka adalah Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Muhammad Adnan.Dalam pokok permohonannya, pemohon menilai ketentuan tersebut inkonstitusional bersyarat karena dinilai melanggengkan dominasi partai politik dalam mekanisme Pemberhentian Antar Waktu (PAW) atau recall anggota DPR.Mereka mengeklaim kerugian konstitusional sebagai pemilih yang tidak diberi kesempatan untuk memberhentikan wakil mereka secara langsung, padahal kedaulatan ada di tangan rakyat.Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (konstitusional bersyarat) sepanjang tidak dimaknai bahwa anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya.Mereka menawarkan simulasi mekanisme constituent recall yang dapat diterapkan di Indonesia, merujuk pada praktik di Taiwan