Di Balik Kebiasaan Ngopi: Apakah Kita Benar-Benar Lebih Produktif?

Wait 5 sec.

Dua gelas kopi yang menemani aktivitas di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi (Revalina Amanda Safira)Kopi saat ini telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar minuman pagi untuk memulai aktivitas. Banyak individu, khususnya mahasiswa dan pekerja, lebih suka menikmati secangkir kopi ketika melakukan pekerjaan lembur, menyelesaikan tugas, atau mengejar tenggat waktu agar tetap terjaga dan fokus. Namun, di balik manfaatnya sebagai penambah energi, muncul pertanyaan: apakah kebiasaan ini benar-benar membantu produktivitas, atau justru menjadi awal dari ketergantungan pada kafein?Data menunjukkan bahwa konsumsi kopi domestik Indonesia naik signifikan. Pada tahun 2020/2021, jumlah konsumsi mencapai 4,45 juta kantong (setara sekitar 267 ribu ton). Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 4,8 juta kantong atau sekitar 288 ribu ton pada tahun 2025. Fenomena meningkatnya konsumsi kopi sebagai “penopang produktivitas atau rutinitas sehari-hari” tidak dapat dilepaskan dari pola hidup modern yang serba cepat dan penuh tekanan. Dalam konteks ini, kafein bekerja sebagai stimulan sistem saraf pusat yang meningkatkan kewaspadaan melalui penghambatan adenosin zat kimia yang memicu rasa kantuk. Secara fisiologis, mekanisme ini memang mampu memberikan dorongan energi sesaat, membuat seseorang merasa lebih fokus dan tahan bekerja dalam jangka pendek. Namun, ketergantungan pada stimulasi buatan ini justru memunculkan dinamika yang lebih kompleks bagi kesehatan tubuh maupun produktivitas jangka panjang.Salah satu masalah penting yang sering tidak disadari adalah terbentuknya peningkatan ambang toleransi tubuh terhadap kafein. Pada titik ini, jumlah kopi yang sebelumnya memberikan efek kini mulai kehilangan efektivitasnya, mendorong individu untuk mengonsumsi lebih banyak untuk merasakan dampak yang sama. Hal ini tidak hanya meningkatkan kemungkinan mengalami gangguan tidur, kecemasan, dan keletihan berkepanjangan, tetapi juga menciptakan siklus kerja yang bertentangan: seseorang mengonsumsi kopi untuk tetap terjaga, namun pada akhirnya kualitas tidurnya menurun, sehingga keesokan harinya ia kembali memerlukan kopi untuk mengatasi kelelahan akibat pola tidur yang tidak teratur.Di sisi lain, budaya produktivitas berlebihan (hustle culture) turut memperkuat persepsi bahwa kopi adalah “alat” yang harus dimiliki untuk menjadi efisien. Alih-alih membantu, kebiasaan ini dapat membuat individu mengabaikan sinyal alami tubuh seperti rasa lelah, stres, atau kebutuhan istirahat. Akibatnya, kopi bukan lagi pelengkap aktivitas, melainkan menjadi mekanisme coping yang menutupi akar masalah seperti manajemen waktu yang buruk, beban kerja berlebih, hingga tekanan lingkungan akademik atau profesional.Selain itu, para ahli kesehatan mental menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “ilusi produktivitas”. Kafein bisa membuat seseorang merasa lebih fokus, tapi tidak selalu membuat kerja lebih baik. Fokus yang timbul karena kafein terasa kuat dan intens, namun justru bisa menyebabkan overfocus, penurunan kemampuan berpikir dan mengambil keputusan, bahkan meningkatkan kebiasaan multitasking yang tidak efektif.Pada akhirnya, meningkatnya konsumsi kopi di Indonesia bukan hanya mencerminkan perubahan gaya hidup, tetapi juga menggambarkan bagaimana masyarakat modern berusaha menyeimbangkan tuntutan aktivitas yang kian padat. Kopi memang dapat menjadi pendukung produktivitas selama dikonsumsi secara cermat dan bertanggung jawab. Namun ketika secangkir kopi mulai menggantikan waktu istirahat, menumpulkan sinyal alami tubuh, dan menjadi sandaran semu untuk mempertahankan performa, saat itulah kita perlu berhenti sejenak untuk menilai kembali cara kita menjaga kesehatan dan keseimbangan hidup. Produktivitas yang berkelanjutan tidak muncul dari dorongan kafein semata, tetapi dari kemampuan mengatur batas diri, manajemen waktu yang sehat, serta memberi ruang bagi tubuh dan pikiran untuk beristirahat. Dengan demikian, kopi kembali menempati perannya yang tepat: pelengkap rutinitas, bukan penopang utama.