Ibn Rusyd dan Al-Ghazali: Ketika Akal dan Iman Bertemu di Persimpangan Kebenaran

Wait 5 sec.

Ilustrasi Gambar dibuat oleh Penulis dengan bantuan AIDi dunia digital yang sedang ramai dengan suara dan perdebatan yang tidak jelas, umat Islam sering terjebak dalam pilihan yang sempit: antara orang yang sangat menghargai logika dan orang yang menolak berpikir rasional demi keyakinan. Namun, kalau kita melihat ke masa kejayaan Islam, ada dua tokoh penting yang pernah berdiskusi tentang hal ini dengan sangat sopan — Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.Kedua nama ini bukan sekadar mewakili dua cara berpikir, akan tetapi dua poros peradaban Islam: spiritualitas dan rasionalitas.Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), mengkritik para pemikir rasional yang menurutnya terlalu berani menafsirkan wahyu dengan logika murni.Ia menuduh sebagian pemikiran filsafat, seperti keyakinan bahwa alam itu qadim (tidak bermula), bertentangan dengan prinsip tauhid.Bagi imam Ghazali, akal harus tunduk di bawah bimbingan wahyu. Ia menulis:“Akal ibarat mata, dan wahyu ibarat cahaya. Mata tidak berguna tanpa cahaya.”(Ihya’ Ulumuddin, Juz 1)Sedangkan menurut, Ibn Rusyd — seorang filsuf dan faqih besar dari Andalusia — tidak tinggal diam. Dalam Tahafut at-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), ia membantah kritik Al-Ghazali dengan menegaskan perkataan nya bahwa tidak ada pertentangan antara akal yang benar dan wahyu yang sahih.“Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran; keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah.”(Tahafut at-Tahafut, pendahuluan)Bagi Ibn Rusyd, peimikiran bukanlah saingan dari wahyu,akan tetapi sarana untuk mengerti pesan Tuhan dengan lebih baik. Jika wahyu itu diibaratkan sebagai cahaya, maka pikiran seperti cermin yang memantulkan sinar kebenaran itu.Pertemuan Dua Arah: Rasionalitas dan SpiritualitasKedua tokoh ini sebenarnya tidak bertentangan secara mutlak. Mereka berbeda dalam metode mencari kebenaran, bukan dalam tujuan.Imam Al-Ghazali menegaskan tazkiyatun nafs (penyucian hati) sebagai jalan menuju ma’rifatullah, sedangkan Ibn Rusyd menekankan nadzar dan istidlal (perenungan dan argumentasi) sebagai jalan memahami hukum Tuhan.Di dalam Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd memperlihatkan betapa rasionalitas bisa hidup berdampingan dengan keimanan. Ia membahas perbedaan para imam mazhab dengan penuh adab, seraya menyimpulkan bahwa perbedaan muncul karena cara berpikir dan memahami dalil, bukan karena kurang iman.Ini adalah contoh akal yang beriman — berpikir dengan jernih tanpa meninggalkan takwa.“Dan Kami tidak menurunkan Al-Qur’an kepadamu, melainkan agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”(QS. An-Nahl [16]: 44)Ayat ini menjadi fondasi penting bagi Ibn Rusyd. Baginya, berpikir adalah bagian dari ibadah; jalan akal justru mengantarkan manusia kepada kebesaran Allah.Pelajaran untuk Umat di Era DisrupsiKini, seribu tahun setelah perdebatan dua tokoh ini, dunia Islam justru sering memisahkan akal dan iman secara ekstrem.Di satu sisi, ada orang-orang yang tidak setuju dengan ilmu dan logika karena mereka merasa itu bisa merusak keyakinan. Di sisi lain, ada kelompok yang sangat menghargai pemikiran rasional sehingga mereka melupakan nilai-nilai agama.Sebenarnya, perdebatan antara Ibn Rusyd dan Al-Ghazali harusnya jadi jembatan penghubung, bukan pemisah.Mereka berdua mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang menghargai akal sehat dan hati yang bersih secara bersamaan.Ibn Rusyd tidak mengabaikan aspek rohani, dan Al-Ghazali tidak mengabaikan pemikiran. Mereka berdua hanya ingin menunjukkan batas antara keduanya. Keyakinan tanpa alasan bisa menjadi fanatisme, sedangkan alasan tanpa keyakinan berubah menjadi sikap sombong dalam berpikir.• Harmoni Akal dan ImanDunia digital sekarang dipenuhi dengan “suara gaduh” yang membagi orang-orang — antara mereka yang menganggap diri paling cerdas dan yang merasa paling benar. Sebenarnya, Islam tidak mengajarkan kita untuk memilih salah satu saja.“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(QS. Ar-Rum [30]: 24)Akal yang berpikir adalah anugerah Ilahi, sebagaimana iman adalah cahaya dari-Nya. Ketika keduanya berpadu, lahirlah umat yang cerdas dan beradab.Ibn Rusyd dan Al-Ghazali mengajarkan bahwa perbedaan cara berpikir tidak seharusnya menjadi alasan untuk saling menjatuhkan, tetapi bisa jadi kesempatan untuk saling mengisi.Kalau Ibn Rusyd mencerminkan kecerdasan pikiran, Al-Ghazali mencerminkan kedalaman perasaan.Keduanya pada akhirnya mengarah kepada Tuhan yang sama — meskipun menggunakan cara yang berbeda.Jadi kesimpulan nya Dunia Islam sekarang memerlukan lebih banyak Ghazali yang berpikir, dan Ibn Rusyd yang berzikir.Kita butuh generasi yang berani bertanya tanpa kehilangan iman, dan berani beriman tanpa takut berpikir.Sebagaimana yang di katakana Ibnu Rusyd:“Siapa yang mengenal Allah dengan akalnya, maka ia mengenal-Nya dengan iman yang lebih kokoh.”(Tahafut at-Tahafut, Bab 3)Dan sebagaimana yang di katakana iman Ghazali:“Akal adalah anugerah, tapi ia harus berjalan di bawah cahaya wahyu.”(Ihya’ Ulumuddin, Juz 1)Mereka berdua tidak sedang bertarung, akan tetapi sedang berdialog dalam keabadian — agar kita belajar, bahwa kebenaran sejati lahir dari pertemuan akal dan iman.