Refleksi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia

Wait 5 sec.

Sumber gambar: https://pixabay.com/id/photos/palu-buku-hukum-piring-pengacara-620011/Pendidikan tinggi hukum di Indonesia saat ini berada dalam sebuah kontradiksi. Di satu sisi, kita menyaksikan akselerasi masif dalam digitalisasi ekosistem hukum, dimana Mahkamah Agung (MA) telah mengimplementasikan E-Court dan E-Litigasi, perusahaan-perusahaan LegalTech bermunculan menawarkan otomatisasi layanan hukum, dan wacana mengenai implementasi Kecerdasan Buatan (AI) sebagai perangkat bantu pengambilan keputusan (decision support). Namun, ironisnya, Sumber Daya Manusia (SDM) yang diharapkan menjadi arsitek dan operator keadilan digital ini—yakni para sarjana hukum—masih dicetak dengan kurikulum yang belum memadai. Kurikulum di mayoritas Fakultas Hukum masih didominasi dengan pendekatan lex scripta (hukum tertulis) yang kaku dan metode pengajaran yang mengedepankan hafalan pasal, bukan analisis sengketa yang kompleks. Kontradiksi ini memiliki implikasi serius. Kurikulum di Fakultas Hukum belum membekali lulusan literasi esensial di era digital. Pertama, Literasi Teknologi Mendasar, di mana sarjana hukum tidak memahami cara kerja teknologi yang mereka atur, seperti algoritma, blockchain, atau dasar-dasar forensik digital. Kedua, Etika dan Filosofi AI, yakni kemampuan untuk menilai bias algoritmik, isu diskriminasi, atau tanggung jawab etis dalam keputusan yang dibantu mesin—sebuah keahlian yang justru menjadi pembeda utama antara yuris manusia dan yuris mesin. Ketiga, Hukum Transnasional Digital, yang mencakup Perlindungan Data Pribadi (PDP), yurisdiksi siber, dan sengketa kekayaan intelektual lintas batas yang kini mendominasi praktik modern.Akibatnya, Fakultas Hukum di Indonesia berisiko hanya mencetak lulusan yang secara teknis kompeten dalam ranah normatif, tetapi belum berkompeten di hadapan teknologi. Mereka terancam menjadi pelaksana birokrasi, bukan lagi pemikir kritis yang mampu menafsirkan keadilan di tengah disrupsi teknologi. Jika kontradiksi ini tidak segera diatasi melalui revisi kurikulum dan penerapan interdisipliner, kualitas integritas dan kapasitas sistem peradilan tidak akan dapat memenuhi tujuan hukum.Akar masalah dalam pendidikan hukum dapat dilacak langsung pada Kurikulum dan Metode Pengajaran yang dianut oleh banyak institusi. Metode yang dominan masih berupa transfer ilmu satu arah—ceramah dan penekanan pada hafalan pasal. Ruang kuliah yang seharusnya menjadi laboratorium penalaran hukum, berubah menjadi arena memorisasi undang-undang yang bersifat pasif.Model pengajaran ini gagal mengembangkan kemampuan penalaran adaptif, yang dibutuhkan di era sekarang ini. Lulusan tidak dilatih untuk menghadapi studi kasus kompleks yang melibatkan Big Data (misalnya, analisis due diligence dari jutaan transaksi), sengketa e-commerce global yang memerlukan pemahaman mendalam tentang platform liability, atau tantangan hukum dari smart contract yang mengotomatisasi perjanjian. Kekakuan ini diperparah oleh kealpaan mata kuliah kunci yang harusnya menjadi jantung pendidikan hukum modern. Sebut saja Hukum Siber, Etika Kecerdasan Buatan (AI Ethics), Forensik Digital, dan LegalTech—subjek-subjek ini sering kali absen, atau jika ada, hanya disajikan sebagai mata kuliah pilihan. Bahkan mata kuliah yang mendesak untuk diselenggarakan, seperti Perlindungan Data Pribadi (PDP), baru menjadi perhatian setelah regulasinya berlaku.Jika hal ini dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada kualitas lulusan, tetapi pada krisis eksistensial profesi hukum masa depan. Profesi hukum tradisional—mulai dari hakim, jaksa, hingga pengacara—akan mengalami disrupsi. Tugas-tugas dasar yang selama ini memakan waktu dan biaya besar, seperti legal research (penelitian hukum), analisis dokumen ekstensif (e-discovery), dan bahkan penyusunan draf kontrak dasar, dapat digantikan oleh teknologi Kecerdasan Buatan (AI).Tantangannya bukan lagi bagaimana bersaing dengan sesama manusia, tetapi bagaimana sarjana hukum dapat bekerja berdampingan dengan AI. Lulusan hari ini tidak seharusnya dilatih untuk menjadi operator AI; mereka harus dididik untuk menjadi arsitek sistem hukum digital, yaitu para pemikir strategis yang mampu memahami implikasi teknologi, merumuskan regulasi yang adaptif, dan menafsirkan keadilan.Untuk mengatasi krisis ini, Fakultas Hukum harus mengambil langkah yang melampaui sekadar penambahan mata kuliah. Fakultas Hukum memerlukan integrasi literasi digital lintas disiplin. Kurikulum tidak cukup hanya menambahkan satu atau dua mata kuliah baru yang terpisah; pemahaman teknologi dan dampaknya harus diintegrasikan ke dalam mata kuliah dasar yang sudah ada. Sebagai contoh: Hukum Perdata harus berani membahas implikasi sengketa Non-Fungible Token (NFT) atau aset kripto dalam konteks hak milik dan wanprestasi; Hukum Pidana harus meningkatkan fokusnya pada kasus cybercrime kompleks yang melibatkan pemalsuan data dan phishing berbasis rekayasa sosial; dan Hukum Tata Negara harus meninjau ulang konsep kedaulatan di tengah dominasi platform teknologi global. Selain itu, kolaborasi interdisipliner antara Fakultas Hukum dengan Fakultas Ilmu Komputer dan Fakultas Teknik adalah keniscayaan. Lulusan hukum tidak perlu menjadi programmer tingkat tinggi, tetapi mereka wajib mengerti dasar-dasar kerja algoritma, struktur basis data, dan prinsip data science. Kolaborasi ini dapat diwujudkan melalui skema pengajaran bersama (co-teaching) dan pembentukan Klinik Hukum yang melibatkan mahasiswa dari interdisipliner.Di tengah gelombang otomatisasi, pendidikan hukum harus memfokuskan kembali tujuannya pada aspek yang tak tergantikan oleh mesin, yaitu nilai keadilan, etika, dan integritas. Kecerdasan Buatan (AI) memang mampu memberikan putusan atau rekomendasi dengan sangat cepat dan efisien berdasarkan pola data (data-driven decision), tetapi AI tidak memiliki kearifan moral (moral wisdom) atau hati nurani.Di sinilah peran penting pendidikan hukum modern harus ditekankan, yaitu mengajarkan Filosofi Hukum. Pendidikan harus bergeser dari sekadar "Apa hukumnya?" menjadi "Mengapa hukum ini adil?" dalam konteks teknologi. Pertanyaan mendasar yang harus menjadi menu wajib diskusi di kelas adalah: Siapa yang bertanggung jawab secara pidana atau perdata jika sistem AI membuat keputusan yang bias atau merugikan? Fakultas Hukum perlu menciptakan unit khusus yang secara nyata melayani publik dalam kasus-kasus berbasis online, seperti penipuan daring, pencemaran nama baik digital, sengketa e-commerce, atau masalah Perlindungan Data Pribadi (PDP). Melalui skema ini, mahasiswa mendapatkan pengalaman dalam menangani kompleksitas hukum siber dan etika AI di lapangan, bukan hanya dari buku teks. Langkah ini akan menjembatani jurang antara pengetahuan normatif dan kompetensi dalam praktek digital, menjadikan lulusan Fakultas Hukum sebagai yuris yang tidak hanya tahu pasal, tetapi mahir mengoperasikan keadilan dalam lanskap digital.