Ilustrasi beban finansial masyarakat menengah. Sumber: Freepik.Belakangan ini publik kembali diramaikan oleh wacana pemerintah untuk memperluas objek cukai hingga ke produk rumah tangga. Terbaru, pemerintah berencana memungut cukai untuk popok sekali pakai dan tisu basah. Alasannya terdengar mulia: demi mengurangi limbah dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, ketimbang narasi pelestarian lingkungan, kebijakan ini rasanya lebih berorientasi pada upaya menambah penerimaan fiskal negara melalui cara paling mudah: menarik langsung dari kantong masyarakat kelas menengah.Dari kacamata kritik neoliberal, kebijakan ini bukan sekadar urusan pungutan baru, melainkan cermin dari pola pikir ekonomi politik yang semakin menggeser tanggung jawab sosial negara ke pundak individu. Negara seolah menginternalisasi masalah lingkungan sebagai persoalan konsumsi pribadi, bukan kegagalan sistemik dalam pengelolaan limbah. Padahal, kelas menengah yang kini menjadi sasaran utama pasar popok justru merupakan kelompok yang paling rentan menghadapi kenaikan biaya hidup. Bayangkan keluarga muda di kota besar dengan dua anak kecil. Harga popok sekali pakai kini sudah berkisar antara Rp50.000 hingga Rp150.000 per pack, sedangkan kebutuhan popok sekali pakai tiap bulannya adalah 2 hingga 3 pack per anak. Bila cukai diberlakukan, harga bisa melonjak 15-20 persen. Di tengah biaya pendidikan, cicilan rumah, dan kebutuhan harian yang terus naik, tambahan sekecil apa pun bisa menjadi beban finansial sekaligus psikologis bagi masyarakat kelas menengah. Ironisnya, kelompok kelas menengah bukan termasuk penerima subsidi langsung dari negara. Kelompok menengah selama ini hidup tanpa kompensasi dari kebijakan sosial yang memadai dari pemerintah. Dalam laporan Under Pressure: The Squeezed Middle Class (2019) yang diterbitkan oleh OECD, kelas menengah mengalami stagnasi pendapatan, sementara biaya hidup kelas menengah —seperti perumahan, pendidikan, kesehatan— naik lebih cepat dari pendapatan mereka. Kelompok menengah juga jarang mendapatkan subsidi atau bantuan langsung dari pemerintah, karena dianggap “mampu”, padahal sebetulnya juga belum cukup kuat untuk tidak terpengaruh kenaikan harga kebutuhan pokok dan barang konsumsi rumah tangga. David Harvey dalam teorinya tentang neoliberalism as creative destruction menjelaskan bahwa neoliberalisme bekerja dengan cara mengalihkan beban sosial publik menjadi tanggung jawab privat. Negara tidak absen, tetapi hadir dalam bentuk baru, yaitu sebagai manajer fiskal yang menagih kontribusi dari perilaku konsumsi warganya. Dalam konteks wacana cukai popok, pola ini tampak jelas: tanggung jawab lingkungan dipindahkan ke tingkat individu, sementara struktur industri dan sistem pengelolaan sampah nasional nyaris tak tersentuh.Jika memang tujuannya adalah menekan dampak lingkungan, sebetulnya sudah ada alternatif kebijakan yang jauh lebih adil dan efektif. Salah satunya adalah Extended Producer Responsibility (EPR). EPR adalah sistem yang menempatkan beban pengelolaan limbah pada produsen, bukan konsumen. Korea Selatan merupakan salah satu negara yang paling berhasil menerapkan EPR sejak awal 2000-an. Produsen plastik dan produk kebersihan rumah tangga diwajibkan mendanai sistem pengumpulan dan daur ulang. Hasilnya, tingkat daur ulang plastik di negara ini meningkat hampir dua kali lipat dalam sepuluh tahun, dan inovasi material biodegradable tumbuh pesat. Jepang dan negara-negara di Uni Eropa menerapkan kebijakan serupa. Beban biaya lingkungan dimasukkan ke rantai produksi, bukan ke dompet rumah tangga. Cara ini dapat memaksa perusahaan besar untuk mendesain ulang popok agar lebih mudah terurai dan ramah lingkungan. Selain EPR, beberapa negara juga memanfaatkan landfill tax atau pajak pembuangan sampah. Inggris, misalnya, telah menerapkan landfill tax sejak tahun 1996 dan berhasil menurunkan volume sampah yang dibuang ke TPA secara signifikan. Langkah-langkah semacam ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab lingkungan seharusnya diatur di hulu—pada produsen dan sistem industri—bukan di hilir, lewat beban fiskal bagi konsumen.Di beberapa kota di Kanada, keluarga yang beralih ke popok kain mendapatkan potongan pajak atau subsidi pembelian produk daur ulang. Kebijakan seperti ini menciptakan efek ganda: mendorong perilaku ramah lingkungan sekaligus menjaga daya beli masyarakat.Indonesia tentu bisa belajar dari pola tersebut. Jika benar ingin menekan limbah popok, pemerintah perlu membangun mekanisme EPR nasional yang kuat, memperkuat industri daur ulang, dan memberikan insentif bagi inovasi hijau. Menarik cukai justru bertentangan dengan semangat green fiscal reform yang menekankan keadilan sosial sebagai bagian dari transisi ekonomi hijau.Jika benar pemerintah ingin menjaga kelestarian lingkungan, maka solusinya bukanlah menambah beban masyarakat kelas menengah atau keluarga muda dengan memungut cukai pada barang rumah tangga yang esensial seperti popok sekali pakai, melainkan menegakkan tanggung jawab ekologis di tingkat produsen dan memperkuat sistem daur ulang nasional.