Ilustrasi gambar dua sisi mekanisme pada lembaga yang dianggap non-profit. Sumber: Shutter Stock.Di sebuah ruang antara keyakinan dan kebijakan, muncul pertanyaan yang sarat makna: bagaimana wakaf bisa berfungsi maksimal sebagai energi sosial tanpa kehilangan makna spiritualnya? Dua fenomena terbaru menandai dilema ini, karena inovasi instrumen wakaf uang seperti Cash Waqf Linked Deposit (CWLD) dan pengelolaan tanah wakaf yang dikelola secara komersial oleh lembaga‑lembaga wakaf.Fenomena CWLD yang merupakan instrumen keuangan syariah yang menempatkan dana wakaf dalam deposito bank syariah, dilihat sebagian kalangan sebagai inovasi strategis. Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI, 2024), potensi wakaf uang di Indonesia mencapai sekitar Rp 180 triliun per tahun, namun realisasinya masih sangat kecil, kurang dari 2 % dari potensi. Hal ini menunjukkan bahwa kendala yang terjadi bukan semata insentif fiskal, melainkan kepercayaan publik, kapasitas tata kelola dan mekanisme operasional.Di sisi lain, pengelolaan tanah wakaf yang dikelola secara komersial memunculkan pertanyaan baru: sejauh mana lembaga wakaf bisa memadukan tujuan sosial dengan logika bisnis, tanpa mereduksi makna spiritual wakaf itu sendiri? Dalam pengelolaan tanah wakaf produktif, perhatian publik tertuju pada integritas tata kelola, distribusi keuntungan untuk manfaat umat, transparansi dan akuntabilitas.Instrumen CWLD dan tanah wakaf komersial menegaskan satu kenyataan, bahwa wakaf modern tidak bisa hanya dilihat sebagai bentuk ibadah tradisional, tetapi juga sebagai mekanisme ekonomi sosial yang memerlukan tata kelola profesional, sistem digitalisasi dan manajemen keuangan yang matang. Tanpa adanya hal-hal tersebut, wakaf bisa kehilangan daya transformasi sosialnya dan malah menjadi “wakaf kosmetik” yang makna spiritualnya redup.Dilema Dua Instrumen WakafInstrumen CWLD dan pengelolaan tanah wakaf komersial menghadirkan pertanyaan mendasar: apakah logika pahala dapat berjalan seiring logika fiskal dan profit? CWLD menimbulkan disonansi batin bagi wakif. Di satu sisi mereka berwakaf karena ikhlas dan niat spiritual, tetapi di sisi lain muncul insentif pajak atau imbal hasil yang mulai dianggap penting.Penelitian Walisongo Journal (2024) menunjukkan bahwa faktor akuntabilitas, religiusitas, dan literasi wakaf secara signifikan memengaruhi minat masyarakat untuk berwakaf uang. Dengan kata lain, masyarakat menghendaki bukan hanya produk inovatif, tetapi juga bukti tata kelola yang dapat dipertanggungjawabkan. Studi lain menunjukkan bahwa implementasi tata kelola, sosialisasi, dan teknologi berwakaf memengaruhi penerimaan wakaf tunai (IAEL, 2022). Ini menegaskan bahwa sekadar memiliki produk seperti CWLD belum cukup: harus ada kepercayaan, kemudahan akses dan transparansi.Sedangkan tanah wakaf komersial menghadirkan dilema yang sedikit berbeda. Lembaga pengelola tanah wakaf yang melakukan pengembangan komersial, seperti ruko, gedung perkantoran, atau rumah sakit di atas tanah wakaf, harus menjaga dua hal. Pertama, memastikan manfaat sosial jelas dan terasa oleh masyarakat; kedua, memastikan bahwa aktivitas bisnis tidak menggadaikan ruh wakaf, yakni niat wakif untuk keabadian manfaat dan untuk kemaslahatan umat.Penelitian “Anteseden Tata Kelola Wakaf di Indonesia” menunjukkan bahwa skor Indeks Tata Kelola Wakaf (National Waqf Index – NWI) meningkat signifikan apabila ada dukungan pendanaan operasional dan pelatihan nazhir bersertifikasi (Walisongo Journal, 2024). Hal ini menegaskan pentingnya kapasitas nazhir dan penerapan tata kelola profesional agar aset wakaf produktif memberikan dampak sosial nyata.Perkara yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa kedua isu ini menekankan satu hal pokok, yaitu transparansi dan akuntabilitas menjadi mata uang utama bagi kepercayaan masyarakat. Data BWI (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70 % masyarakat Muslim Indonesia belum menyalurkan wakaf uang karena merasa tidak yakin pada transparansi pengelola. Tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, niat ikhlas akan mudah tergeser oleh risiko moral maupun finansial, apakah itu dana wakaf yang mengendap terlalu lama, lahan wakaf tidak produktif, atau lembaga yang tidak mempertanggungjawabkan distribusi manfaatnya.Keseimbangan Nilai dan Tata KelolaIlustrasi gambar Wakaf Uang. Sumber: Shutter Stock.Publik tidak hanya menuntut hasil, tetapi juga menuntut proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Setiap mekanisme wakaf, baik CWLD maupun pengelolaan tanah wakaf komersial, seharusnya mampu menghadirkan transparansi yang nyata: misalnya melalui dashboard digital publik yang menampilkan aliran dana dari wakif hingga proyek yang dibiayai, termasuk progres pelaksanaannya dan bagaimana manfaatnya didistribusikan kepada penerima.Kredibilitas pengelola, atau nazhir, menjadi krusial; mereka perlu memiliki sertifikasi dan kompetensi profesional agar pengelolaan wakaf sesuai dengan prinsip syariah sekaligus standar manajemen modern. Audit independen, baik dari sisi keuangan maupun dampak sosial, perlu dilakukan secara periodik untuk memastikan integritas dan akuntabilitas seluruh proses. Dengan demikian, distribusi manfaat wakaf tidak hanya adil secara kuantitatif, tetapi juga terdokumentasi dengan jelas, memungkinkan masyarakat menilai sejauh mana niat ikhlas wakif benar-benar terealisasi dalam kesejahteraan umat.Prof. Raditya Sukmana menekankan bahwa wakaf harus dipandang sebagai kelembagaan sosio‑ekonomi yang produktif, mampu meningkatkan utilitas sosial dan memanfaatkan teknologi modern untuk transparansi dan efisiensi. Konsep ini dapat diperkuat dengan paradigma best fit dari Prof. Muhammad Chatib Basri, yang menekankan bahwa kebijakan harus disesuaikan dengan kapasitas institusi yang ada dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, bukan sekadar meniru model ideal dari luar negeri.Beliau mencontohkan bahwa banyak rekomendasi best practice dari IMF atau Bank Dunia memang cemerlang secara teori, tetapi sulit diimplementasikan di negara berkembang karena institusi lokal belum memiliki kapasitas atau struktur yang memadai. Artinya, pembuat kebijakan harus bekerja dengan menyesuaikan strategi berdasarkan sumber daya dan kelembagaan yang tersedia saat ini.Prinsip yang sama berlaku pada lembaga wakaf. Sebelum lembaga wakaf melompat ke teknologi canggih atau instrumen finansial inovatif, mereka perlu membangun fondasi kelembagaan yang kuat, memastikan kompetensi nazhir dan meningkatkan literasi wakif. Sama seperti Prof. Muhammad Chatib Basri yang menekankan agar negara berkembang tidak memaksakan kebijakan "Menara Gading" di "Pasar Berlumpur”, lembaga wakaf tidak bisa langsung menerapkan sistem pengelolaan supermodern atau instrumen investasi yang kompleks jika kapasitas nazhir, literasi wakif dan infrastruktur digital belum memadai. Dengan menyesuaikan strategi pengelolaan wakaf dengan kemampuan institusi dan kondisi masyarakat, lembaga wakaf dapat secara realistis dan efektif meningkatkan manfaat sosial, sekaligus menjaga niat ikhlas wakif.Manfaat Wakaf untuk SemuaFoto Wakaf Sholahuddin Al-Ayyubi di Tepi Barat, Palestina. Sumber: Shutter Stock.Selain memberi dampak bagi masyarakat Muslim secara langsung, kedua instrumen wakaf ini ketika dikelola dengan baik, maka secara implisit dapat memberi manfaat bagi non-Muslim melalui proyek sosial, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang bersifat inklusif. Penelitian IAEL (2022) menekankan bahwa wakaf produktif seperti rumah sakit atau beasiswa dapat mengalir kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan agama, selama tujuan wakaf “untuk kemaslahatan umat” tetap dijaga.Namun tantangan terbesar adalah level operasional dan kesadaran publik. Nazhir perlu merancang program inklusif dan mengkomunikasikannya secara aktif kepada seluruh elemen masyarakat lintas iman. Tanpa upaya proaktif ini, klaim inklusivitas tetap menjadi wacana alih-alih realitas yang dirasakan masyarakat.Menata Ulang Orbit Nilai WakafPerdebatan CWLD dan tanah wakaf komersial bukan sekadar soal fiskal atau profit. Ini adalah upaya manusia modern menata ulang orbit nilai: antara logika langit moral yang mengakomodir niat wakif untuk keabadian manfaat dan kemaslahatan umat serta bumi ekonomi yang menuntut produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan.Wakaf harus tetap menjadi instrumen spiritual yang menghadirkan keseimbangan kosmik: manfaat sosial nyata, tata kelola transparan dan ketenangan batin bagi wakif. Negara melalui regulasi (OJK, 2023), lembaga wakaf melalui sertifikasi nazhir dan digitalisasi pelaporan, serta masyarakat melalui literasi wakaf dan kesadaran memilih lembaga terpercaya karena semua berperan aktif. Transformasi ini bukan pilihan, melainkan keharusan sejarah agar wakaf tidak menjadi museum relik, tetapi menjadi institusi kehidupan yang relevan dengan zaman.Jika dijalankan secara konsisten, wakaf akan menjadi pilar ekonomi syariah yang sejati: bukan sekadar “penggugur kewajiban” atau “alat pemasaran lembaga keagamaan”, melainkan kekuatan nyata untuk menutup kesenjangan sosial, memajukan pendidikan dan kesehatan, serta memunculkan keberlanjutan bagi umat dan masyarakat luas. Mari kita ingat bahwa wakaf pada dasarnya bukan soal seberapa besar harta yang diwakafkan, tetapi seberapa luas manfaat yang dihasilkan dan bagaimana prosesnya dijalankan dengan niat ikhlas dan manajemen yang benar.